Girls can't never say they want it

503 59 17
                                    

Tengah malam terbangun karena sesuatu lain, kalau sudah begini ya susah. Irene gak bisa kembali tidur.

Apalagi disebelah tempat tidurnya ada Wendy yang tertidur lelap. Irene sedikit freak lihatin wajah tenang Wendy yang meringkuk disebelahnya sedari tadi.

Irene ambil ponselnya, dilihat sebentar itu sama dia. Cuma buat lihat jam berapa.

“Masih jam setengah 2 malam. Kirain udah jam 7 pagi.” gumamnya lalu kembali taruh ponselnya disebelah paha.

Dan lagi, karena gak ada kegiatan yang penting—kali ini Irene kembali lihat gimana pulasnya gadis hamster itu tidur. Sejuk sekali, terasa hatinya lebih tenang dibanding malam sebelumnya.

Meskipun Wendy gak ada pergerakan apa-apa, rasanya cuma dengan begini aja, energi Irene kembali penuh.

Irene beralih hela nafasnya pelan-pelan. Pertama kali waktu tidurnya ada yang menemani. Dan dia masih gak berekspresi selain tatapannya yang berubah menghangat.

Rambut Wendy diusap halus, jam dua subuh gak ada yang bangun. Dan terjaga sendiri sambil lihatin wajah tenang dari Wendy tanpa ada yang ganggu.

Hangat sekali hatinya,

Irene beranjak bangun dari posisi semula, duduk membelakangi Wendy, dia lihat selang infus yang menjuntai. Kemudian ditarik paksa sampai lepas.

Ada setitik darah yang keluar dari tangannya, Irene gak terpengaruh sama rasa sakit yang gak seberapa.

Disini Irene malah sedih—renungannya sukses bikin dia sadar kalau Wendy gak berhak untuk dituntut apapun, Wendy mungkin kebingungan sama sikapnya yang kadang gak jelas. Yah, Irene minta maaf untuk itu, tulus dari dalam hati.

Tapi tetap gak bisa katakan itu secara langsung dan gamblang ke orangnya.

Irene gak cukup berani dan mampu. Lihat wajah Wendy yang sejuk dan menyenangkan aja dia kewalahan. Apalagi harus ngeluarin kata-kata maaf dan terimakasih.

Katakan aja dia payah, mentalnya terlalu lemah kalau sudah menyangkut perasaan.

Punggung Irene dapat usapan halus, Wendy ikut bangun dan mensejajarkan posisi duduknya disebelah Irene.

“Kenapa bangun? Kamu kenapa? Kamu haus?”

Irene langsung tahan tangan Wendy yang menjulur ke depan buat ambil air putihnya diatas meja kecil.

“Aku gak butuh apa-apa.”

Tatapan Irene berubah serius. Walaupun pencahayaan didalam sini agak kurang. Tapi Wendy bisa lihat sejelas-jelasnya gimana raut sedih dari Irene malam ini.

Kantuknya mulai hilang, beralih Wendy angkat tangannya dan usap lembut dua pipi Irene yang reflek memejamkan mata.

“Kak, aku minta maaf kalau selama ini aku kurang perhatiin kamu. Aku mau kamu sembuh lagi, gak sedih lagi. Aku juga minta maaf waktu itu malah ninggalin kamu dan milih pergi sama Taeyeon.”

Hatinya berdesir, Irene buang nafasnya agak berantakan. Mata tetap terpejam erat, dia menikmati gimana jemari hangat Wendy usap pipinya halus sekali.

Irene mengutuk dirinya sendiri, seorang Wendy aja yang gak punya salah bisa minta maaf nyaris beberapa kali dalam sehari. Sedangkan dirinya? Untuk mengakui kalau dia juga salah aja rasanya susah.

Terus kali ini mata Irene terbuka penuh, jadi saling tatap sama mata Wendy didepannya.

Irene mulai majuin wajahnya, Wendy beralih diam, bahkan tangkupannya di pipi Irene perlahan lepas.

Satu kecupan halus di bibir Wendy berhasil. Keduanya gak ada yang berusaha menghindar atau menolak seperti kejadian yang sudah-sudah.

Irene cium sekali lagi bibir Wendy. Kali ini agak lama dan dalam. Sementara Wendy masih diam, ciuman Irene mulai menuntut minta balasan.

Habits (Wenrene) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang