Irene menunggu timing berdua semenjak tadi. Setelah Seohyun pulang, dan Mamanya pergi ke kamar untuk segera mandi.
Wendy siap sama totebag nya yang melingkar di bahu. Terjebak secara sengaja karena Irene yang berulah abnormal petang ini. Di dapur berduaan, bahkan semua gorden sukses tertutup pertanda malam akan tiba.
“Aku pulang ya, kasih tau ibu aku pamit.”
Irene geleng kepala, kemanapun Wendy ambil langkah dia menghalangi.
Decakan Wendy keluar, ada orang aneh didepannya minta di tampar. Tapi gak bisa. “Kak, plis.”
Ulah Irene makin menjadi-jadi. Orang ini memang minta di hajar. Wendy berakhir buang nafasnya pasrah. Terlalu capek kalau sisa tenaganya ini dipake menghadapi manusia idiot.
“Kamu kenal mama dari kapan.”
Mereka jadi saling lempar tatapan. Kemudian Wendy buka ikatan rambut sebahunya itu dan dibiarkan tergerai seperti biasa. Irene jadi lebih mengenali gadis ini kalau penampilannya normal.
Pertama kali masuk ke dapur beberapa puluh menit lalu dan lihat bagian belakang tubuh Wendy dengan rambutnya yang di ikat itu agak membingungkan.
Jarak mereka berdiri gak begitu jauh. Disini keduanya masih bisa hirup aroma parfum masing-masing secara bebas. Ya walaupun bau tubuh Wendy sedikit tercampur dengan bau dapur. Dan Irene yang tercampur dengan bau rumah sakit, itu gak jadi masalah.
Wendy garuk dahinya, sedikit mengerang karena benar-benar males untuk menjelaskan. Sedangkan Irene pasti gak mau menghindar dari hadapannya sebelum ada penjelasan.
“Aku kerja di pantry sekolah tempat ibu Tatjana ngajar. Dia tau aku mau resign dari sana karena waktu kerjaku gak fleksibel. Jadi mamamu bawa aku ke rumah ini. Buat ngurusin kamu.”
Ah masa.
Tau kan wajah Irene yang penuh selidik itu masih ada. Dia gak bisa makan mentah-mentah omongan Wendy gitu aja.
“Mamaku pensiunan guru, dan gak setiap hari dia ke sekolah. Gimana bisa kalian saling kenal.”
Alis Wendy mengkerung tanda gak suka.
“Terus apa yang kamu tuduhin ke aku? Coba aku tanya kamu sekarang.”
Irene angkat bahunya, bahkan wajahnya berubah sok cuek, nyebelin. Real minta di pukul. “Yaaaa, ya bisa aja kamu itu gak mau aku sewa lagi karena mamaku yang sekarang sewa kamu.”
Itu kalimat paling bodoh yang pernah Wendy dengar selama dia hidup di dunia ini. Lucu, Wendy ketawa kosong aja responnya dengar dugaan itu dari mulut Irene.
Bodohnya kelewatan. Secara gak langsung Irene memang mau menuduh, bukan menduga.
Tapi anehnya disini Wendy gak sakit hati. Malah sekarang dia tangkup pipi Irene dengan tatapan intens. Pandangan Irene yang tadinya gusar dan gelisah berubah lebih tenang.
“Hey, aku gak tau gimana caranya ibu Tatjana lihat aku di sekolah. Mungkin kamu harus tanyain itu ke mamamu langsung.”
Perasaan ini semakin aneh untuk mereka berdua. Gimana lembutnya Wendy menjelaskan itu terdengar menenangkan, Irene rasain tangkupan di pipinya akan lepas, tapi secepat kilat dia tahan supaya Wendy terus sentuh wajahnya.
Harusnya Wendy gak usah repot-repot menjelaskan, karena dia paling gak mau berurusan dengan manusia yang menurutnya merepotkan.
Wendy itu tipikal orang yang mudah ilfeel kalau lawan bicaranya agak problematic dan keras kepala.
Tapi dengan Irene entah kenapa Wendy selalu ingin dilihat bersih dan bagus. Kasusnya sama seperti ketika dia ada di obrolan serius bersama Taeyeon.
Jadi secape-capenya Wendy hari ini, dia akan peras lagi sedikit tenaganya untuk bisa menjelaskan.
“Aku harap mamaku punya jawaban yang bisa bikin aku puas dan masuk akal.”
Wendy tersenyum lembut, bahkan jempolnya dipake usap pipi Irene halus sekali.
Irene kembali merasakan hasrat ketika dia dan Wendy ada diatas kap mobil waktu itu. Tapi kali ini Wendy yang punya inisiatif untuk mencium.
Secara gak sadar Irene remas pinggul Wendy, hidung mereka mulai bersentuhan, bahkan Wendy dengan jelas bisa mendengar gimana ritme jantung Irene yang berdetak lebih cepat dari kondisi normal.
Oh, selangkah lagi. Sedikit lagi dan Irene sudah sangat siap untuk ciuman mereka kali ini.
“Taxinya sudah sampai. Wendy? Mulai pulang sekarang?”
Mata Wendy melotot, dia lepasin tangkupannya di wajah Irene secara paksa. Lalu begitu Tatjana berhasil masuk ke dapur—Wendy langsung dorong bahu Irenenya itu agak kasar.
Ya ampun, Irene meringis sebal. Haruskah dia sabar lagi?