39. Percaya atau Kecewa

73 9 5
                                    

Bahuku melemas. Sulur-sulur sihirku luruh, menurunkan jasad Genah di antara genangan darah. Marvel mendekat, langkah linglungnya selaras dengan ekspresinya yang sarat akan kekecewaan. Gemerlap pada tatapannya lenyap, berganti kehampaan tak bertepi. Alisnya bertaut, air yang melapisi bola matanya membuat sorot matanya tak ubah kaca yang retak.

"Leon ... kau ... membunuh ... Genah ... kenapa?" bibirnya bergetar di setiap ucapan, tatapannya yang terpancang semakin menumpuk tinggi rasa bersalahku. Aku mencoba menyusun penjelasan, namun lidahku sekaku timah.

"Marvel—" aku berusaha bicara, namun suaraku begitu sulit dipaksa keluar. "D—dengarkan aku dulu, ini tidak seperti yang kau lihat-"

"Apa-apaan kau, PENGKHIANAT! Kau sadar apa yang sudah kau lakukan?! KAU MEMBUNUH GENAH!" Serunya tanpa dinyana. Rautnya berubah garang, membuatku tersentak atas perubahan emosinya.

Marvel melanjutkan, "Kau tau seberapa berartinya Genah? Benar dia bukan ayah kandungku, benar dia sudah membohongiku selama lima belas tahun, tapi apa? Bukan berarti kau pantas membunuhnya!" tatapan Marvel berkilat-kilat, amarah tampak jelas di permukaannya.

Teriakannya saja sudah cukup mengembalikan traumaku, meluruhkan seluruh sisa nyaliku layaknya mentega leleh. Hanya karena setitik ketegaran di dadaku aku memberanikan diri mendongak, tetap menjaga kontak mata dan mencoba bicara.

"Marvel, tenang dulu! Aku paham perasaanmu, tapi bukan itu kejadian aslinya! Biar aku jelaska—"

"DIAM KAU, PENIPU!" Marvel mengibaskan tangannya, bahkan ia tidak perlu repot-repot menyembunyikan emosinya. Bisa kulihat berbagai kecamuk terpantul di bola matanya bagaikan kristal peramal. Tertera jelas sejelas tangannya yang mengepal ataupun air yang menetes di sudut matanya bersama tetesan hujan yang membasahi wajahnya.

Amarah. Kekecewaan. Ketidakpercayaan. Terkhianati.

Marvel menarik napas, terengah seirama gelegar petir yang masih mengitari. Ia mendongak, tatapannya hampa sementara seulas seringai gila terbentuk di sudut bibirnya.

"Kau tahu, Leon? Aku sudah merelakan segalanya demi kau. Saat kau disandera Ren di Olvia, membuatku berakhir kehilangan Peppey, aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Pun saat kau membeberkan rencana musuh dengan begitu mendadak, membuat semua orang bertanya-tanya, aku sama sekali tidak meragukanmu. Saat kau membawaku kabur di malam itu, membuatku ikut dicap buronan, kehilangan kepercayaan dari seluruh keluargaku yang tersisa, aku tidak pernah mempertanyakanmu. Bisa saja aku mengikuti Alvin, percaya kau adalah pengkhianat dan membunuhmu, tapi aku tidak melakukan itu. Aku mempercayaimu bahkan saat kau bilang kau dari dunia lain. Setelah semua yang terjadi, aku tetap memercayaimu."

Ia meremas dadanya, menariknya begitu kuat seolah hendak menarik jantungnya hingga terburai. Matanya berkilat, dan sadarlah aku kalau sebentar lagi ledakan emosi yang sesungguhnya baru dimulai.

"Lalu, apa yang kau lakukan?! Merenggut apa yang tersisa bagiku setelah jatuh bangun aku percaya padamu?! Setelah aku kehilangan kampung halaman, rumah, saudara, bahkan kepercayaan semua orang, kau masih tega mengambil yang tersisa?! Begitu cara mainmu, hah? Merebut kepercayaanku padamu yang susah payah kubangun bahkan diatas penderitaanku sendiri? SETEGA APA KAU, LEON?!"

Aku tersengal. Rasanya seluruh udara di paru-paruku telah ditarik keluar secara paksa, membuatku kesusahan mengais napas sementara dada dan kepalaku seolah dihantam berulang kali oleh kalimat-kalimat Marvel. Tidak sanggup lagi membela diri.

"Ah, iya." Marvel masih belum selesai, ia melanjutkan kalimatnya. Seringai mengerikan tercetak di wajahnya. "Benar. Seperti Alvin bilang, kau sudah dikuasai sihir lawan, kan? Ular Apophis itu, awalnya aku tidak percaya, tapi sepertinya ini adalah bukti nyatanya. Kau sudah menyatakan keberpihakanmu dengan musuh. Sedari awal, kau sama saja seperti Ren. Penyusup. Pengkhianat. Penipu. Bodohnya aku tetap percaya padamu."

Sihir hitam menyelimuti Marvel. Aku bisa melihatnya menyelubungi tangan, kaki, seluruh tubuh Marvel tanpa celah. Bola matanya menggelap, dipenuhi sihir hitam.

"Marvel!" aku menjerit, namun sihir hitam itu semakin pekat menguar di tubuh Marvel. Kalung emeraldnya berpendar terang, berusaha menekan pengaruh sihir hitam, bersinar begitu menyilaukan sampai-sampai aku hampir tidak bisa melihatnya.

Kemudian, emerald itu retak. Hancur berkeping seolah tak kuasa menahan kuasa sihir hitam. Warna hijaunya hilang, berganti disesapi sihir hitam. Bahkan Nergal, dewa pelindungnya, tidak sanggup melindungi Marvel dari dominasi sihir hitam.

Sihir hitam itu semakin mengganas, membayangi Marvel layaknya sesosok monster mengerikan. Dalam gerakan lambat, Marvel mengacungkan lengannya lurus ke arahku, dan aku terlambat menyadari gestur itu.

Tanah merekah di bawah kakiku. Bayangan sihir hitam menyeruak, menggenggam kedua tungkaiku. Aku nyaris kehilangan keseimbangan, refleksku menyiagakan kembali sihir merah di tanganku. Siap bertarung dengan Kekuatan Kekacauan.

Lalu, aku mendongak. Bersitatap dengan Marvel. Tatapannya kosong, namun aku melihat segalanya disana.

Marvel telah kehilangan segalanya. Sebelum ini dia hidup normal, sebahagia kebanyakan anak kecil di bawah naungan orang tuanya. Kemudian, aku hadir, dan segalanya berubah. Rumahnya selama lima belas tahun hancur, kampung halamannya telah ditiadakan. Lantas diberitahu bahwa keluarganya selama ini bukanlah keluarga aslinya. Kemudian menemukan kalau dirinya adalah keturunan Ksatria Legendaris, yang terbebani harapan tinggi orang-orang di sekitarnya. Bertambah pula beban tanggung jawabnya sebagai pemegang emerald, mengharuskannya menjaga satu-satunya kunci kemenangan yang menjadi incaran musuh.

Seolah itu belum cukup, saudaranya telah jatuh dalam kendali musuh, dirinya terfitnah, kehilangan kepercayaan semua orang, diburu disana-sini, karena ia memutuskan tetap percaya padaku, bocah lintas dunia yang berkali dituduh bagian dari musuh. Dan sekarang, aku sebagai satu-satunya harapan tersisa baginya, malah merenggut habis seluruh kepercayaan itu dengan membunuh keluarganya, yang dalam delapan belas jam terakhir baru saja menyatakan keberpihakannya pada Marvel. Memaksanya menyaksikanku membunuhnya di hadapan kedua matanya.

Aku goyah. Marvel sudah kehilangan cukup banyak, dan aku hanya memperburuk keadaan. Sudah cukup dunia menghunjamkan kekejamannya, dan aku malah membuatnya semakin terpuruk.

Aku mengecewakannya. Sangat kecewa.

Aku teringat apa yang Marvel katakan. Penyusup. Pengkhianat. Penipu. Itulah diriku di matanya, seonggok kekecewaan yang tidak pantas dibiarkan hidup.

Maka, atas kesadaran itu, aku memasrahkan diri. Kuhilangkan sihir di tanganku, terdiam pasrah sementara sihir hitam Marvel mengikatku semakin erat.

Di hadapanku, masih dalam dominasi sihir hitam, Marvel tengah merapal mantra yang entah darimana ia ketahui.

"Leon Zaferino. Yang Tak Termaafkan, Dia Yang Menghamba Pada Kekacauan."

Sihir hitamnya membelitku semakin kencang. Aku tak peduli, Marvel merasakan kepedihan yang lebih sakit dari ini.

"Tidak pantas berada di sisi Ma'at. Kukembalikan kau pada Samudera Kekacauan tempatmu berasal."

Aku sadar, Marvel hendak menyingkirkanku. Meneleportasiku secara paksa entah kemana ia inginkan. Yang jelas, aku percaya itu lebih buruk dari kematian instan.

"Menyingkirlah dari hadapanku, Musuh Ma'at."

Mantra itu selesai. Sihir hitam membelitku semakin erat, tanah berpusar di bawahku.

Sebelum benar-benar menghilang, kutatap Marvel untuk terakhir kalinya.

"Maafkan aku, Marvel. Kau tidak percaya aku, tapi tolong, jangan pernah usik Jade dari tempatnya jika kau ingin segel Void tetap tertutup."

Tepat setelah peringatan terakhirku, aku terjun dalam kegelapan hampa. Membawaku ke tempat yang seharusnya. Yang jelas, dimanapun itu selain di hadapan Marvel.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang