35. Dunia Lain Tidak Seburuk Itu

97 11 4
                                    

Aku tercenung, susah payah menenggak ludah. Bahkan bernapas pun terasa berat seolah udara terbuat dari timah. Degup jantungku yang kaku menggema seolah jantungku terbuat dari onggokan besi.

Bahkan diluar itu, aku sama sekali tidak baik-baik saja. Belakang kepalaku seolah baru saja dihantam beton, membuat pening di kepalaku kembali mendera. Meski begitu, aku tetap menatap Marvel, berusaha merangkai kata meski patah-patah.

“H—huh? Me-memangnya … apa yang dia katakan persisnya?” biar kuakui, raut wajah bodohku sama sekali tidak membantu untuk situasi seperti ini.

Marvel menunduk, menyusuri pola akar rumput sembari berkisah.

-

Danau tempat Jade tidak disembunyikan, 12 jam lalu.

Leon tersungkur. Marvel berusaha menyangganya. Tetesan darah akibat hunjaman panah terus mengalir, mengubah warna sebagian pakaiannya. Marvel menjerit, bola matanya basah sementara ia mendongak menatap Alvin yang hanya memandang angkuh.

“Kau! Kau serius melakukan ini? Bahkan, apa-apaan ucapanmu barusan!?” pekiknya, sementara yang diteriaki tidak tampak ambil peduli.

“Aku tidak pernah bilang aku sedang bercanda di sepanjang percakapan kita tadi,” kilah Alvin sekilas. “Dan, kenapa kau mesti sekaget itu? Dia pantas mendapatkannya. Ah, bukan. Bahkan, dia pantas mendapatkan yang lebih buruk dari ini. Kenapa kau harus sepeduli itu bahkan pada orang yang bukan berasal dari dunia ini?”

“Jangan beromong kosong! Aku kenal baik Leon—”

“Hanya dalam kurun waktu kurang dari dua bulan? Dan kau pikir kau sudah tau segalanya mengenai dia?” Alvin menyunggingkan seringai, kilat licik tersirat di matanya. “Kau sama sekali tidak tau apa-apa mengenai Leon. Kalian berbagi, bercengkrama, bahkan kabur bersama dan itu membuatmu mengira kau sudah kenal baik dengannya? Sayang sekali. Mengenai Leon, kau sama butanya dengan tikus mondok tanpa hidungnya, tidak lebih dari itu.”

Disamakan dengan tikus buta tidak membuat Marvel merasa lebih baik. Hampir seketika ia bangkit, memosisikan dirinya di antara Leon dan Alvin, dan memancangkan tatapannya pada Alvin yang masih tidak peduli.

“Setidaknya kami pernah bersama! Kau sendiri, seberapa kenal kau dengan Leon sampai berani bilang begitu?”

“Mau tau?” tatapan Alvin berkilat sementara sudut bibirnya tertarik naik. “Aku kenal dia tiga tahun lebih lama dibanding kau.”

Kalimat itu menghunjam telak ke jantung Marvel yang sontak meraba dadanya selagi pijakannya goyah. Alvin kentara sekali menikmati gelombang syok itu, membiarkan Marvel terhuyung selangkah sebelum kembali angkat bicara.

“I—tu … tidak mung—”

“Oh, dan kau tau, ada fakta lain yang lebih menarik. Bisa kutebak, dari raut wajahmu itu, Leon tidak pernah cerita soal masa lalunya, ya? Makanya kau begitu buta soal apa saja yang telah ia lalui. Apa kau pernah bertanya-tanya, kenapa Leon tidak seterbuka itu menceritakan masa lalunya padamu? Biar kujawab pertanyaan itu.”

Tatapan mereka beradu, yang satu dipenuhi kilat licik sementara yang satu lagi berisi gurat menolak percaya.

“Leon tidak akan pernah mau memberitahumu masa lalunya, karena dia bukan dari dunia ini, Marvel.”

Lutut Marvel tertekuk setengah, namun ia masih memancangkan tatapannya pada iris licik di hadapannya. “Apa-apaan omong ko—”

“Leon dan aku berasal dari dunia lain. Dunia yang tidak seharusnya terhubung ke duniamu ini. Tapi entah bagaimana Leon dapat membuka portal yang tidak seharusnya tertambat ke dunia kami, menarik dirinya masuk ke duniamu ini disusul Reina dan aku.

"Dan biar kuberi tahu, semenjak portal yang salah itu membawa Leon masuk kesini, anomali lain bermunculan dan membuat tatanan dunia ini jadi kacau. Makhluk-makhluk yang tak pernah disebutkan sebelumnya bermunculan, menjerumuskan sisi dunia ini ke ambang kehancuran. Membuatmu harus kehilangan rumah, kehilangan keluarga, kehilangan teman, dan kehilangan segalanya sampai Kekacauan Abadi menelanmu ke kehampaan.

“Jadi, camkan saja ini, Marvel. Jika kau perlu menyalahkan seseorang atas kondisi hidupmu yang mengenaskan kini, salahkan saja Leon.”

Marvel sempurna bertekuk lutut. Alvin dan Via sudah hendak meringkusnya ketika sebuah gemuruh berkumandang dari telaga. Sejurus kemudian, sesosok monster melompat keluar dari danau, kemudian ganas menyerang Alvin dan Via sementara Marvel mengambil kesempatan untuk kabur menjauh sambil membawa Leon.

-

Aku termangu untuk sesaat, tidak mampu berkata-kata.

Alvin, yang benar saja. Sedendam apa dia itu sampai bisa-bisanya membocorkan informasi seburuk itu? Sengaja benar dia hendak mengadu domba antara aku dan Marvel, tapi untuk apa? Apa sebenarnya dia …

Ah, tunggu. Aku tidak boleh memikirkan itu sekarang. Marvel di hadapanku sudah mengangkat kepalanya, menatapku dengan kesenduan yang nyata. Aku harus meluruskan masalah ini sebelum memikirkan tujuan asli Alvin. Kalau sampai Marvel juga tidak memercayaiku, bisa-bisa semuanya jadi gawat.

“Uh … begini, Marvel,” aku perlu bersusah payah membujuk lidahku agar tidak kelu, “ini tidak seburuk yang kau pikirkan, biarkan aku menjelaskannya dulu.”

Maka, kuceritakan segalanya dengan jujur. Kenyataan bahwa aku memang bukan berasal dari dunia ini, apa yang telah terjadi sampai aku bisa terdampar di lintas dunia, dan karena Alvin yang mulai buka kartu duluan, kutambahkan juga sekilas informasi singkat mengenai Alvin dan Reina dari dunia sebelumnya. Marvel mendengarkan dengan seksama, tapi aku bisa melihat kerutan resah dari raut wajahnya.

“Maaf kalau aku tidak pernah memberitahumu selama ini, Marvel. Aku hanya … tidak menyangka ini akan menjadi masalah di kemudian hari.” Pungkasku.

Marvel masih termenung, matanya menatap kosong percikan air sungai, yang mana tidak membuat situasi ini menjadi lebih baik. Duh, ini membuatku jadi makin resah. Mungkin saja aku memang telah mengecewakan seluruh dunia, tapi apapun itu asal jangan Marvel yang menjadi murung akibatku!

“Marvel,” panggilku lirih saking putus asanya, “aku benar-benar minta maaf. Apa … sekarang kau menyesal telah percaya padaku?”

Marvel mengusap wajahnya, air mukanya tampak lelah. “Aku tidak apa,” ujar Marvel akhirnya. “Tapi … bukankah yang tidak baik-baik saja itu kau, Leon?”

Aku mendelik begitu mendengar kalimat itu dari bibir Marvel. Iris matanya seolah membesar demi menahan tangis. Memikirkan itu saja membuat rasa bersalahku semakin memuncak.

“Dari ceritamu tadi, sepertinya kehidupanmu di sana benar-benar buruk. Lalu Alvin … tidakkah itu berarti dia musuhmu? Bagaimana dia—kau, uh. Aku jadi tidak mengerti,” Marvel menggumam sembari meremas dahinya.

“Tapi tetap, tidakkah lukamu dari duniamu itu belum sembuh sepenuhnya? Lalu, kau datang, disini menceritakan segalanya dan meminta maaf, lebih mencemaskanku daripada dirimu sendiri, bahkan—bagaimana kau justru lebih khawatir padaku? Padahal kau yang lebih terluka di antara kita,” ceracaunya, sementara aku hanya terdiam meresapi tiap katanya.

“Jujur saja, aku sendiri sama sekali tidak kuat dengan hidupku sebelumnya. Sudah tiga kali aku mencoba untuk mati, namun berakhir gagal. Tapi disini, ada kau yang jadi prioritasku. Aku tidak mau kau jadi terbebani, itulah kenapa aku meminta maaf.” Balasku meski tutur kataku mungkin terasa meragukan.

Aku bangkit berdiri. “Yah, tapi bukan waktunya kita larut dalam sentimental. Ayo, Marvel, kita masih harus mengamankan Jade. Apa kau tahu di mana posisi aslinya?”

Marvel mendongak, lantas berdiri dan mengenakan kembali jubahnya. “Nergal memberitahuku letak asli batu Jade. Tapi kenapa kau seolah terburu-buru sekali? Apa kita mengejar sesuatu?”

“Aku … tidak yakin, tapi yang pasti kita harus mengamankan kedua batu itu secepatnya. Oh, mari berharap Gizan dan teman-temannya juga sudah melakukan yang terbaik untuk melindungi Ametis.”

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang