13. Petunjuk Arah

129 11 5
                                    

Jadi, kami bertemu oleh Gizan dan Daazan tempo hari. Apa lagi?

Intinya, setelah sedikit perkenalan yang canggung dengan kedua penyelamat kami, mereka menawarkan bantuan. Mereka akan membantu kami untuk menemukan jalan pulang, dan malam ini kami berteduh bersama di sebuah gua tak jauh dari sini karena hujan mendadak menerpa.

Kami menyalakan api unggun, mengusir hawa dingin yang menyelimuti. Daazan membantuku mengobati luka di lengan akibat enderman barusan, sisanya ia tetap diam. Samsul di sampingku ikut duduk melingkari api unggun, sama membisunya. Di belakang sana Peppey tengah berbincang dengan Ren meskipun tampaknya Ren tidak terlalu menanggapi. Gizan berdiri di mulut gua entah apa maksudnya, meratapi hujan yang semakin deras.

Marvel beranjak mendekatinya beberapa saat lalu, dan kini mereka tengah berbincang mengenai masa lalu Gizan. Kehidupan awalnya sebagai pangeran tunggal Zerberus yang dibebani tugas kerajaan semenjak belia sehingga ia mendamba kebebasan, kemunculan Herobrine yang memintanya menjadi bawahan dengan ancaman akan menghancurkan Zerberus, kejadian penyegelan 15 tahun lalu yang membuatnya bebas namun tersesat, juga pertemuannya dengan Daazan yang kemudian melatihnya sampai saat ini dan sekarang menemaninya berkelana bersama mencari Zerberus. Aku sudah hapal, terima kasih.

Aku sendiri lebih banyak berpikir—atau mungkin overthinking—soal kejadian kemarin. Aku masih penasaran kenapa aku tidak bisa mengingat kejadian itu sama sekali, dan kenapa aku merasa seperti melewatkan sesuatu yang penting?

Aku mengusap dahi tanpa kentara. Kepalaku memang agak sakit ketika bangun, tapi aku yakin aku tidak amnesia. Ingatanku memang buruk terutama dalam pelajaran, tapi aku tidak punya masalah ingatan jangka pendek serius yang membuatku lupa begitu saja kejadian yang baru terjadi. Buktinya aku masih bisa ingat kejadian bertahun-tahun lalu meski pelajaran minggu kemarin sudah kulupakan.

Lagi-lagi, semua hasil overthinking ini berujung dengan kecurigaan pada Ren. Gadis itu adalah kuncinya, aku tahu. Tapi masalahnya, aku sendiri tidak tahu apa yang dia sembunyikan atau ambil dariku. Tepatnya, jika dia yang menghapus ingatanku, itu berarti aku jadi tidak tau apa-apa sehingga aku tidak punya trigger yang cukup untuk melakukan konfrontasi langsung padanya. Harus ada setidaknya sepantik ingatan yang kembali untuk menjadi alasanku menyudutkan Ren, dan sayangnya aku tidak punya.

-

Melewati malam dengan aman dan mendapat pelajaran gratis soal geografi pulau dari guru tidak sabaran yang sok pemarah, kami berhasil pulang dengan selamat diantar kedua penyelamat kita. Kembali ke Spadia setelah entah berapa hari tersesat jauh, mendadak aku merasakan perasaan nostalgia yang membuncah di hatiku. Seolah aku baru merantau jauh dan akhirnya bisa pulang, meski kenyataannya kalau dihitung-hitung kami hanya pergi paling lama sekitar satu minggu.

Marvel langsung berlari memanggil-manggil ayahnya, sementara Azre yang tengah mendalami ritual memancingnya segera bangkit begitu melihat siapa yang muncul.

“Astaga, Marvel! Kamu kemana aja? Ayah kamu nyariin loh dari kemarin.” Sambutnya dengan gagang pancing masih tergenggam di tangan. Marvel segera mendekat, “Eh, maksudnya?”

“Ya, kan kemarin kalian minta ijin buat pergi ke Vermillion,” jelas Azre perlahan, “Terus ngilang gitu aja seharian,” lanjutnya dengan nada dongkol. “Ya sudah jelaslah kalian pergi ke Vermillion!” pungkasnya kesal.

“Woi, Azre!” seseorang muncul dari arah belakang begitu merasa dirinya diseret ke percakapan. Melihat siapa yang datang, Marvel segera berlarian mendekatinya. “Papaa! A, aku minta maaf. Aku … pergi ke Vermillion kemarin.” Sesalnya. Untunglah di timeline ini dia masih belum durhaka.

Aku hanya memerhatikan adegan yang terjadi di hadapanku, pikiranku masih belum berpijak utuh pada kenyataan. Aku membiarkan semuanya terjadi begitu saja sampai ke adegan dimana Genah memberitahu lokasi Zerberus yang membuat Gizan dan Daazan bergegas, lalu Marvel yang memaksa ikut dan membuat saudara-saudaranya juga ikut serta sehingga mau tidak mau Genah harus mendampingi mereka.

Aku baru memikirkan apa sebaiknya aku juga ikut mereka ketika rasa sakit di kedua lukaku kembali kambuh, menahan pergerakanku sementara aku meringis menahan sakit. Dasar luka sialan, kenapa di dunia lain pun aku masih saja beban?

“Kau terluka?”

Aku berbalik demi mendengarnya. Azre sudah berdiri di belakangku dengan tatapan serius, membuatku meremang. Tanpa menunggu jawabanku, ia sudah menarik lenganku, memeriksa jalinan perban yang melilitnya, untuk kemudian terbelalak seolah ada bom hidrogen yang tersembunyi di baliknya.

“Umm … ada apa?” aku memutuskan angkat bicara melihat ekspreksi anehnya. Azre tidak menjawab, justru menatapku intens. “Dimana kamu mendapatkan luka ini?”

Aku tidak siap menghadapi perubahan sikapnya yang tiba-tiba, namun aku harus menjawabnya. “Yang ini? Ini kemarin ketika kita diserang enderman waktu tersesat di jalan pulang. Kalau yang ini—” aku menarik sedikit ujung celanaku, memperlihatkan balutan perban yang juga membelitnya. “—aku digigit ular di dekat gua penyegelan Herobrine.” Jelasku pelan.

Azre kini lebih tertarik dengan luka di kakiku, menatapnya seolah yang melilit kakiku adalah bom nuklir. Sebelum aku sempat bertanya, ia sudah menarik pundakku, menyeretku masuk ke rumah dan dengan bergegas mendudukkanku di sembarang kursi.

Dengan gerakan yang cepat dan tangkas ia menggulung bagian bawah celanaku, lantas membongkar perban yang sudah terlilit disana selama sekitar tiga hari. Kini, aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi pada kakiku sendiri.

Itu jelas-jelas bukan bekas luka akibat gigitan ular berbisa. Atau tepatnya, bukan ular berbisa biasa. Itu bekas taring yang jauh lebih besar dan menusuk lebih dalam sehingga meneteskan darah dan lebih cocok disamakan dengan gigitan harimau ketimbang ular. Namun, aku bisa melihat tetesan lain bernuansa keunguan yang jelas bukan darah ikut tercampur disana. Pasti itu bisa si ular jadi-jadian.

Begitupun dengan lenganku. Luka yang awalnya hanya goresan panjang biasa kini memancarkan aura keunguan yang kini bisa kulihat jelas. Ada racun yang tercampur di pembuluh darahku. Awalnya kukira warna keunguan itu hanyalah efek samping dari enderman, namun Azre bersikeras kalau itu adalah luka sihir yang sengaja ditanamkan seseorang. Membuatku mendongak menatapnya.

“Seseorang? Siapa?” tanyaku tak kuasa menahan rasa penasaran. Azre bergeming tak menjawab, hanya menyuruhku beristirahat sementara sihir penyembuhannya akan menetralisir efek racun itu untuk sementara waktu. Saat kutanya, dia bilang sihirnya saja tidak akan cukup untuk menyembuhkanku total, ia akan membutuhkan bahan lain yang sayangnya tidak bisa ditemukan disini. Tidak di pulau kecil seperti Spadia ini.

-

Pagi telah menyinari seisi pulau ketika Marvel dan yang lainnya masih belum pulang juga. Azre menemuiku dan mengatakan kalau ia membutuhkan sampel racun yang menyerangku agar ia bisa setidaknya mengenali gejalanya dengan lebih baik, setidaknya lebih baik daripada tidak tahu sama sekali.

“Ini … benar-benar buruk,” gumamnya dengan nada putus asa setelah selesai memeriksa. Ia mengangkat kepalanya, menatapku lurus. “Leon, tolong jujur padaku. Apa sebenarnya yang menyerangmu saat itu?”

Aku tidak tahu kenapa Azre bersikap begitu skeptis dan curiga seolah aku menyembunyikan sesuatu, jadi aku juga bersikukuh dengan apa yang kukatakan. “Kan sudah kubilang, ingatanku dihapus persis setelah kejadian itu. Aku terbangun dan mendapat informasi kalau seekor ular yang telah menyerangku. Sebenarnya kenapa?”

Azre menggeleng cemas, “Tidak, ini tidak mungkin. Aura Kekacauan ini—”

Sebelum Azre menyelesaikan kalimatnya, sebuah dentuman besar mengguncangkan pulau ini. Mengikuti insting, kami bergegas memeriksa keluar dan aku mendapati satu lagi kesialan tokoh utama yang membuatku ingin menyesal berada di tim Marvel.

Herobrine. Dia ada disini.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang