Malam ini hormon oksitosin keduanya main sekali.
Ini terlalu nyaman, kulit keduanya terus bersentuhan sampai permainan selesai. Oksitosin adalah hormon kasih sayang—dan setiap mereka berdekatan itu rasa sayangnya lebih terasa sampai pucuk kepala.
Irene cium halus bahu telanjang Wendy yang dia dekap dari depan. Sementara Wendy semakin mengecil di dekapan Irene sambil cari hangat.
Hujan sukses berhenti, keduanya fokus ke depan. Jendela total basah dan suasana gelap sedikit menyisakan cahaya dari lampu luar. Gordennya dibiarkan terbuka, sengaja.
Wendy biarin Irene taruh pipinya di bahu, bahkan digigit kecil iseng sekali.
“Nanti aku bisa gak ya?” monolog gadis hamster ini pake suara pelan.
Irene endus dulu bahu Wendy lalu wajahnya sedikit maju sampai sukses cium halus pipi lucu gadisnya yang terasa sedikit dingin.
“Bisa apa?”
“Bisa tanpa kamu di rumah. Nanti akunya gimana? Ngapain?”
Lamunannya tadi berujung di kalimat itu. Wendy genggam erat tangan Irene diperutnya kemudian dilepaskan secara halus, sedikit bangkit dari dekapan Irene dan sekarang jadi saling tatap.
“Kamu di rumah aja sama mama.”
“Gak bisa, aku juga harus kerja kak.”
“Kerja apa lagi? Mama lebih butuh kamu di rumah.”
“Planga-plongo gak ada kamu kaya orang bloon. Gak mau.”
Irene terkekeh kecil, dia ambil tangan Wendy lalu diciumin sama dia katanya gemes.
“Ya terus kamu maunya gimana?”
“Ikut kamu ajalah. Biar aku juga ikut cari kerja di sana.”
“Mama gimana kalau kita gak ada?”
“Itu mama kamu kok kenapa malah aku yang diberatkan?”
Mereka jadi senyap.
Irene beralih hela nafas, matanya lihat ke sekeliling kamar Wendy. Gak begitu gelap gulita tapi Irene tau berapa ukuran kamar ini.
Setiap hari Wendy jadi semakin lengket dan manja. Irene sadar kok, kalau perubahan sikap gadis hamster ini berubah drastis semenjak kejadian waktu itu.
Irene mempertanyakan soal satu hal di kepalanya sendiri tanpa mau disuarakan didepan Wendy ataupun Mamanya.
Bahwa; clingy nya Wendy ini apa karena dia sudah benar-benar jatuh cinta?
Karena gini ya, tunggu dulu,
Spekulasi sendiri, Irene mikirnya mungkin memang benar Wendy sudah jatuh cinta. Kalau enggak ya pasti Wendy gak akan perduli apapun lagi tentang status.
Dan ada satu garis merah yang jaringan dan warnanya itu tipis sekali, tipis sampai gak bisa Irene bedakan kalau dia gak berusaha membedakan dan membandingkan dengan jeli dan teliti.
Sekarang gak bisa disangkal lagi kalau gadis telanjang dengan mata sayu didepannya ini lebih membutuhkan status daripada uang.
Masih ingat Taeyeon kan? Seberapa kaya dan populernya dia pun kita semua tau. Wendy ini akan terus disebut gadis paling hoki dan beruntung kalau dirinya juga bisa menikmati apa yang Taeyeon punya sesuka hati.
Sementara itu Irene berhasil lihat garis merahnya—Wendy gak sematrealistis itu, dia rela hidup di rumah kecil ini berdua bersama Ibunya sepanjang hidup. Padahal Taeyeon punya segalanya apa yang gadis itu mau.
Karena apa? Ya karena Wendy gak mencari sesuatu yang disebutkan diatas padahal dia bisa aja kalau gamblang didepan Taeyeon. Wendy cuma butuh hubungan yang jelas. Dia selalu lantang masalah itu kan setiap hari?
Semuanya terangkum didalam kepala Irene sedikit demi sedikit.
“Kak, maaf? Bukannya aku gak mau nemenin ibu Tatjana. Aku cuma gelisah aja kalau kamu gak ada di rumah.”
Wendy kembali membuka obrolan setelah keduanya sama-sama diam lumayan lama. Irene senyum tipis, terus dia tempe keningnya ke kening Wendy.
Dari jarak sedekat ini—Irene bisa lihat bibir bawah Wendy yang lumayan bengkak. Karena sesuai apa yang dia ekspektasikan diawal pertemuan, kalau bibir Wendy punya rasa manisnya sendiri.
Campuran popcorn caramel dan beraroma gula-gula. Secandu itu bibir Wendy dimata Irene.
“Kamu gelisah karena aku mau ninggalin kamu?”
Kepala Wendy reflek ngangguk, dia ikut memejamkan mata, dan ikutin gerakan kepala Irene yang bergerak kecil ke kiri dan kanan sampai hidung keduanya beradu seolah saling menyapa
Poni Wendy sedikit menggelitik mata, Irene senyumnya berubah menghalus sementara kening masih saling menempel.
“Hari ini hari apa?” suara Irene keluar lagi, Wendy beralih menjauh.
“Jum'at.”
“Kamu mau jadi pacarku?”
“Hah?”
Irene berdecak, telinganya merah menjalar sampai ke pipi. Dia gak jago sih ngomong romantis, kalimat basic begitu bisa keluar juga syukur.
Wendy ketawa kecil, bahkan poninya bergerak-gerak saking gak bisa tahan tawanya sendiri.
“Tau lah terserah.”
“Eh ngomong yang bener. Maunya gimana lho.”
Irene berdecak lagi, sengaja banting tubuhnya sendiri diatas kasur, tangan beralih ambil bantal disamping lalu dipake tutup wajahnya yang memerah malu.
Ketawanya Wendy jadi meledak, dia ambil bantal dari wajah Irene, maksa.
“Ayo ngomong lagi, yang tadi.”
“Enggak, kalimat panjang tuh tadi.”
Wendy segera tindih badan Irenenya dari atas, bahkan Irene sempat tahan nafasnya sebentar. Berat bro, montok tapi lucu ya mana tahan.
Tawanya Wendy kelihatan sekali sebagai bentuk perayaan lepas beban. Irene ikut terkekeh di jam malam selepas hujan deras tadi. Memandangi wajah menggemaskan gadisnya dari bawah, sambil nyengir polos yang dibalas gigitan kecil di pipi dari Wendy.
Yah pasangan, resmi. Walau prosesnya gak begitu jelas dan tertata, tapi Irene tau Wendy menerima dalam gesture lain.
“Hallo pacar?”
Irene diam dulu sebentar, terus senyum manis dan wajahnya mendekat lagi, cium sekilas bibir bawah Wendy agak lama.
“Iya, hallo juga pacarku.”