55. Ampunan Penyelamatan

83 11 13
                                    

Untungnya, aku masih sempat berkelit mundur dan mengulurkan sulur sihir merahku, menangkap sebagian dari rekan-rekanku dan menarik mereka keluar. Sisanya diselamatkan oleh Raja GM yang menggunakan sihir tanahnya. Kami selamat, tapi kini sebuah jurang lebar sepanjang dua puluh meter menganga memisahkan di tengah-tengah. Di sisiku ada Marvel, Samsul, dan Rafel sementara sisanya ada di seberang bersama Raja GM.

“Kita terpisah,” gumamku, berusaha tidak terdengar putus asa. “Sekarang bagaimana menurut kalian? Kita berpencar dan cari cara lain?” aku sedikit mengeraskan suara demi terdengar sampai ke seberang.

Sebelum salah satu di antara mereka menjawab, kekehan membahana terlebih dahulu menggema memenuhi langit-langit. Aku melihat sekeliling, namun tidak terlihat siapapun itu yang mungkin membahanakannya.

“Mencoba minta bantuan, Manusia-Manusia Kecil? Sayangnya, tidak ada yang sanggup menolong kalian di sini.”

Sontak, seolah diberi aba-aba, sulur-sulur hitam pekat melesat kilat dari rekahan lantai, hampir meraup kami seandainya refleks cepat Raja GM tidak terpicu. Beliau segera mengeluarkan sihir tanah, mendirikan tembok tanah di kedua sisi rekahan, menutupnya penuh sekaligus memisahkan kami seutuhnya.

“Mustahil,” aku mendengar suara Marvel masih diwarnai syok. “Itu tadi sihir Nergal. Dan dia barusan menyerang kita? Apa itu berarti—”

Suasana mencekam seketika menyelimuti udara. Dentuman konstan memenuhi sekitar, seolah ada yang memalu lorong ini dengan palu super. Suara-suara yang terdengar seperti arwah tersiksa melingkupi kami bagaikan topan. Sementara itu, berkedip-kedip di sekitar kami bagaikan layar rusak, sebuah ilusi membentuk satu citra yang tidak asing.

Enki. Wujud birunya yang lebih temaram dari langit malam itu mustahil salah dikenali, apalagi aku baru melihatnya terakhir kali paling lama sekitar kemarin. Namun, Enki yang ini tampak jauh lebih kepayahan. Kedua pergelangan tangannya dibelenggu rantai keemasan yang bersinar layaknya radioaktif, sementara rantai-rantai serupa mengurungnya dalam lingkaran sihir.

“Kak Azre!” Marvel memekik begitu nyaring, bahkan Samsul yang sedari tadi diam juga membuka mulutnya, ternganga sedikit. Tidak diragukan lagi bahwa Enki alias Azre adalah salah satu hal tersisa di dunia ini yang mampu membuat mereka cemas.

Seingatku, kalau ini masih seperti di Viva Fantasy yang asli, Enki seharusnya bisa melepaskan diri dari rantai itu sebagai dewa yang lebih kuat bahkan ketimbang saudara maupun ayahnya. Namun di sini, kondisi Enki tampak terus memburuk setiap waktu, seakan rantai-rantai itu menyerap energinya secara konstan.

“Rantai itu,” Rafel kelihatan tercengang seakan dia baru saja menyaksikan legenda hidup. “Mereka menggunakan rantai itu untuk menyedot kekuatannya. Menggunakan kekuatan Enki untuk menyetir dewa-dewa yang dulu bergabung dengan pemberontakan Enki agar sekarang sebaris dengan Annum.”

Marvel menoleh demikian cepat sampai aku khawatir sendi lehernya bakal patah. “Jadi maksudmu, Annum memanfaatkan Kak Azre untuk mengendalikan dewa-dewa lainnya? Itu kejam! Dia bisa mati!” kemudian Marvel mengerjap dan berbalik menatapku. “Eh, dewa seperti Kak Azre bisa mati juga tidak ya?”

“Bukan sekarang saatnya membahas kekejaman dewata,” Samsul yang sedari tadi mebisu akhirnya buka mulut, meski suaranya datar diganduli beban. “Kita harus menyelamatkan Kak Azre, bukan?”

Aku mengangguk, lantas mempertajam indra sihir. Kekacauan yang terjadi menyebabkanku sulit mendeteksi aura sihir yang tepat, tapi untungnya aku familiar dengan sihir Enki. Dengan segera, aku berhasil menangkap secercah aura sihir kebiruan. Lemah, tapi setidaknya aku menemukan posisinya. “Ketemu,” aku bergumam. “Arah jam dua, agak jauh. Tapi kita harus bisa mencapainya.”

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang