18. Latihan yang Dilatih

120 10 0
                                    

Ini sudah hari kedua dari batas waktu Marvel membunuh Raja GM, dan aku kembali menjadi pengintai setia di balik dinding koridor.

Tidak ada perkembangan lebih jauh dari pertarungan mereka sebelumnya, satu-satunya yang membedakan adalah hari ini Marvel tidak sengaja melepaskan sihirnya, namun Raja GM tetap tenang dan mengacungkan kalung emerald untuk menetralisirnya. Seperti saat ia pertama kali mengeluarkan sihirnya, tubuhnya ambruk bersama kesadarannya yang menghilang.

Dengan mudah Raja GM membawanya masuk kembali ke kamarnya, meninggalkanku sendirian yang lagi-lagi hanya bisa berdiam diri dan merenungkan tindakan apa yang sebaiknya kulakukan sebelum event canon yang lain muncul dan melibatkan diriku.

“Leon?”

Suara itu melewati pendengaranku tepat saat aku berbalik dan mendapati si pemilik suara tengah menatapku lekat sedari tadi, membuatku tetap berjengit meski sudah mulai bisa memperkirakannya. Ren, tentu saja. Belakangan ini, entah kenapa dia sering menghampiriku untuk beberapa sapaan, yang sejujurnya membuatku cukup bingung. Dia sedang mencoba perhatian atau bagaimana?

“Kau di sini lagi, Ren.” sahutku akhirnya. Bukan berarti terganggu, aku hanya merasa agak aneh. Tidak biasanya ada orang yang meluangkan waktunya untuk memedulikanku, bukan menjatuhkanku. Sepanjang ingatanku, hanya satu orang yang mungkin melakukannya–

“Kau kelihatan serius sekali mengamati latihan Marvel,” komentarnya ramah, tidak mengindahkan kalimatku barusan. Aku hanya terkekeh hambar. “Kenapa tidak? Jika semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, maka kesibukanku adalah memastikan Marvel tetap menjalani perannya sebagaimana mestinya.”

Ren terkikik ringan, tatapannya menerawang ke arah lapangan di belakang punggungku. “Kenapa kau harus memedulikannya, lagipula? Tidakkah kau bahkan memedulikan dirimu sendiri?”

Aku mengangkat bahu. “Bagaimanapun, dia adalah pusat inti dari kita semua. Kalau sesuatu yang salah terjadi padanya, kita semua yang akan kena dampaknya.”

“Tapi bagaimana dengan dirimu sendiri? Kau tidak seharusnya memerhatikan orang lain lebih dari dirimu sendiri.”

Aku hanya terdiam. Lantas tanpa kata, aku melangkah melewatinya. Membiarkan pernyataannya barusan menggantung di antara kami. Aku tidak boleh peduli, saat ini aku harus fokus pada Marvel seorang.

-

Matahari sudah berubah posisi, dan saat ini pastilah Marvel berada di lapangan sendirian. Seharusnya sebelum ini aku menemuinya di kamar segera setelah Raja GM meninggalkannya siuman, namun kemudian aku berpapasan dengan Samsul, membuatku memutuskan untuk menghibahkan tugas memberikan-saran-berlatih-untuk-Marvel padanya. Awalnya aku hendak melakukannya sendiri, tapi kuputuskan untuk menggunakan Samsul. Setidaknya, dengan seorang figur kakak seperti dirinya, Marvel akan lebih merasakan kedekatan batin dibandingkan aku, anggota baru yang sok-sokan menceramahinya soal latihan.

Meski demikian, bagian melatihnya tetap menjadi bagian utuhku.

Langkahku mencapai lapangan. Tidak sulit mencari sosok ungunya yang bertemankan pedang di antara bayangan pohon, maka aku mendekatinya perlahan. Marvel terlalu fokus menebaskan pedangnya pada angin untuk beberapa waktu hingga ia akhirnya berbalik dan menyadari kehadiranku,

“Leon,” panggilnya di antara napasnya yang terengah. Aku mencoba menatapnya ramah.

“Aku. Perlu teman latihan? Cara terbaik untuk berlatih tarung adalah praktek langsung dengan orang lain, bukan?” aku mengulangi kalimat yang kuucapkan kemarin.

Marvel menatapku serius, lantas mengangguk yakin. Aku mulai memasang kuda-kuda, mengeluarkan elemen tanah untuk membuat pedang tanah jadi-jadian yang setidaknya bisa untuk mengimbanginya.

Tanpa aba-aba, tanpa suara, tanpa hitungan. Kami mulai saling menyerang.

-

Sepuluh menit, kami berhenti. Mengambil napas sedalam-dalamnya.

Aku tidak pernah berduel dengan serius sebelum ini, namun tubuh baruku memulihkan diri dengan cepat seolah mengayunkan pedang dari tempelan bebatuan yang berantakan adalah rutinitas harianku. Marvel di hadapanku terengah, masih menatapku dengan pedang di genggamannya.

“Leon,” ia memanggil, membuatku mendongak. “Sebenarnya, apa alasanmu untuk mau berlatih denganku? Kau tidak mungkin bersedia membantuku begitu saja tanpa alasan, kan?” tanyanya pelan di antara tarikan napasnya.

Aku tidak langsung menjawab. Otakku yang melambat setelah berkeringat menggerakkan pedang memproses pertanyaan Marvel secepat pemutar kaset berkarat, dan kemudian aku masih harus termenung untuk menjawabnya.

“Untuk alasan jujurnya,” gumamku akhirnya. “Aku juga ingin jadi kuat, Marvel. Setelah sihirmu bangkit, akulah yang terlemah di antara kita berlima. Sihirmu belum sempurna, aku tau. Namun kau akan segera dilatih mengendalikannya—dengan asumsi kau berhasil menyelesaikan ujian ini. Tinggal tersisa aku, bocah yang tak jelas asalnya dan sama sekali lemah dalam sihir. Aku tidak mau menjadi beban lebih lanjut, dan satu caranya adalah dengan ikut berlatih bersamamu. Aku mungkin tidak terlalu membantu latihanmu, aku tau aku juga sama payahnya dalam pertarungan dan sihir. Namun setidaknya, aku juga ingin berusaha.”

Entah apa kalimat panjang itu muat masuk ke kepala ubi ungunya, namun Marvel tampak mencerna perlahan dan kemudian mengangguk. “Baiklah. Kalau begitu, ayo kita menjadi kuat bersama-sama!”

Seirama dengan kalimatnya itu, ia merangsek maju melanjutkan pertarungan. Aku mengangkat pedang tanahku, menangkisnya dan bertahan.

-

Tetap saja. Kalau dibandingkan, semua pasti tau kalau Marvel yang akan lebih cepat menjadi kuat ketimbang aku.

Kami sudah biasa berlatih pedang bersama. Pagi, sore, terkadang malam. Namun diluar itu, Marvel masih melatih kemampuan lain lebih sering tanpaku. Terkadang aku melihatnya menarik panah, di lain waktu melihatnya berlatih tinju tangan kosong.

Aku juga ingin bergabung, sebenarnya. Namun waktuku di jam-jam itu telah kuhabiskan untuk pengecekan rutinku, yang jujur sangat menghabiskan waktu dan menyebalkan. Dan setelah selesai dengan semua pengecekan medis itu, biasanya aku tidak bisa menggunakan sihirku untuk satu atau dua jam kedepan dan menjadi terlalu letih entah kenapa. Membuatku hanya bisa mengawasi Marvel dan latihan solonya dan menjadikan rasa iri sempat-sempatnya terbesit dalam benakku.

Dan di momen-momen seperti ini, ketika aku entah melamunkan apa sementara Marvel sendirian di tengah lapangan, Ren akan muncul begitu saja entah dari mana dan membuatku hampir hapal.

Seperti saat ini.

“Kenapa kau suka sekali menyendiri di koridor sini, Leon?”

Tuh kan, hitunganku lagi-lagi tepat. Dengan malas aku berbalik, menatapnya datar. Aku masih capek setelah pemeriksaan, dan itu membuat perasaanku kurang baik saat ini.

“Memangnya, kau sendiri bagaimana? Kenapa suka sekali muncul dari kegelapan dan menjumpscareku? Kau tidak bersama Peppey dan Samsul?” ujarku sama datar.

Namun, Ren masih mempertahankan senyum manisnya. “Mereka sibuk dengan kegiatannya sendiri. Apakah salah kalau aku ingin berbincang denganmu beberapa waktu? Aku jauh lebih tertarik denganmu, soalnya.”

Aku terkekeh hambar. Entah kenapa, semakin hari aku merasa semakin datar dengannya. Mungkin aku hanya jengah. “Lupakan saja, deh. Lagipula, kau sendiri tau kalau aku juga sibuk mengawasi Marvel, bukan?”

“Jika kau sibuk mengawasi Marvel, maka aku mengawasimu, tenang saja. Mudah, bukan?”

Aku berbalik, menatapnya tidak percaya demi kalimatnya yang tidak terduga. Apa-apaan pula kalimat penuh obsesi itu?

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang