Buru-buru,
Semuanya jadi serba cepat karena Irene yang ngejar waktu ke rumah sakit.
Wendy lari kesana kemari, ambil ini dan ambil itu. Semua barang dan keperluan termasuk bekal makanan buat Irene dia simpan di kantong khusus yang ukurannya gak begitu besar.
Lagi diluar, tunggu manusia ribet ini selesai pake sepatu. Waduh, jadi istri beneran aja gak sih?
Irene dorong masuk sisa roti tawarnya kedalam mulut, susah payah dia telan karena ngunyahnya super kilat. Wendy bengong, mukanya takjub sendiri. Irene ternyata kesehariannya begini yah.
Dan selesai, Irene beranjak bangun lalu berdiri sejajar saling hadap. Wendy reflek ketawa kecil, lihatin muka bantal Irene yang masih kelihatan.
“Apa?” pertanyaan polos yang lolos di jam pagi menuju siang ini.
“Mukamu.”
“Kenapa?”
Wendy geleng kepala, sedikit ambil gerakan mundur karena Irene malah majuin wajahnya dan ngaca di mata hitam jernih milik Wendy.
Refleknya Irene gak lucu.
Disini Irene mulai tarik bahu Wendy sedikit lebih dekat, dirangkul santai sama dia, sementara sebelah tangannya lagi dipake pegang kantong pemberian Wendy.
“Mama pulang sebentar lagi, dia gak akan lama di sekolah, jadi kamu jangan pulang ya, kagok soalnya.”
Wendy masih diam dirangkulan Irene, tubuhnya seolah kecil dan meringkuk. Biarin Irene pasang senyum kecilnya karena Wendy juga reflek peluk pinggang Irenenya dari belakang.
Posisi yang pas untuk charger energi sebelum berangkat ke rumah sakit.
“Kamu pulangnya kapan?”
“Belum juga berangkat.”
Dadanya kena pukulan halus, Irene terkekeh aja responnya.
“Aku nanya. Nanti ibu datang terus kamu pulangnya entah kapan kan aku jadi bingung. Ibuku sendirian di rumah sakit kak.”
Benar juga,
Sekarang Irene jadi sedikit loading, terus mereka masih betah di posisi rangkulan masing-masing.
“Kemungkinan aku cuma habisin tiga jam di rumah sakit. Kamu jangan pulang dulu ya, tunggu aku. Biar nanti aku yang anterin kamu pulang.”
“Gak lah, aku juga bisa pulang sendiri. Sudah biasa.”
Wajah menolak dari Irene lantas terlihat jelas. Bahunya semakin dirangkul kuat, mereka jadi gak punya jarak atau celah sekedar jalan angin supaya bisa lewat.
“Aku yang anterin, harus mau. Mama juga gak bakal biarin kamu pulang sendirian lagi.”
Sekarang Wendy menatap kearah lain, dia gak mau wajahnya terus-terusan jadi bahan pandangan Irene lewat kaca mobil.
Walaupun bagian yang ini sedikitnya bisa menyembuhkan rasa sedihnya tempo hari, tapi tetap ya, Wendy gak boleh memulai dan menanggapi semua perlakuan Irene.
Takutnya keterusan, takut berakhir seperti bersama Taeyeon. Nanti susah lepas, dia yang pusing.
Irene guncang bahunya sekilas, Wendy reflek menoleh dan tatapan mereka bertemu.
“Wendy, thank you. Karena kamu bersedia ngurusin aku jadi pengganti mama. Dan mamaku juga seneng ada kamu disini sebagai pengganti aku.”
Dua peran sekaligus, gak masalah. Buktinya sekarang Wendy bisa beri Irene senyumannya dan mengangguk.
“Selama ada upahnya ya aku mau.”
Seketika senyuman Irene yang tadinya seneng berubah dan perlahan hilang.
Menyenggol kata upah jadi mengingatkan dia sama obrolannya bareng Seohyun waktu itu.
“Selama ada uang, mereka pasti mau ngelakuin apa aja termasuk tidur bareng.”
Rangkulannya melonggar dan lepas, Wendy bungkam dengan tatapan polos. Lihatin Irene yang gak seceria tadi.
Irene sendiri merasa gak terima kalau kenyataannya Wendy sudah pernah tidur sama orang lain.
Sayang sekali ya, Wendy padahal cantik sekali orangnya. Lucu apalagi, tapi dia relain tubuhnya ditiduri sama siapa aja.