40. Marvel, Dilema Antara Badai Merah

101 12 7
                                    

Langkahku berpacu. Hujan berpetir masih setia mengikuti seirama napasku yang tersengal. Kalung emerald masih tergantung di leherku, namun emeraldnya sudah retak parah dan tidak lagi hijau benderang. Gara-gara ...

Deg.

Lariku serta merta terhenti. Kejadian runtut penyebab rusaknya emerald kembali terputar jelas di ingatanku. Awalnya aku terjatuh dari tebing, lalu saat aku akhirnya bisa naik kembali-

Genah. Leon. Pembunuh.

Aku merunduk, mencengkeram kedua telingaku keras-keras sembari menjerit tertahan. Dulu aku melakukan ini ketika terjadi petir di sekitar rumah, namun sekarang itu bukan lagi masalah utamaku. Air mataku menggenang, rasa panasnya kontras dengan dinginnya hujan badai yang melanda. Tersengal aku mengais napas, berusaha keras tidak mengingat lagi kejadian di atas bukit.

Genah. Mayat. Terbunuh. Oleh Leon.

Aku meraungkan jeritan melengking, menyaingi gelegar petir. Namun itu tidak cukup, ingatan-ingatan itu terus dan terus kembali menyerangku. Kueratkan jubahku sementara kepalaku terhadapkan kembali pada ingatan yang sudah belasan kali terputar.

Genah mati. Darahnya bercampur dengan genangan hujan. Tubuh lemasnya tergantung di udara, dengan sihir Leon menembus persis di jantungnya. Meski hanya melihatnya selama lima detik, citra itu sudah cukup menghantui selamanya.

Aku menoleh, menatap kembali bukit yang kutinggalkan di belakang sejak beberapa saat lalu. Ingatan itu saja sudah sangat buruk, tapi aku lebih tidak mau mengingat kejadian selanjutnya.

Leon. Jahat. Singkirkan.

Oh, tidak. Sungguh, aku pribadi tidak mau mengingat momen itu. Bahkan sekarang, hanya beberapa waktu setelah kejadian, aku saja sudah merasa benar-benar keliru. Namun, aku tidak bisa menarik kembali apa yang telah kulakukan.

Itu dia, Leon hanya memanfaatkanku selama ini. Seluruh kepercayaanku padanya sia-sia. Dia adalah musuh, maka aku menyingkirkannya. Memang itu yang seharusnya dilakukan.

Tapi kenapa ... aku merasa salah?

Aku termenung. Dinginnya hujan yang menerpa tidak lagi terasa, berganti nyeri yang membuncah dari dada ke seluruh tubuh. Akhirnya, kuberanikan diri menyelami kembali ingatan-ingatan itu, mengingatnya kembali atas kemauanku sendiri.

Aku ingat. Selepas aku memanjat bukit itu kembali dan sampai di puncak, persis di saat itulah aku menyaksikan Leon, membelit Genah dengan sihir merahnya dan menusuk jantungnya langsung. Menewaskannya seketika. Meski hanya sepintas, momen itu tercetak jelas di ingatanku sejelas petir di kejauhan.

Benar. Kejadian itu memantik kepanikanku, membuat jantungku seolah terbanting jatuh ke dasar jurang. Kematian Genah adalah mimpi burukku yang paling parah, dan aku masih tidak siap menghadapinya sesegera ini. Terang saja, itu menjadikan kewarasanku terkuras habis-habisan sampai sihir hitamku mengambil alih. Apalagi, mengingat bahwa yang melakukannya adalah satu-satunya orang yang kupercayai ...

Tapi, mungkinkah Leon punya alasan penting melakukan itu?

Aku menggeleng pelan, mana mungkin. Genah baru saja menyatakan keberpihakannya pada kami, mustahil dia berkhianat dan menikam kami dari belakang. Lima belas tahun aku hidup di bawah asuhannya, aku tahu dia bukan tipe seorang yang licik dan dapat berkhianat kapan saja.

Tapi, Leon ... mungkinkah dia berbuat setega itu?

Aku mendengus. Apa-apaan pertanyaan itu? Aku jelas melihatnya sendiri bagaimana dia membunuh Genah, detik-detik sihir sialannya menembus dada Genah hingga pekat oleh darah di hadapan mataku. Jelas-jelas dia bersalah, siapa manusia yang tega menghabisi nyawa seorang Genah?

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang