48. Lembaran Silam

86 10 20
                                    

Dua detik setelah frasa itu utuh dikeluarkan dan otakku mencapai pemahamannya, aku maju menerjang Leon dan mencengkeram kedua pundaknya. Dengan tatapan gusar mengunci iris gelapnya yang hampa, aku meluncurkan sederet kalimat yang bahkan belum sempat melewati garis sensor di otakku.

“Dasar bodoh! Kenapa kau malah memutuskan tetap hidup, hah?! Cukup pilih salah satu opsi di hadapanmu dan matilah! Jangan keras kepala dan terlampau optimis, dunia tidak akan pernah berubah baik hanya karena kau tetap hidup! Kau itu aku, dan seharusnya kau melakukan apa yang seharusnya kulakukan!”

Leon yang wajahnya hanya terpisah setengah jengkal dari wajahku bergeming untuk sesaat, untuk kemudian menampilkan seulas senyum—yang tidak disangka bisa terasa tulus saat dipadukan dengan tatapan sendunya.

“Justru, karena aku adalah kau, Leon. Aku menampilkan apa yang sejatinya kau harapkan, jauh di alam bawah sadarmu.”

Mendengar suaraku sendiri memanggilku menggunakan nama dengan nada layaknya seorang yang lebih berwawasan membuat telingaku agak berdesir, tapi aku mengabaikannya dan lanjut menatap Leon tajam. “Diam. Apa-apaan maksud perkataanmu? Sudah jelas satu-satunya yang kuinginkan adalah bunuh diri, meninggalkan dunia terkutuk ini. Kenapa kau malah memutuskan seenaknya sendiri kalau ‘aku tidak mau mati’? Mana solidaritasmu sebagai bagian dari isi kepalaku?”

Leon masih bersikap tenang dengan raut kalem yang sama, bertolak belakang denganku yang menghembuskan napas tidak sabaran dan cengkeraman yang berniat membunuh. “Sayangnya, aku adalah alam bawah sadarmu. Perwujudan dari isi hati sejatimu. Harapan dan keinginan terbesarmu. Jadi, aku tahu dengan lebih pasti, bahwa mati bukanlah keinginan aslimu.”

Kulonggarkan cekalanku di pundaknya. Dia melepaskan diri dan menjaga jarak dua langkah, seirama dengan lunturnya lanskap di sekitar kami menjadi hitam hampa. Seluruh atribut bunuh diri telah hilang dari diri Leon seutuhnya, dan kini dia menatapku seolah bersiap memberiku kuliah ilmiah mengenai kenapa api itu panas.

“Kau sama sekali tidak ingin mati, Leon,” ucapnya sebagai pembuka. “Kau belum mau hidupmu berakhir. Kau masih ingin merasakan kebahagiaan di dunia. Kau tidak mendapatkannya di sepanjang umur yang sudah kau lalui dan itu mulai menumpuk keputusasaan di dalam dirimu, namun jauh di lubuk hati terdalammu, kau masih ingin berusaha. Kau masih ingin mencari kebahagiaan itu.”

“Pernyataan konyol,” elakku. Namun, semakin aku mendengarkannya, semakin aku merasa buncah kecil meletup di dadaku, seakan menyerukan persetujuan.

“Aku tidak akan menyanggahnya,” lanjut Leon. “Tapi, itulah yang nyatanya terjadi di alam bawah sadarmu. Harapan hidupmu terus tergerus, tapi kau tidak mau, dan tidak sudi menyerah. Kau membutuhkan alasan untuk hidup, dan kau menutupinya dengan mengatakan kau ingin mati.”

“Tapi itu mustahil. Kenapa pula aku ingin tetap bertahan dalam derita ini? Aku hanya menginginkan agar ini semua berakhir segera.”

“Kau tahu persis kematian tidak menyelesaikan masalahmu,” tukas Leon tajam. “Kau tahu kematian tidak akan mengakhiri segalanya. Masih ada yang akan menantimu sesudah kematian, dan kau tahu, kau sendiri belum siap untuk itu. Yang kau cari adalah alasan untuk tetap hidup, dan kau menamengi diri dengan pernyataan ingin mati sementara kau masih mencari jawabannya.”

Kalimat itu menusuk telak ke jantungku, tidak sanggup mengelak. Sejujurnya, apa yang dia katakan memang tepat. Kadangkala aku berpikir, apa sebenarnya aku menjadikan keinginan mati sebagai alasan sementara aku mengais kebahagiaan meski secercah. Apa aku hanya bersembunyi di balik koar bunuh diri dan mengharapkan sesuatu—atau seseorang jika beruntung—untuk muncul dan menyelamatkanku. Namun biasanya begitu pemikiran itu muncul, bahkan sedikit saja, aku langsung menimpalinya dan menegaskan kalau seharusnya aku meyakini aku ingin mati, bukan mengakui permintaan tolong carikan aku kebahagiaan.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang