Bruk!
Tatjana yang duduk tenang di sofa ruang tv itu mendadak kaget.
Sekantong belanjaan sukses mendarat diatas meja. Irene mukanya masih marah, cara dia mondar mandir kelihatan gelisah dan tanpa arah.
Tatjana ambil remot, beralih tv dimatikan dan dia taruh balik remotnya di sofa seperti semula.
Jalan mendekat kearah dapur, anaknya ada di sana.
“Ada apa, JooHyun? Wendy kemana?”
Begitu nama Wendy disebut, Irene langsung teringat kejadian beberapa waktu lalu.
Irene rasanya mau marah, marah sekali. Dia gak suka sikap Wendy yang pasrah didepan Taeyeon. Harusnya Wendy tolak aja, gak usah ngode lewat tatapan mata.
Kalau gak mau ya gak usah, di sana Irene gak berkutik karena lawannya itu Kim Taeyeon.
Tanpa tau apa aja yang Taeyeon punya—pasti semua orang kenal dia. Taeyeon terlalu populer dan hits. Irene kelah telak dan mewajarkan sikap Wendy yang pastinya gak akan mikir dua kali untuk memilih pada siapa dia memihak.
“Besok jangan panggil Wendy lagi kesini.”
Wajah Tatjana seketika tanda seru semua. Iya memang nada bicara Irene datar seperti biasa, tapi di setiap tarikan nafasnya terasa ada beban yang menggunung.
“Kenapa tiba-tiba? Mama gak mau, dan kamu gak berhak ngatur. Wendy tetap kesini besok pagi, dia kerja disini karena perintah mama. Bukan kamu.”
Irene berdecak, pangkal hidungnya di pijit kecil sok stress beneran. Atau memang bener stress?
Tangannya berpindah posisi, turun sedikit kebawah dan berkacak pinggang didepan Mamanya yang tatap dia kebingungan.
“Tapi aku gak mau Wendy kesini lagi. Aku bisa urus diriku sendiri mah.”
Terus kepala Tatjana geleng keras. Mereka berdua saling hadap, gerimis kecil datang lagi dan kondisi ini gak pernah ada didalam rumah.
Mereka gak pernah bersitegang karena seseorang lain. Tatjana tau sekali anaknya ini gimana. Irene yang selalu mengalah demi menghindari konflik.
Perlahan Tatjana pegang dua lengan Irene hati-hati, diusap lembut supaya anaknya ini lebih tenang sedikit.
“Kenapa kamu gak mau lagi ada Wendy di rumah ini? Bisa gak kamu beri mama satu alasan yang jelas. Supaya mama juga bisa turutin apa maumu sekarang?”
Irene gak langsung jawab, dia diam dulu sebentar, dan beralih keluarin nafasnya sambil balas usap lengan si Mama.
“Sebelum mama kenal dia di sekolah, aku yang lebih dulu kenal dia lewat rental pacar.”
Mulut Tatjana mulai mau balas omongan anaknya, tapi Irene langsung cengkram lengan Mamanya itu sedikit kuat dan bikin kaget.
“Aku sewa dia jadi pacarku beberapa kali.”
Bjir? Kaget lho, asli. Tatjana selalu mengira Irene ini pasti selalu percaya diri. Tapi ternyata gak sesuai dengan apa yang dibayangkan selama ini.
Irene tarik nafasnya sedikit kemudian dihembuskan perlahan, tatapannya fokus di wajah si Mama, begitu juga sebaiknya.
“Kita mulai dekat, dan dia gak mau lagi aku sewa. Dia selalu bilang kalau ibunya gak suka sama pekerjaannya.”
“Wendy mulai cari-cari kerja kesana kemari. Sampai mungkin akhirnya kalian ketemu.”
Cengkraman tangannya di lengan si Mama mulai lepas. Irene menunduk membayangkan waktu yang mereka habiskan ternyata mulai memakan banyak kejadian.
Waktu yang dia habiskan bersama Wendy lebih lama dibandingkan waktu yang dia habiskan bersama Seola.
Selama itu mereka terus bersama, sampai Wendy beralih kebiasaan. Berpindah dari tempat paling menjanjikan ke tempat yang perlu banyak diisi dengan hal-hal paling bahagia.
Wendy sukses mengisi apa yang Irene butuhkan, bahkan Wendy juga berhasil mengisi apa yang Mamanya butuhkan.
Tapi dengan adanya Taeyeon—Irene mulai gak yakin Wendy akan terus mengisi. Taeyeon lebih dari segalanya dari yang Wendy butuhkan, pasti gadis itu lebih memilih Taeyeon dibandingkan dia.
Mata Irene tiba-tiba berair sedikit merah. Mama memperhatikan walau gak tau alasan anaknya ini tahan rasa sedihnya sendiri.
“Intinya, biarin Wendy cari kerjaan lain. Dia gak sebaik dengan apa yang mama kira. Mungkin aja dia memang lebih suka diluar sana, berduaan sama orang yang sewa dia, tidur bareng dan sebagainya. Tempatnya bukan disini bersama kita.”
Tatjana kurang yakin sama ucapan anaknya. Walaupun mungkin Irene lebih mengenal gadis itu lebih lama dibanding dirinya sendiri. Tapi rasanya susah untuk percaya penuh keterangan Irene secara gamblang.
“Kalau omongan mu itu semuanya benar, kenapa Wendy harus capek-capek ambil kerjaan lain? Bukannya profesi dia yang sebelumnya itu lebih enak. Gak harus keluar keringat segala macem, bahkan upahnya sehari pasti lebih besar dari upah yang mama beri.”
“Dia gak akan lama ambil kerjaan ini, Wendy pasti balik lagi ke pekerjaannya yang dulu. Itu sudah jadi habits dia mah. Wendy gak akan bisa cape-capean.”
Irene yakin sama dirinya sendiri, sama ucapannya yang entah itu benar atau enggak. Karena ya kenyataannya memang begitu, Wendy selalu kembali lagi ke Taeyeon. Berkali-kali, padahal dia sudah dapat pekerjaan lain sebagai alasan.
Tatjana masih berdiri mematung, sepanjang anaknya bicara dia gak melewatkan satu point pun.
Sekarang Irene dapat tepukan halus di bahunya. Tatjana berbalik badan bersamaan dengan turunnya hujan deras sore ini.
Langkah si Mama berhenti tepat didepan pintu kamarnya. Irene memperhatikan dari arah dapur.
“JooHyun, mama cuma mau kasih tau kamu satu hal.
“—jangan pernah kamu meludah kedalam sumur yang kamu sendiri timba airnya untuk diminum.”
Ngerti gak?
Mudah-mudahan Irene mengerti ya.
Karena menurut Tatjana, perkataan Irene ke Wendy itu keterlaluan.
_____________________________________________
(capek bgt gue jadi mama, paling susah masuk jiwanya ke peran mama JooHyun ini. Harus bijak harus punya dua pemikiran sebelum memutuskan itu paling sulit. Karena Tatjana ini guru dan gk mungkin sekali gue sembarangan bikin karakternya, harusnya diawal Irene ini jadi yatim piatu aja biar gak repot meranin banyak peran diluar kemampuan huhu)