Setelah tiga hari berlalu, tanpa kehadiran Wendy di rumahnya. Baik Tatjana dan Irene seperti kembali ke kondisi awal.
Irene yang menyibukkan diri, seperti biasa. Setiap hari sampai tiga hari ini, wajahnya selalu kelihatan murung.
Tatjana mendiamkan bukan berarti gak peduli. Tapi memang di kondisi anaknya yang seperti sekarang—mau obrolan dan perhatian dalam bentuk apapun gak akan mempan, Irene jadi terlalu sensitif sekarang.
Keduanya sudah rapi di meja makan. Bukan cuma berdua, berita baiknya; setelah tiga hari absen bekerja, gadis poni lucu itu akhirnya kembali datang.
Wendy ikut duduk, rambutnya di kuncir dan dia biarin poninya yang lucu itu tersisir rapi.
Irene gak menatap sama sekali, seolah gak menganggap adanya Wendy disini. Oke gapapa, toh Wendy juga ada disini karena perintah Tatjana. Bukan Irene.
“Kabar ibumu gimana?”
Kalimat selingan yang dipakai Tatjana supaya suasana pagi hari mereka gak terlalu canggung dan muram.
Wendy seruput air putihnya sedikit, “Sudah mendingan.”
“Bener ya kemarin ibumu sudah pulang dari rumah sakit?”
Kali ini Wendy mengangguk. Irene melirik sedikit. “Iya, tiga hari kemarin itu aku sibuk sama pemulihan ibu di rumah.”
Bibir Tatjana senyum tipis, dan melanjutkan sisa makanannya diatas piring setelah kasih ucapan semoga lekas pulih untuk Ibunya Wendy.
Suasananya kembali hening, mereka sibuk sama urusan masing-masing. Tapi kemudian Irene geser piringnya ke depan, lalu beranjak bangun dari kursi sambil pake mantelnya agak buru-buru.
Wendy lepasin sendok dan garpunya diatas piring, mendongak sedikit keatas dan tatap wajah Irene yang masih kelihatan marah.
“Aku berangkat ya mah, takut ketinggalan kereta.”
Ya, semenjak keributan kecil tiga hari yang lalu, perilaku Irene sedikit berubah. Kalau di kondisi emosi yang gak bagus—Irene memang suka mempersulit diri sendiri, semuanya dibikin susah.
Alasan dia naik kereta supaya dia gak ngerasa sendirian aja. Karena kalau didalam mobil suka tiba-tiba melamun.
“Bawa bekalmu, jangan lupa.”
“Gak, aku makan bareng Seohyun aja nanti di rumah sakit.”
Terus tatapan Tatjana berubah dari lembut ke dingin mengintimidasi. “Bawa. Hargain usaha orang lain bisa gak?”
Dengusan Irene keluar, sementara Wendy sebagai pelaku perubahan mood manusia instan itu langsung menunduk waktu Irene merendahkan tatapan ke wajahnya.
Kantong bekalnya lantas dibawa, Irene gak mungkin ngelawan Mamanya sendiri. Semarah-marahnya dia hari ini, Irene tetap harus menghormati dan menghargai.
Marahnya Irene itu marah konyol, yang Tatjana sendiri gak tau penyebab dan pemicunya apa.
“Wendy, kamu ikut Irene naik kereta ya. Temenin aja dia sampai masuk ke rumah sakit. Tiga hari ini dia kurang tidur, saya takut dia pingsan di jalan.”
Wajah Irene reflek memerah, dia gak habis pikir sama Mamanya sendiri. Kenapa hal kecil begitu aja harus dibicarakan ke Wendy. Mohon maaf, dia gak selemah itu.
Wendy gak bisa menolak. Lagipula, karena ini perintah dari Tatjana langsung. Tugas kecil kan, cuma anterin bayi gede ini sampai rumah sakit, terus pulang.
“Iya ibu. Saya ikut ke kereta.”
“Gak bisa, gak bisa! Kamu jangan ikut aku, kamu disini aja temenin mama.”