Wendy tau bukan semenjak dia keluar dari rumah Taeyeon, tapi dia tau dari dulu bahwa Taeyeon gak pernah tahan langkahnya keluar dari hadapan dengan rasa marah.
Taeyeon selalu membiarkan, Wendy terlanjur biasa.
Perlahan langkahnya melambat, Wendy rasain genangan air matanya menghalangi pandangan.
Tasnya jatuh kebawah, dia gak punya tenaga untuk sesuatu yang kecil sekalipun. Malam ini isakan nya keluar secara lepas, sedikit ditahan dengan gigit kulit tangannya agak keras.
Trotoar total sepi, nyaris jam 11 malam dan besok adalah hari kerja. Hari normal untuk orang-orang yang punya kehidupan normal, sayangnya Wendy gak punya itu semua.
Wendy beralih jongkok, biarin roknya sedikit kotor kena debu jalanan. Dia tutup wajahnya dengan lengan yang berbalut coat tebal berwarna hitam.
Ada rasa sesal yang lumayan besar, gimana tadi dia mengemis di depan Taeyeon dan berakhir penolakan seperti biasa. Dia memang akrab dengan semua tolakan dari Taeyeon, tapi malam ini dia kecewa sama diri sendiri.
Wendy benci pribadinya yang seolah gak punya harga diri.
Tapi nangisin kebodohan sendiri juga ternyata miris.
Buang-buang waktu, andaikan dia bisa keluar dari rengkuhan Taeyeon—mungkin dia gak akan mengemis sesuatu yang memalukan lagi. Gak akan pernah menunggu sepatah atau dua patah ucapan Taeyeon setiap harinya.
Jadi pertanyaan; mau sampai kapan dia begini? Tidakkah ini sangat membuang-buang waktu sekali? Harusnya Wendy mulai cari kehidupan normalnya sendiri, karena waktu terus berjalan, dan dia gak mungkin menunggu sesuatu yang gak pasti untuk selamanya.
Sampai dia meninggal dan Taeyeon masih gak ada keputusan? Konyol.
Wendy dengan muka basahnya mulai ambil daun kering di sisi jalan, agak emosi dan coatnya dilepas kasar. Lalu dia usap daun kering itu di rambut, di tangan, dan di dada.
Aktivitas barunya ternyata gak butuh tissue basah lagi. Ini harus segera selesai, Wendy gak mau wajah basahnya dibawa pulang dan dilihat Ibu.
;
Malam berganti pagi, dan hari normal benar-benar terjadi.
Seperti kegiatan sebelumnya dokter forensik. Hari ini satu kantong jenazah minta di urusi.
“Sudah empat hari ya ini.”
Irene ngangguk tanda setuju dengan omongan Seohyun. Di depan mereka ada jenazah berjenis kelamin laki-laki, kulit yang gak terlindungi oleh pakaian itu mengelopek, bahkan baunya lumayan amis. Bengkak karena terendam air sungai yang dingin.
“Kasihan.” ucap Irene gak begitu keras karena terhalang masker.
Seohyun mulai ambil guntingnya, lalu dia potong baju sisa yang masih melekat di jenazah pria ini.
Disini Irene dan Seohyun walaupun sudah terbiasa menangani mayat—tetap aja mereka pasti ada rasa ngeri, bahkan tadi Irene yang duluan mual pas kantong jenazah ini dibuka. Matanya berair perih, perutnya ditekan supaya gak mual lagi. Dan Seohyun berakhir tahan tawanya karena lihat si sohib yang merana.
Itu sudah lewat dari 20 menit yang lalu. Sekarang mereka bisa lebih rileks dan kembali biasa.
Setengah hari mereka habis dipake laporan hari ini, saatnya melemaskan punggung di ruangan mereka yang di setiap sudutnya itu terdapat bubuk kopi yang kandungan antioksidannya mampu menetralisir bau amis.
Irene buka maskernya dengan pejaman mata disusul Seohyun.
Duduk mereka loyo karena terlalu capek. Dan Irene mulai menyalakan ponselnya, ngecek sedikit siapa tau aja ada pesan Wendy masuk. Ngucapin selamat siang atau apapun sebagai penyemangat. Tapi hasilnya nihil.
Gak berharap banyak juga sih, tapi ya mau dong disemangati.
“Umur ternyata gak ada yang tau ya.” Seohyun memulai obrolan, pandangannya lurus keatas dan masih loyo. Mikirin jenazah tadi yang ternyata masih pelajar SMA.
Irene melirik sekilas lalu simpan ponselnya kedalam saku celana lagi.
“Jodoh dan maut itu ada ditangan tuhan. Kita gak bisa prediksi kapan kita meninggal dan sama siapa kita berpasangan.”
Seohyun reflek senyum lemes, bahkan dia masih bisa toyor halus kepala Irene yang balas pake tendangan di kaki Seohyun sambil ketawa.
“Sok iyeh sekali sih, kamu aja nyari pasangan gak bisa. Malah main rental gf.”
“Itung-itung usaha.” jawaban enteng dari Irene. Seohyun balas pake decihan.
“Mending udahan aja deh dari sekarang. Kamu gak tau kan kemungkinan Wendy udah dipake tidur sama siapa aja.”
Iya, Seohyun tau Irene dan Wendy mulai jadi teman. Karena malam minggu yang biasa mereka habiskan bersama mulai gak ada. Irene selalu jujur, termasuk jujur soal malam minggu yang dia habiskan bersama Wendy.
Dan sebetulnya gak apa-apa sih Irene punya teman baru. Tapi kenapa harus Wendy? Seohyun takut Irene terseret masalah yang susah dipecahkan nantinya.
Sinyal Irene ke Wendy itu berbeda, walaupun Irene selalu mengelak, tapi Seohyun hapal sekali ada rasa ketertarikan dari raut senang yang selalu Irene beri ketika mereka bahas Wendy.
“Kamu yakin kalau Wendy udah pernah tidur sama orang lain?”
“Kenapa gak yakin? Mereka yang kerja begituan pasti pernah. Asal ada uang, mereka pasti mau.”
“Perasaan kumiko itu jasa sewa pacar dan family, bukan prostitusi.”
“Itu kedok bodoh. Jangan jadi manusia polos di dunia yang kacau ini.”
Omongan terakhir Seohyun sukses jadi bahan pikirannya kali ini. Kalau apa yang Seohyun bilang tadi itu benar, berarti kemungkinan besar Wendy juga bisa termasuk orang-orang yang Seohyun singgung.
Susah buat gak makan mentah-mentah ucapan Seohyun. Karena memang pekerjaan Wendy sekarang itu selalu identik dengan prostitusi.
Irene jadi melamun, bahunya melemas begitu dia sadar kalau kedekatannya dengan Wendy sudah setengah jalan, dan gak mungkin diputuskan gitu aja. Irene gak sanggup memulai dari awal lagi, dia gak punya banyak waktu untuk kembali basa-basi dengan orang baru.
Tapi ah masa bodo, Irene angkat bahunya cuek lalu ikut memainkan ponselnya seperti Seohyun sekarang.
Mau itu Wendy dengan background apapun dia udah gak perduli. Lagian Irene hanya ingin berteman, gak lebih.