44. Surga Masa Lalu

72 11 0
                                    

Aku membuka mata dan terkejut mendapati diriku tengah terbaring di tengah hamparan luas hutan.

Setelah mengumpulkan nyawa yang tercecer, aku bangkit dan mengamati sekitar. Ini benar-benar hutan, bukan khayalan kosong akibat distorsi sihir. Setelah diteleportasi paksa oleh Marvel dengan sangat buruk, awalnya kukira dia sungguhan akan membawaku ke Samudera Kekacauan, tempat terburuk yang mustahil dimasuki dengan selamat oleh manusia biasa.

Namun, justru di sinilah aku, sendirian di tengah hutan lebat yang hampir tidak dimasuki sinar matahari sedikitpun. Mungkin mantra Marvel bermasalah, dia memang masih belum pintar sihir. Mungkin anomali yang semakin menggila membuat jalur sihir dunia berantakan sehingga mantra Marvel terhantarkan ke tempat yang keliru. Mungkin Apophis sengaja meretas jalur sihir Marvel sehingga mantranya tidak sanggup mencapai Samudera kekuasaannya. Atau mungkin—

Oh.

Lupakan seluruh prasangka baik. Begitu aku menyadari hutan apa ini, sadarlah aku hakikat sejati dari mantra Marvel. Mantra itu membawa korbannya ke tempat ia harus berada, dan disinilah aku, di tempat yang lebih buruk dari Samudera Kekacauan asli sekalipun.

Lush Paradisa. Hutan ilusi di tempat paling terpencil Vivaland. Pusat kekuatan Marduk, sang dewa batu topaz yang berkekuatan ilusi itu sendiri. Hutan yang sekilas terlihat begitu indah, namun mematikan dengan berbagai ilusi yang dimilikinya. Ilusi kuat yang menampilkan entah itu harapan terbesar, keinginan terdalam, atau apapun itu yang diperlukan setiap individu yang memasukinya. Ilusi dengan godaan besar yang bisa saja menyetir mereka yang tidak awas untuk menyakiti diri sendiri sampai mati dan sejenisnya.

Atau jika tidak, maka yang akan terjadi adalah penumpukan rasa bersalah dengan trauma yang diputar ulang, seperti yang akan terjadi padaku.

Aku sedang menyusuri hutan itu ketika serangan ilusi itu masih belum menyerangku. Aku pernah dengar kalau siapapun yang memasuki hutan ini tidak akan bisa keluar lagi, tapi aku tidak punya hal lain untuk dikerjakan. Kepalaku dipenuhi berbagai pemikiran terutama soal apa yang tengah terjadi di dunia luar tanpaku. Aku tidak bilang kalau sekarang aku menjadi pusat dunia di sini, tapi aku tetap saja khawatir. Menurut Annum aku adalah poin utama dalam rencananya, tapi sekarang apa? Apa mengurungku di hutan ilusi termasuk dalam rencana pembebasannya dari Void?

Suara gemerisik di belakang menggaruk telingaku. Dengan waswas, aku berbalik hati-hati. Begitu melihatnya, jantungku terasa seolah jatuh menghantam tanah dengan spektakuler.

Ibu dan ayahku.

Dengan tatapan menghakimi yang sama, dengan gestur ingin meremukkanku yang sama. Setelah sekitar hampir dua bulan tidak bertemu mereka, aku hampir lupa perasaan-perasaan itu. Rasa tidak berdaya dan serbasalah di bawah kuasa mereka. Rasa yang menghantuiku selama lima belas tahun. Bisa-bisanya kenikmatan dunia Viva membuatku terlena dan melupakan rasanya penderitaan masa lalu?

Ketenanganku buyar seketika. Bertemu mereka lagi membuat ingatan-ingatan lamaku menyeruak kembali, semuanya terasa segar seolah baru dimasukkan kembali ke kepalaku. Aku kembali teringat rasanya diinjak-injak, dianggap sampah yang seharusnya mati di selokan. Seluruh kekuatanku selama berada di dunia Viva lenyap, menyisakan aku yang lama, Leon yang biasa, bocah lima belas tahun yang tidak bisa apa-apa.

Bayangan mereka masih tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri diam mengamati, namun aku jatuh terduduk, terbayangi oleh sosok mereka.

Seperti yang biasa terjadi di masa lalu.

Aku teringat akan pukulan-pukulan itu, akan kalimat-kalimat itu. Aku harus merasakannya lagi, posisi ini memaksaku untuk mengalaminya seperti yang sudah terjadi ribuan kali.

Selama beberapa waktu, telingaku hanya dipenuhi suara napas panikku. Mataku yang terkatup rapat menayangkan ingatan-ingatan lama, namun tidak ada yang terjadi. Aku tidak merasakan hal lain di kulitku. Tidak ada hantaman keras ataupun rasa sakit yang kuantisipasi.

Perlahan aku membuka mata, mendapati bahwa ilusi mereka berdua sudah tidak ada. Lenyap seolah tidak pernah hadir sebelumnya. Masih dengan jantung berdebar panik, aku menegakkan punggung, mengedarkan pandangan hati-hati. Tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka sama sekali. Mungkin aku sudah aman.

Suara ketukan kayu yang terdengar saat aku berusaha berdiri membuatku sadar, aku terlalu cepat bicara. Serangan ilusi itu akan terus datang berduyun-duyun, menyerang di setiap sisi sekali ia mulai menampakkan diri. Dan kini aku sudah terjebak di antaranya.

Pijakanku terasa sekaku pasak, namun sebuah dorongan memaksaku berbalik. Menghadapkanku pada mereka yang kuharap tidak harus kuhadapi lagi.

Ilusi ibuku.

Aku tau pasti ini ilusi, namun menyanggah kehadirannya sama sekali tidak semudah mengatakan ‘hei, itu cuma ilusi, jangan panik.’ Saking sempurnanya pengaruh Marduk, aku nyaris tidak bisa menemukan satu hal pun yang membuat wanita di hadapanku ini terlihat tidak nyata. Satu-satunya yang membuatku ingat ini hanya ilusi cuma kenyataan kalau orang tuaku yang asli mustahil ikut berada di dunia Viva.

Tapi, itu tidak membuat segalanya jadi lebih baik. Dalam wujud ilusi pun, aura ibuku sudah begitu mengancam. Satu-satunya hal terbaik yang bisa kulakukan hanyalah tetap berdiri di tempat dan mengeluarkan cicitan parau yang tidak sopan sementara sosok di hadapanku bergerak mendekat.

“Leon,”

Runtuh sudah semua pertahananku. Aku memejamkan mata kuat-kuat dan begitu membukanya kembali, tanpa sadar aku sudah berlari menjauh menerjang seisi hutan. Menghindari amukan ibuku yang tertunda hampir dua bulan.

Kakiku terus berderap, tapi kepalaku tetap dikelilingi berbagai kecamuk.

Kenapa aku lari?

Ini semua kesalahanku, kan?

Harusnya aku menerima semua itu! Itu yang pantas kudapatkan!

Kenapa aku menghindar?

Semua hukuman itu sudah sepatutnya dijatuhkan padaku!

Terlalu sibuk berpikir membuatku tidak menyadari kehadiran sosok lain di hadapanku, dan aku sudah nyaris menubruknya jika di detik terakhir aku tidak melihat bayangan kakinya. Membuatku berhenti mendadak dan mendongak menyadari sosok siapa itu.

Ayahku.

Orang yang jarang peduli pada banyak hal, namun kepulangannya berarti penghakiman yang lebih berat. Yang jika ibuku adalah seorang bersenjatakan lidah pedas dan ringan tangan—dalam konteks memukul, maka ayahku adalah seorang yang penuh dengan kalimat dingin yang menusuk langsung di jantungku.

Kalau ibuku adalah orang yang panas membara, maka ayahku orang yang dingin beku. Keduanya sama menyakitkannya, dan pengalaman lima belas tahun cukup untuk mengajariku banyak hal.

“Bocah sampah.”

Napasku seolah tersumbat. Dalam kaku, mataku seolah digerakkan paksa, beradu tatap dengan ayahku.

Tatapan dingin menusuk itu. Lapisan es di balik iris matanya. Atmosfer mencekam yang membuat area ini seolah suhunya berkurang sepuluh derajat. Cara pandang yang setajam es runcing. Dan lebih dalam dari semua itu, nuraninya yang telah beku dan pecah berkeping menjadi serpihan es.

“Kapan kau bisa jadi berguna, hah?”

Jangan lupakan lidah tajamnya, yang praktis lebih berbahaya dari es kering. Dia baru mengatakan dua kalimat, namun kepalaku mengeja seluruh kalimat yang pernah ia ucapkan sebelumnya. Membuat otakku seolah dilapisi bunga es perlahan.

“Kenapa kau hanya bisa membuat masalah, dasar bocah tak tau diuntung!”

Aku terhuyung. Pijakanku goyah. Kepalaku terasa begitu sakit menusuk. Hal terakhir yang kutau, aku sudah tergeletak tak berdaya di antara hamparan es serpih yang menggunung.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang