Ketemu orang yang sefrekuensi itu memang enak ya. Habisin waktu seharian gak berasa capek, ngobrol terus-terusan ngalir aja, semuanya kaya langsung connect.
Sebaliknya kalau gak sefrekuensi—spend waktu sebentar aja draining sekali. Capek, banyak diemnya dan kaya maksa aja gitu.
Nah itu yang sekarang Irene dan Wendy rasain. Mereka jadi lebih sering ketemu buat sekedar hangout atau makan ramen seperti biasa.
Wendy pernah kena tegur sekali oleh Solji setelah dia dan Irene resmi jadi teman.
Katanya; kenapa Irene gak sewa kamu lagi padahal kalian sudah baikan. Siang itu Wendy dengan wajah cerianya bisa jawab pertanyaan Solji lancar sekali, tanpa beban dan lumayan bikin lawan bicaranya diam beberapa saat.
“Lho, kita kan udah jadi temen. Jadi kita bebas ketemu tanpa tarif lagi.”
“Oke. Tapi misalkan Irene mau ketemu kamu sebagai pacar gimana?”
“Gak mungkin, kalau udah temenan ngapain pacaran. Toh rasanya juga sama aja, gak ada yang beda.”
“Kamu tau gak apa yang gak pernah bisa kita tebak di dunia ini?”
Wendy geleng kepala, binarnya benar-benar polos waktu tatap Solji.
“Takdir. Sama perasaan manusia.”
;
Boleh kan kalau Wendy terus mempertanyakan ucapan Solji tempo lalu?
Omongan Solji sukses masuk kedalam kepala. Apa iya takdir itu gak bisa di tebak? Manusia yang terlahir dengan kondisi cacat; bukannya itu juga takdir? Lalu takdir apa yang Solji maksud.
Irene memperhatikan Wendy yang terus mengernyit, dia gak masalah ujung bajunya terus Wendy pegang, tapi kenapa Wendy gak fokus hari ini.
Rasanya pengen belah tengkorak Wendy dan lihat kedalam sana—di dalam pikiran Wendy hari ini, apa sih yang dia pikirin. Sampai Irene sodorin botol pewangi pakaian ke hidungnya aja gadis ini refleksnya lambat, tatapan matanya bahkan kosong.
Dan ketika dia sadar karena aroma menyengat dari pewangi terlalu tajam, yang pertama kali Wendy lihat itu wajah Irene didepannya terlalu dekat.
Kaget, tapi Irene terkekeh dan taroh balik pewanginya ke rak, biarin gabung sama jenisnya lagi.
“Jangan ngelamun, aku minta saran pewangi mana yang harus aku beli.”
Wendy mendengus, gosok pangkal hidungnya sekilas dan mereka melanjutkan jalan.
Posisi Irene ada didepan, jadi pemimpin kegiatan mereka hari ini. Yah, sekedar menghabiskan waktu libur sebelum mereka berpisah. Masuk ke mini market dan belanja keperluan rumah jadi pilihan terakhir.
“Yang ini wangi.” Wendy ambil acak pewanginya, di cium sekilas dan dia sodorin ke depan hidung Irene.
“Nyegrak, pilihin yang kalem yang gak bikin pusing.”
Sekarang Wendy ambil lagi pewangi lain, memang yang warna biru tadi agak strong. Mungkin yang warna pink ini Irene bisa suka.
Habits jadi pacar sewaan, gak sadar dia pake hari ini. Irene juga gak sadar nyuruh begitu, berasa jadi raja penguasa dunia setiap ada Wendy.
“Coba cium yang ini kak.”
Mereka dekatin wajah berbarengan, semakin dekat semakin mereka bisa lihat kedalam bola mata masing-masing.
Yang pertama pindai wajah itu Irene, dia bisa lepas dari mata Wendy, tapi turun ke hidung, turun lagi ke bibir Wendy. Di bagian itu agak lama, karena otak Irene tangkap sinyal ini sebagai obyek yang paling menyegarkan.
Wendy berdehem, Irene beralih menjauh dan ambil botol pewangi warna pink itu dari tangan Wendy lalu dimasukkan ke keranjang kecil yang sedari tadi dia bawa.
Masih pegang ujung baju Irene, Wendy buang nafasnya dan ikut kemanapun kaki Irene melangkah.
Takdir yang ini yang gak bisa ditebak. Mereka bisa sedekat ini gak pernah masuk dalam rencana, dan hari ini mereka bisa habisin waktu berdua juga termasuk takdir. Takdir yang mengharuskan mereka begini.
Meninggalkan kebiasaan lama yang terasa kering, jauh dari kata bergairah karena terlalu asyik. Sanggup keluar dari zona monoton yang total membosankan karena hadirnya orang baru.
Takdir yang harus di syukuri di kemudian hari.
Setelah selesai belanja mereka gak langsung pulang, keduanya sepakat untuk menetap sebentar di dalam mobil. Sore menjelang malam dengan background sunset berwarna jingga.
Irene sukses habisin susu kotaknya lalu pandangan beralih ke sisi kemudi, lihat Wendy yang masih sedot susu kotak strawberry nya itu santai.
Ada satu hal yang pengen dia tanyain dari dulu.
Waduh, dulu? Selama itu kah mereka saling kenal? Waktu yang terlalu cepat atau mereka yang gak sadar waktu ya? Jawabannya masih menggantung.
“Wendy.”
Suara rendah dari Irene dapat respon tolehan kepala lawan bicaranya. Wendy lepasin sedotan susunya dari bibir, lalu balik tatap Irene yang pasang wajah serius.
“Kenapa?”
“Waktu pertama kali aku masuk kumiko, aku buka bio kamu. Kamu cuma punya dua orang penyewa. Sekarang tiga sama aku ya. Nah yang dua orang itu siapa?”
Wendy telak bungkam,
Sebelumnya mereka sudah janji buat terbuka sama hal-hal kecil, tapi pertanyaan Irene bukan hal kecil lagi. Status teman jadi kedok formalitas kalau Wendy masih mempertimbangkan jawaban.