29. Reuni dengan Dewa dalam Batu

112 10 1
                                    

Meski wujud Nergal yang berkedip-kedip membuatku khawatir sosoknya akan segera hilang, rengekan Marvel yang memaksa dijelaskan semuanya adalah hal paling utama untuk kami prioritaskan. Maka, karena Nergal meyakinkan kalau kita butuh banyak waktu untuk menceritakan keseluruhan kisahnya, jadilah kami berpindah tempat menuju ruang rapat sementara seluruh sisa pertarungan dibereskan para bawahan Ayon dan kami menyembuhkan diri sambil aku, Ayon, dan Michan bergantian menceritakan legenda 7 Dewa Babilonia dan The Reborn.

“Dulu sekali, ratusan abad lalu, terdapat sebuah peradaban pertama di dunia bernama Babilonia,” Ayon memulai kisahnya sementara para perawat bermain-main dengan gulungan perban dan botol-botol ramuan. “Mereka dipimpin oleh seorang raja bernama Annum, dewa langit, bapak dari para dewa.” Aku menoleh sekilas dan mendapati Nergal mendengus pelan mendengar nama Annum disebut.

“Kerajaan yang dipimpinnya memang menjadi negeri yang makmur,” lanjut Ayon, “tapi di balik itu, banyak anak dan rakyat kecil yang terlantar dan dikorbankan. Diperbudak demi kejayaan. Kekejamannya itulah yang membuatnya dibenci oleh masyarakat Babilonia.”

“Hingga kemudian, seorang dewa berdiri berani menentang kekejaman Annum,” aku melanjutkan, “namanya Enki, dan ia berhasil mengumpulkan enam dewa lain untuk berada di sisinya dalam perang melawan Annum.” Aku menatap Nergal, “Annum berhasil dijatuhkan, tapi keenam dewa, Asshur, Shamash, Enlil, Nergal—alias kau, Dam-gal-num, dan Marduk, mereka tidak sanggup bertahan lebih lama sehingga mereka menyimpankan kekuatan terakhir mereka dalam enam batu quartz berbeda. Menjadikannya batu yang sekarang kita sebut batu legendaris.”

Marvel menatap emeraldnya yang kini berwarna kelabu pucat seolah seluruh sari hijaunya dikerahkan untuk membentuk wujud Nergal, kemudian mendongak. “Jadi batu legendaris itu—batu yang didalamnya diisi sihir dewa? Batu apa yang bisa sekuat itu?”

“Batu quartz,” Michan angkat bicara, dan untuk sesaat aku hampir lupa kalau dia itu arkeolog. “Batu khusus yang berfungsi sebagai katalis sihir. Kalian bisa menyalurkan dan menyimpan sebagian sihir kalian di dalamnya, atau yang paling parah, kalian bisa memasukkan paksa sihir orang lain ke dalamnya. Dan untuk kasus ini, para dewa yang sekarat memasukkan kekuatan mereka ke dalam batu quartz. Memastikan inti kehidupan mereka tidak lenyap sehingga saat kekuatan mereka kembali mencukupi setelah beberapa abad, mereka bisa mewujud kembali.” Ia menatap Nergal seolah mencari pembenaran.

Nergal mengangguk, “Itulah yang persis terjadi padaku dan saudara-saudariku. Dewa tidak bisa dibunuh secara permanen, namun beberapa teknik berkekuatan besar dapat meleburkan inti kehidupan kami dan akan butuh waktu yang cukup lama bagi kami untuk bisa mewujud kembali. Dengan menyimpan sihir inti kehidupan kami dalam quartz, mewujud kembali bisa dilakukan lebih cepat dan mudah ketimbang terombang-ambing selama beberapa abad. Jauh lebih baik tersimpan di dalam batu daripada dihantui kemungkinan disalahgunakan antek-antek Annum.”

“Tapi bukan hanya itu fungsi kalian di dalam batu,” paparku, “Enki menggunakan kalian untuk menyegel Babilonia di dalam Void, memastikan Annum dan Babilonia tetap terkunci selama-lamanya sehingga dominasinya tidak menyebar.”

Nergal mengangguk samar. “Seharusnya semua aman, sampai 15 abad lalu sekelompok penjelajah manusia menemukan portal Void dan menyatukan empat dari kami, membuat satu lapisan segel itu hancur sehingga sihir di dalamnya bisa keluar. Membuat kalian sekarang bisa memiliki sihir, meski ketika hempasan sihir itu terjadi sebagian besar populasi manusia musnah akibat tidak kuasa menanggung kekuatan besar yang mereka terima. Menyisakan beberapa manusia yang benar-benar layak dan kuat untuk menggunakan sihir, para leluhur kalian.”

“Dan kejadian itu,” ujar Ayon, “yang selama ini kita sebut sebagai The Reborn. Awalnya kami mengira tujuan Herobrine adalah untuk menyatukan kembali keempat batu sehingga seisi dunia kembali musnah, tapi—”

“Itu tidak mungkin terjadi,” lanjut Nergal mengangguk kecil. “Seperti gembok yang kuncinya sudah dimasukkan sehingga gemboknya terbuka, gembok itu tidak akan berubah dengan kunci yang digunakan dengan cara yang sama. Tapi, masih ada gembok kedua, lapisan yang disegel menggunakan dua batu lainnya, Jade dan Ametis. Mudah diperkirakan kalau mereka ingin menggunakan kedua batu itu dan membuka portal Void sepenuhnya, mengeluarkan Babilonia seutuhnya.”

“Eh? Terus,” Samsul menyeruak, “kenapa mereka masih mencari empat batu?”

“Dan,” sambung Alvin dengan nada jengah, “apa hubungan ini semua dengan Makhluk Kekacauan dari Pantheon sebelah?”

Teringat sesuatu, aku mengangguk sekilas. “Benar. Juga, Ren sempat mengatakan mengenai kedua raja kami yang menjadi mainan para dewa. Lalu Enki yang dipaksa keadaan untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Sebenarnya apa yang terjadi dengan semua ini?”

Nergal terdiam beberapa saat, membuatku berpikir aku sudah terlalu menekannya. “Aku tidak berani mengira-ngira, ada banyak kemungkinan buruk yang mungkin mereka rencanakan. Tapi kurasa, kalian harus mendengarkan peringatan seseorang terlebih dulu.”

Nergal menunjuk ke pintu ruang rapat, yang sejurus kemudian didobrak masuk oleh dua orang yang saking buru-burunya tidak mengindahkan kaidah bertamu di kerajaan orang lain. Seorang pria dengan rambut biru cyan berkulit biru gelap dan pakaian yang berkultur mirip dengan pakaian Nergal. Ia membopong—setengah menyeret—seorang pemuda berpakaian seragam panglima berambut oren yang rautnya setengah syok. Aku kemudian menyadari kalau itu adalah Rafel yang rautnya begitu pucat entah karena apa.

Sebelum kami sempat bereaksi, pria berambut biru itu angkat bicara. “Nergal!”

Nergal pun tanggap mendengar namanya. “Enki, apa yang terjadi dengan kalian?”

Pria biru itu, Enki, menggeleng frustasi, seolah ia baru saja melewati badai kestresan demi mencapai tempat ini. “Banyak hal buruk yang terjadi. Aku tidak boleh berada di sini terlalu lama. Tapi, kalian harus mendengarkanku.”

“Eh, tunggu sebentar,” Genah melangkah mendekat, mengamati wujud dewa di hadapannya. “Suara dan gesturmu nampak tidak asing, apa aku pernah bertemu denganmu?”

Enki tampak ragu hendak menyampaikan jawabannya atau tidak, tapi ia menatap Nergal yang mengangguk yakin, “Katakan saja, Enki. Keluargamu berhak tahu.”

Keluarga?

Sebelum ada yang melontarkan pertanyaan itu, Enki mendesah perlahan dan wujud dewanya meluruh menjadi manusia yang sangat kami kenali. Rambut dan iris biru cyannya. Jubah merahnya yang biasa. Celana pendek khas nelayannya. Topi tingginya yang mirip pesulap.

“Kau benar. Maafkan aku, Genah,” ujarnya, dan suara itu benar-benar menjadi tidak asing lagi. “Ini aku, Azrealon. Maaf aku tidak pernah memberi tahumu, tapi aku sebenarnya adalah salah satu dari dewa Babilonia.”

“Dan bukan yang biasa,” lanjut Nergal, “Dewa langit timur. Personifikasi waktu dan takdir. Raja dari pengetahuan dan penciptaan. Seorang Annunnaki. Ea, atau yang lebih dikenal dengan nama Enki. Yang menyegel Babilonia menggunakan enam batu legendaris,” jelasnya lengkap.

Dan semua orang di ruangan itu tercengang habis-habisan. Kecuali aku dan Alvin, mungkin.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang