8. Reina

166 23 15
                                    

Sekolah, 2 hari setelah Leon menghilang…

“Ayolah! Apa maksudnya kalian tidak bisa mencari Leon?”

Sudah kesekian kali aku meneriakkan kalimat itu, namun jawabannya tetap sama. Para polisi tidak berguna ini hanya mengatakan bahwa mereka kekurangan personil, dan pencarian tidak bisa dilanjutkan karena kekurangan petunjuk.

“Maaf, nona. Tapi seperti yang kami katakan, tidak ada petunjuk yang cukup untuk melanjutkan penyelidikan.” Polisi itu mengulangi kalimatnya seperti kaset rusak.

Aku menolak peduli, justru lanjut menyudutkannya. “Kalau begitu buat sendiri petunjuknya! Kalian sebagai polisi sudah biasa merekayasa kasus dan TKP, kan? Apa gunanya kalian sekolah kepolisian tinggi-tinggi kalau mencari orang hilang saja menyerah? Kurang amplop, kah? Tch, ketahuan sekali kalian oknum polisi korup.”

Alvin di belakangku menepuk pundakku dengan maksud menenangkan. “Sudahlah, Reina. Kenapa kau mendadak keras kepala sekali? Biarkan saja bocah beban itu, palingan dia hanya kabur.”

Ucapan bernada tidak peduli itu membuatku kembali naik pitam. Maka aku berbalik, menatapnya tajam dan membalas dengan nada tidak terima. “Kau bisa katakan itu karena kalian adalah lawan! Aku tau kau mungkin tidak peduli dia hilang atau mati, tapi aku peduli! Gamau tau, ia harus ditemukan. Baik hidup maupun mati. Minimal kalau dia mati, harus ada pemakaman yang pantas.”

Aku kembali berbalik saat mengucapkan kalimat terakhir, kembali menatap petugas polisi yang sudah mulai berkeringat dingin. Aku melangkah melewatinya begitu saja, menghampiri TKP tempat Leon terlihat terakhir kali sebelum menghilang.

Itu adalah lorong belakang sekolah yang sudah sangat jarang dilewati, sehingga tidak ada CCTV yang menyorot area ini. CCTV terdekat memang menunjukkan kalau Leon melewati tempat ini di jam pulang seperti biasanya, namun CCTV lain di ujung lorong tidak menangkap adanya Leon sedikitpun hingga saat ini.

Itu berarti, Leon terakhir kali diketahui berada di lorong ini, untuk kemudian tidak terkonfirmasi lagi keberadaannya. Kalau dia sudah pulang atau meninggalkan lorong ini, keberadaannya pasti tertangkap kamera karena dia bukan hantu, hanya hawa keberadaannya yang tipis.

Sehingga disitulah masalahnya, tidak ada bukti yang menunjukkan kemana Leon pergi setelahnya. Tidak ada jalan lain di lorong ini, ini jalur lurus satu arah. Tidak ada tembok yang menyimpan pintu rahasia, tidak ada pintu jebakan di lantai, tidak ada lubang di langit-langit, tidak ada sedikitpun cara untuk pergi lewat jalur lain.

Aku kembali menelusuri lorong yang sudah bolak-balik kuperiksa berkali-kali hari ini, tidak ada yang berbeda sedikitpun. Tas sekolah Leon memang ditemukan tergeletak di lorong ini, namun pemiliknya tidak. Polisi sudah mengamankan—atau mungkin sebenarnya menyita dengan alasan barang bukti—barang-barang yang bisa ditemukan, namun tidak ada apa-apa lagi.

Langkahku kembali mendekati tumpukan peralatan polisi yang di sampingnya diletakkan tas Leon, juga ponselnya. Aku tau itu miliknya karena dia sering terlihat menggunakan yang satu ini, lagipula hanya dia yang menggunakan chasing berukiran tanggal lahirnya, 0721. Alias 21 Juli, sayang sekali tidak ada yang berminat mengingatnya.

Aku memungut benda itu dan hampir dicegah oleh salah satu petugas, namun aku sudah membungkamnya terlebih dahulu.

“Apa kalian sudah mencoba memeriksa isinya?” tanyaku sambil mengacungkan ponsel di genggamanku ini. Polisi itu terdiam sebentar sebelum menjawab pelan.

“Kami sudah mencoba memeriksanya, namun ponsel itu dilindungi kata sandi. Kami masih berusaha membukanya.” Jelas polisi itu, membuatku gemas dan hampir meretakkan barang penting di genggamanku.

Demi memeriksa kebenarannya, aku menyalakan ponsel itu. Tampilan lock screen anime segera menyambutku, menampilkan wakru dan tanggal. Aku menggeser layar dan—kejutan, tidak ada permintaan password seperti yang dialaskan petugas tadi. Dasar, bilang saja mereka belum mengeceknya.

Untuk jaga-jaga, aku memasuki lorong keramat itu dan duduk disana, di posisi tempat tas Leon ditemukan tergeletak. Aku memeriksa isi ponselnya secara keseluruhan, baik itu notifikasi, riwayat chat, juga aplikasi terakhir yang ia gunakan.

Aku menyorongkan tubuhku, tertarik melihat aplikasi terakhir yang Leon buka sebelum menghilang. Sebuah game yang cukup familiar untuk Leon, namun tidak kudalami dengan seksama. Mungkin itulah kesalahan dalam usahaku mendekati Leon.

Itu adalah sebuah game berbasis survival open world dengan model kubus. Leon sering memainkan game ini dimanapun ia berada. Jadi seharusnya memang tak aneh jika kondisi terakhirnya adalah memainkan game ini.

Aku membuka file terakhir Leon dalam game, membawaku ke hadapan sebuah portal ungu yang aneh. Segan bercampur penasaran mengenai game ini, aku memasukinya. Aura ungu yang ganjil beterbangan menghalangi layar.

Sekonyong-konyong, sesuatu yang aneh terjadi.

Asap ungu itu keluar dari layar, menyergap pandanganku. Pertama dia membuatku buta di antara warna ungu pekat di udara, kemudia seluruh tubuhku terasa kebas dan mati rasa. Aku mengambang dalam ketidakpastian entah dimana.

Sesuatu terasa menyergap kepalaku. Aku mengerang tertahan, namun rasa pening itu tidak bertahan lama. Tergantikan hal-hal aneh yang merasuk otakku begitu saja.

Mendadak, aku merasa seolah baru saja memasuki tubuh lain, tubuh asli yang bukan tubuhku sebelumnya. Aku merasakan memori-memori, emosi, dan apa saja yang telah terjadi pada tubuh baruku ini. Membuatku memahami peranku sebagai jiwa baru dengan cepat.

Sesuatu tumbuh dalam kepalaku. Aku tau harus kuapakan tubuh ini. Apa tujuan aslinya, dan apa yang harus kulakukan sebagai penempat barunya. Aku siap berganti identitas sekaligus berganti masa depan. Menjalankan masa depan yang seharusnya didapatkan tubuh ini.

Indra tubuhku kembali bekerja. Aku merasakan diriku terduduk di rerumputan, bersandar pada batang pohon. Aku tau kenapa ini terjadi. Kalau ini sesuai skenario, maka …

Aku membuka mataku yang sebelumnya tertutup, lalu menengadah. Empat orang anak laki-laki sepantaranku tertangkap pandangan. Mereka semua terlihat cukup asing bagi diriku yang sebelumnya meskipun tubuh baruku sedikit mengenali mereka.

Ada seorang anak berambut ungu dan mata hijau. Satu anak berambut cokelat tanah dan mengenakan kacamata hitam. Lalu satu lagi berambut cokelat muda dan mata hijau pucat. Sejauh ini semuanya sesuai dengan apa yang diberitahukan oleh ingatan baruku.

Namun, ada satu hal di luar skenario yang muncul.

Satu lagi anak laki-laki di antara mereka. Rambutnya oren, matanya lazuardi. Ia menatapku dengan ekspresi tercengang, sementara aku sekuat tenaga menahan diri untuk tidak ikut tercengang.

Karena, seberbeda apapun fisiknya disini, aku yang lama masih bisa mengenali gesture wajahnya sebagai wajah paling dijauhi di sekolah.

Leon Zaferino, bagaimana bisa kau ada disini juga?

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang