Pleasure not meant for one side

471 57 8
                                    

“Semenjak kecil—Irene memang sudah jadi dominan.”

Wendy kepalanya ngangguk, tangan terangkat ambil adonan brownies yang sudah jadi didalam loyang dari tangan Tatjana.

“Terasa sih, aku juga kalau didepan dia bisa rasain gimana dominan nya anak ibu.”

Kekehan Tatjana keluar, Wendy balas pake senyuman sedikit tahan tawa. Tatjana usap bahu Wendy halus sekali, dan adonan brownies sukses masuk kedalam panggangan.

Siang hari telah berlalu, waktu mereka habis di dapur, dan Irene yang kembali keluar rumah setelah dapat panggilan mendadak entah dari siapa. Mungkin teman sejawat.

Keduanya melipir sedikit dari posisi panggangan brownies, Tatjana berdiri tepat di depan wastafel dan disitu ada setumpuk cucian kotor.

“Oh, ibu. Biar aku aja yang cuciin.”

Tatjana tahan tangan Wendy yang hampir pegang gloves cuci piringnya, lalu gelengan kepala Tatjana berubah sebagai gesture larangan telak.

“Gak usah. Kamu duduk aja, habisin makananmu. Sedari tadi kamu sibuk ini dan itu, kamu harus masukin sesuatu buat perutmu.”

Yah, sebetulnya yang begini ini yang selalu mengingatkan Wendy pada sosok Ibunya. Gimana perhatiannya Tatjana dan pengertian dari Tatjana selalu bikin rasa rindu itu selalu ada.

But yea, sekali lagi—dia harus ikhlas dan mulai jalanin harinya seperti biasa. Ada atau enggak ada Ibunya pun dia harus tetap hidup kan?

Dari belakang punggung Tatjana itu Wendy senyum tipis. Dan Tatjana sedikit diam waktu tangan Wendy melingkar dari belakang sampai sukses memeluk perutnya lumayan erat. Bahkan Tatjana dapat ciuman halus tanda sayang dan terimakasih di pipi.

Suka? Jelas. Bahkan senyum Tatjana mengembang hangat sekali sambil tepuk sedikit pipi lucu Wendy, keduanya berakhir ketawa.








;

Kunjungan ke 2 setelah yang pertama itu agak gloomy karena di rumah Wendy ini meski gak begitu besar—ternyata didalamnya ada beribu kenangan soal satu keluarga.

Irene memperhatikan tanpa mau menenangkan, Wendy terus tata rapi gelas milik Ibunya lalu dimasukkan kedalam lemari kecil di sudut ruangan. Ya Irene tau Wendy tahan nangisnya sambil membelakangi.

Gak apa, Irene selow kok.

“Sudah?”

Kepala Wendy ngangguk lalu pintu lemari sukses tertutup rapat. Beralih balik badan dan jalan kearah Irene yang masih berdiri dianak tangga.

“Masih mau nangis?”

“Sedih aja, dan aku gak nangis.”

“Iya tapi matamu basah tuh.”

Wendy berdecak, terus sedikit tepis tangan Irene dari wajahnya. Respon Irene cuma kekehan kecil ditengah hujan pertama setelah cuaca panas yang kembali datang.

Rasanya hangat, apalagi badan Wendy yang dia peluk ini lumayan bikin nyaman.

Rumah ini gak seberantakan Pada kunjungan pertama. Waktu pertama mereka kesini bahkan debu ada disetiap sudut. Sekarang sih mendingan.

“Kak, tadi kamu keluar lama. Ketemu siapa?”

Pelukan mereka lepas, mata jadi saling tatap dan Irene diam sejenak.

“Tadi aku lulus interview.”

Kaget,Wendy ambil langkah mundur satu langkah terus dia pukul lengan Irene yang menggantung di bahunya sampai lepas.

Habits (Wenrene) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang