19. Letupan Pertama

121 9 0
                                    

Ini sudah genap seminggu sejak batas waktu latihan Marvel ditetapkan, dan pastinya kini ia sedang mempraktekkan hasil latihannya kepada Raja GM sementara aku sedang sibuk diladeni oleh sang penyembuh senior yang telah kutunggu kepulangannya dari seminggu lalu.

Saat pertama bertemu, aku langsung tau bahwa dia memang berbeda dari rekan-rekannya. Begitu melihatku, air mukanya langsung berubah panik dan ia harus bersusah-payah menahan lidahnya agar bisa berbicara dengan jelas. Rasa waswasku kembali, namun aku tidak bisa melakukan apapun.

Bahkan pria itu tidak perlu melakukan prosedur awal seperti yang dilakukan rekan-rekannya padaku. Begitu aku duduk, ia langsung mengeluarkan aura sihir kehijauan dari tangannya dan menyentuh lukaku yang entah sejak kapan menguarkan aura merah. Begitu kedua aura itu beradu, percikan rasa sakit luar biasa merambatiku seolah rasa sakit yang tertangguhkan seminggu ini akhirnya dilepaskan. Aku harus mengernyit dalam-dalam demi tidak berteriak.

Dan dia masih belum selesai. Luka di lenganku yang kini menguarkan aura ungu seolah berontak saat tangan sang penyembuh hendak menyentuhnya, aura ungu itu menggeliat menolak aura hijau untuk mendekat. Sihir, aku akhirnya paham perkataan orang-orang. Luka ini adalah luka sihir, dan sihir yang terkandung di dalamnya begitu kuat. Namun aku masih tidak mengerti siapa dan kenapa harus aku.

Beberapa proses penuh sihir yang menyakitkan dan tidak ingin aku ceritakan detailnya itu akhirnya selesai. Aku menunduk, melihat kedua aura itu sekarang benar-benar melemah sampai hampir tak terlihat, meski mereka masih ada di sana.

Kutatap si penyembuh yang napasnya masih memburu seolah ia baru saja terlibat pertarungan mematikan dengan si aura-aura ini, dan ia balas menatapku sebelum kemudian menarik napas, mencoba angkat bicara.

“Racun dari Kekacauan,” ujarnya, dan sepertinya itu terdengar begitu buruk meski aku tidak tau apa maksudnya. “Kedua luka itu disebabkan sihir yang berbeda, namun muaranya sama, inti Kekacauan. Dan seharusnya hanya Kekacauan itu sendiri yang bisa menyebabkannya. Bagaimana—”

“Oke, oke. Apa sebenarnya si kekacauan-kekacauan itu?” potongku, terlalu jengah dengan kata Kekacauan yang diulangi semua orang yang mengenali lukaku. Sejak kapan Kekacauan, Chaos, menjadi kata subjek?

Pria itu menggeleng kecil, tatapannya masih sama keras. “Tidak, tidak. Kau tidak mengerti. Ini Isfet, jelas-jelas—” ia menghentikan ocehannya, lantas menatapku lamat-lamat. “Siapa perantara—maksudku, yang melakukan ini padamu?” tanyanya seperti yang ditanyakan orang-orang, namun dengan penekanan yang berbeda.

“Aku tidak tau, Tuan. Seseorang menghapus ingatanku mengenai kejadian itu.” Jawabku pelan, lelah dikejar pertanyaan sama yang bahkan aku sendiri tidak tau jawabannya.

Pria itu menatapku sejenak, mendekatiku dan menyentuh dahiku dengan jari telunjuk dan tengahnya, lantas menggumamkan beberapa mantra samar. Sesuatu terasa mengalir melalui jari-jari itu.

Sayangnya, gelombang rasa sakit juga termasuk. Membuatku mengerang tertahan sementara hal-hal lain melewat masuk ke kepalaku begitu saja. Sampai akhirnya aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi dan ia melepaskan tangannya. Aku bisa melihat sepintas jejak asap samar.

Aku terengah, dahiku terasa panas. “Kukira kepalaku akan terbakar,” racauku. Namun pria penyembuh itu menatapku seolah itu serius. “Hampir,” ucapnya. “Seseorang itu menanamkan segel yang cukup kuat untuk mengunci ingatanmu. Namun, kurasa kau akan segera bisa menghancurkannya. Apa kau sudah mulai mengingat sesuatu?”

Aku meraba dahiku yang katanya tadi hampir terbakar, ingatan-ingatan samar mulai kembali. Aku mencoba berkonsentrasi penuh sebelum akhirnya menghela napas pasrah. “Sepertinya percuma, aku belum melihat sesuatu  penting yang—”

Sebuah ledakan besar menyentak seisi kastil, memotong ucapanku dengan letupannya yang membahana. Ketika sudah mendapatkan kembali keseimbanganku, aku mendongak dan mendapati suatu perasaan aneh seolah memaksaku untuk memeriksa ledakan barusan.

Orang-orang di dalam ini juga kelihatan sama panik, jadi mudah saja aku melesat keluar dan mencari asal ledakan tadi. Aku melihat asap membumbung, dan entah bagaimana aku seperti merasakan aura merah familiar yang ikut menguar dari sana. Aku mengejarnya dengan segera.

Berlari cukup jauh karena harus memutar, aku akhirnya berpapasan dengan si ubi ungu yang juga tampak hendak memeriksa ledakan. “Marvel!” panggilku, dan kemudian aku menyadari kehadiran Peppey dan Samsul di luar ruang makan. Bahkan Samsul masih menggenggam sekeping biskuit dari meja makan.

“Leon!” Marvel berbalik demi melihatku yang memanggil namanya barusan. Aku berhenti tepat di sisinya, terengah sekali sebelum kemudian menyambar. “Apa yang terjadi!?”

Marvel menunjuk sisi salah satu bangunan kastil yang kini meninggalkan ceruk besar dengan asap yang masih mengepul. Di bawahnya, kerumunan orang dari seluruh penjuru kastil mulai terlihat berkumpul. “Aku juga baru sampai, tapi keliatannya ada yang meledakkan ruang kamar Raja GM!” jelasnya.

Kamar Raja GM? Aku mendongak dan memastikan lebih seksama. Aku tidak pernah tahu letak ruangan ini sejak pertama kali datang, namun bekas ledakan itu memberikan lubang yang cukup bagiku untuk melihat ke dalam dan memastikan. Sepintas, masih ada beberapa berkas api sisa ledakan, namun para elementalis air memadamkannya dengan segera. Aku masih menunggu.

Raja GM meminta para panglimanya untuk tetap di bawah sini sementara ia akan memeriksa ke atas, dan ia pergi sebelum sempat dicegah. Marvel si tokoh utama sok ngide mengikutinya, tidak memedulikan cegatan Panglima Firman. Sebagai peneladan yang baik, aku pun mengikutinya.

Aku bisa mendengar sayup-sayup suara Marvel di atas sana. “Woi Orang Tua! Apa yang terjadi di atas sini?” sentaknya tanpa ragu.

“Hei, kamu ngapain ke atas sini!” GM menyentak balik. “Cepat kembali ke bawah!”

“Tidak!” tolak Marvel tegas. “Aku ingin bantu kalian untuk melihat apa yang telah terjadi!”

Wow, ‘membantu melihat’. Gumamku dalam hati saat mendengarnya. Betapa bergunanya.

Marvel sudah melihat-lihat seisi ruangan yang kini terbuka setengah itu ketika aku akhirnya sampai. “Siapa yang berani melakukan ini di tengah hari seperti ini?” gumamnya.

Kalau dia melakukan itu di malam hari, gumamku dalam hati, maka dia juga akan membunuh Raja GM. Itu terlalu kontroversial.

Ruangan itu benar-benar diledakkan dengan sepenuh hati. Dua tembok penuh yang menghadap arah luar meledak seutuhnya, begitu pula pijakan kami yang ujungnya retak sisa terbakar. Ajaibnya, beberapa lemari penuh buku yang menempel di satu sisi dinding yang utuh bergeming seolah tidak terjadi apa-apa yang mungkin mampu setidaknya membuat ia berguncang dan jatuh berantakan. Seolah-olah telah dimantrai sesuatu yang membuatnya tetap diam di tempat.

Raja GM baru saja memeriksa isi petinya yang utuh di bagian luarnya, dan raut wajahnya berubah hampa seolah sudah terlalu terguncang untuk merasa kaget lagi. Marvel yang menyadarinya berbalik dan bertanya. “Apa ada yang hilang?”

“Orbit Hystriaku …” ucap Raja GM perlahan. “Dan seluruh artefak sihir di peti ini … telah dicuri.”

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang