10. Kenyataan yang Berbeda

164 19 23
                                    

Kami berdiri berhadap-hadapan. Tatapan kami beradu untuk beberapa saat.

Perlahan, aku mengeja namanya. “Reina.”

Gadis itu tidak tampak terkejut, ekspresi datarnya yang jarang kulihat itu menunjukkan bahwa dia seolah telah menunggu-nunggu kalimat itu untuk kukeluarkan.

“Leon Zaferino,” ujarnya dengan suara selembut angin yang berhembus.

Aku berjuang mengempulkan lebih banyak keberanian. “Kenapa kau ada disini?”

Reina menatapku datar, “Menurutmu? Bukannya kau sudah hapal diluar kepala tiap jengkal jalur ceritanya?”

“Tapi seharusnya kau tidak disini! Kau harusnya tidak tau apapun soal Viva Fantasy! Kenapa kau bisa disini? Apa yang terjadi padamu?”

Reina tertawa pelan, memancarkan aura villainess yang kian mengental seiring tatapannya tertuju kembali pada mataku. “Kau terlalu naif, Leon. Mungkin benar, aku tidak tahu-menahu soal dunia kotak ini sebelumnya. Tapi, kata siapa aku harus mengenali semua di kehidupan sebelumnya untuk menjalani peran disini sekarang?”

Aku terbelalak. “Maksudmu? Kau bisa merusak alur cerita menjadi tidak seharusnya!”

“Memangnya, kau tidak sadar kita tidak berada di alur cerita yang kau kira itu?”

Aku refleks mundur selangkah. “M-maksudmu?”

Senyum licik terbit di wajahnya. “Ya, sayangku Leon Zaferino. Kau tidak menyadarinya? Bukankah kehadiranmu sebagai figur yang tidak ada sebelumnya saja sudah cukup menjelaskan semuanya?”

Aku tercekat, memikirkan kembali pertanyaan yang sudah mulai kuabaikan belakangan ini. Hati-hati, aku menatapnya kembali. “B-bagaimana bisa?”

Reina hanya memiringkan kepalanya sekilas, membuat rambut panjangnya terkibas. “Jawabannya sederhana; interversi dari luar. Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi dimensi yang kita pijak saat ini sudah merupakan campur tangan pihak lain. Mengubah segala isi dan takdir tiap makhluk di dalamnya.”

Aku membanting langkahku maju dengan gestur mendebat. “Maksudmu, server ini di-hack atau semacamnya? Siapa yang—”

“Untuk kali ini aku tidak akan menegurmu gara-gara otak gamermu masih bisa-bisanya terbawa kemari,” Reina mengeratkan genggaman tangannya, memotong ucapanku dengan tatapan horornya. “Tapi, biar kuingatkan lagi. Mungkin kau masih berpikir kalau kita adalah pemeran film hasil produksi para bocah 20 tahun itu, tapi di momen ini ketika ponselmu—entah bagaimana—menjadi media penghubung portal yang membawa kita berdua kesini, di detik itulah semua ini tidak lagi merupakan permainan peran, melainkan mewujud menjadi dimensi baru yang telah berada diluar jangkauan mereka, apalagi orang lain. Menciptakan dunia baru yang dikendalikan pemegang lain dari pena takdir. Tidak perlu khawatir, dia ada di pihak kita.”

Aku terkesiap begitu selesai mencerna keseluruhan ucapannya. “Tunggu, apa maksudmu ‘kita’? Kurasa kau tetap berada di pihak yang berbeda dengan kami, bahkan meski takdir dijumpalikkan sedemikian rupa.”

Reina mengerjap dua kali sebelum kembali angkat bicara. “ Ah, tentu saja. Itu pasti. Kapan-kapan aku akan memberikanmu award karena bisa mengingat dengan detail semua kejadian itu, meski itu tidak lagi berarti di lembaran takdir baru ini.” Ia mengoceh dengan suara datar, seakan bosan meladeniku.

Reina menjulurkan tangannya, jemari lentiknya terangkat di hadapanku. “Tapi, aku serius soal kita. Bergabunglah dengan kami, dan kau akan memahami segalanya. Menikmati takdir baru yang akan membawa kita bersama dalam kebahagiaan. Semua akan berakhir baik, dan itu semua bisa terjadi hanya dengan bergabung bersama kami.”

Refleks defensif yang masih terbawa padaku membawaku mundur dua langkah. Ha! Tentu saja promosi terselubung dari sang antek Herobrine, sama seperti dia memperdaya Peppey. Dasar cewek, tapi sayangnya Reina bukanlah ahli persuasi. Meski aku tetap menyarankan, kalau soal adu muslihat, jangan berani kalian menantang perempuan. Apalagi yang rambutnya putih kusam sepanjang punggung dan matanya ungu dan menyandang nama Ren.

Mengambil langkah nekat, aku memaksakan raut skeptis meski tetesan keringat dingin mulai menjalari tengkukku. “Kenapa aku? Bukannya yang ingin kau rekrut itu Peppey?”

Reina tidak tampak terganggu. “Buaya berompi bulu itu? Sayangnya saja, dia masih terlalu naif sekarang. Dibanding dia, kau sudah jauh lebih memahami permasalahan ini sehingga kita akan lebih mudah bekerja sama. Lagipula,” iris ungunya yang sekelam portal nether menatapku sungguh-sungguh.

“Aku lebih ingin bekerja sama denganmu, Leon.”

Tatapan melas itu akan benar-benar menghipnotis siapapun yang simp dengannya, namun aku bersusah payah memejam kuat-kuat demi mengembalikan kewarasanku dan menatapnya kembali dengan tegas, “Maaf saja, tapi universe ini tidak akan membiarkanku percaya pada seorang Ren.”

Tatapan Reina berubah kecewa dan tersakiti—ya, selalu andalkan perempuan dalam hal drama. “Bahkan meskipun akulah yang menggantikan posisinya? Aku, Reina Adeline! Satu-satunya orang yang menginginkan kehadiranmu, satu-satunya orang yang mengetahui bukti terkait Alvin, satu-satunya orang yang pernah melihat buku catatanmu—”

“Wow, wow, cukup!” aku memekik berusaha menghentikannya. Yang benar saja, hanya karena dia memegang semua aib dan kelebihanku, dia mau menggunakan itu semua untuk memaksaku menyeberang pihak?

Inilah kenapa aku selalu punya trust issues terhadap semua orang. Padahal kukira aku tidak memerlukannya lagi di dunia baru ini.

“Kau mau menggunakan itu semua untuk memaksaku? Jadi kau tidak tulus saat itu?” aku balik mendebatnya, tidak menyangka bahwa pengkhianatan juga akan ikut mewarnai hidupku.

“Tidak! Aku selalu tulus untukmu, Leon! Tapi, kenapa … kau justru menolak?” ini dia, senjata lain bagi perempuan. Memang benar kalau laki-laki selalu salah.

Melihatku yang tanpa reaksi, Reina menarik napas. Memperbaiki posisi tubuhnya. Matanya tidak lagi berkaca-kaca layaknya pemeran drama, namun kini berkilat memancarkan aura mencekam yang berbeda. Sukses membuatku merinding meskipun matahari tepat ada di atas kepala.

“Baiklah kalau begitu, kau pasti muak selalu dipaksa, ya, Leon? Sayangnya, kau sudah tau terlalu banyak.”

Suaranya berubah. Itu bukan lagi suara Ren apalagi Reina. Itu suara berat yang sarat akan aura kejahatan. Aura mengerikan menguar di sekujur tubuh Reina, membentuk bayang-bayang yang begitu nyata. Mentalku berdentum entah bagaimana, tapi bisa kusimpulkan kalau aura itu memiliki semacam sihir yang kuat.

Aura kemerahan yang terus menyelimuti tubuh Reina perlahan membentuk sesuatu. Seekor ular kobra merah raksasa dengan aura Kekacauan. Aku terlalu kaku untuk sekedar beranjak, efek sihir ini memengaruhiku.

Mata Reina berubah menjadi setajam ular di belakangnya, sementara sebelah lengannya terjulur ke arahku dan tanpa aba-aba menembakkan seutas ular yang lompat menerkam wajahku. Membuatku terbanting jatuh.

Sebelum kesadaranku benar-benar habis, sesuatu berbisik lirih di dalam kepalaku.

Apophis.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang