34. Aku Ditolak Untuk Keempat Kalinya

104 10 19
                                    

Normalnya, saat sudah mati, seluruh fungsi tubuh akan berhenti termasuk otak. Jadi, aku seharusnya tidak bisa bermimpi sesudah mati.

Tapi entah kenapa, momen sekaratku ini justru diisi dengungan beresonansi rendah dari kalimat terakhir Alvin. Meski hanya mendengarnya samar-samar, kalimat-kalimatnya terus diputarkan ulang di pendengaranku seolah siapapun itu yang bertanggung jawab mengurus kematianku tidak bisa memilih soundtrack pengiring kematian yang lebih bagus untuk kematian bodohku.

“Sayang sekali, Leon. Kau pikir kau tengah melawan Annum, padahal yang kau lakukan justru membantunya. Kau kira kau melindungi Marvel dan menghalangi Annum, padahal sebenarnya kau tengah menyerahkan Marvel sesuai kehendaknya. Kau pikir kau bebas dan menentukan langkahmu sendiri, kendati sebenarnya Apophis telah memperalatmu.”

Alvin sialan. Apa dia sengaja bermaksud memenuhi masa sekaratku dengan rasa rendah diri dan gumaman bersalah? Setega apa dia sampai repot-repot mengiringi kematianku dengan kalimat pengantar seperti itu? Tidakkah membiarkanku mati tersiksa oleh panahnya sendiri cukup untuknya menertawakanku sampai mati?

Oh, aku lupa. Alvin selalu menginginkan yang lebih dari cukup terutama untuk penderitaanku.

“Camkan ini, Leon. Tidak di dunia lalu, tidak di dunia ini. Bahkan setelah berpindah dunia pun, kau hanyalah seonggok beban. Yang tidak pernah berguna sedikitpun bahkan setelah kau menjadi mayat.”

Apa-apaan pula kalimat terakhirnya itu? Bernafsu sekali dia menggarisbawahi betapa aku tidak berguna, seolah aku butuh diingatkan saja. Aku tahu aku tidak berguna, tapi setidaknya jangan paksa aku untuk membawanya sampai setelah mati, dong.

Jadi, akhirnya aku gagal, ya.

Duh, diriku yang sangat optimis bahkan saat kesadarannya tengah terapung-apung entah di kabut primordial mana. Aku tahu aku mati dan aku gagal bertahan, jadi tidak usah menegaskannya, dong!

Oh, tunggu. Aku benar-benar mati?

Dasar Grim Reaper sialan. Sebelum ini aku sudah berusaha mendekatinya sebanyak tiga kali dan dia selalu menolaknya, kenapa sekarang ketika aku sudah tidak menginginkannya lagi dia justru mendatangiku? Makhluk macam apa dia yang seenaknya mempermainkan perasaan orang?

Apalagi, hei, aku sudah tidak ingin mati sekarang, tahu. Bisa tidak jangan permainkan harapanku dengan mengirimku ke Viva Universe  dan mengembalikan semangat hidupku hanya untuk merenggutnya lagi di tengah-tengah? Asal tau saja, meski tidak selalu membuahkan hasil terbaik, aku tipe orang yang komitmen menyelesaikan apa yang telah kumulai.

Kemudian, seolah menjawab pertanyaanku, udara memasuki hidungku.

Iya, aku kaget. Aku juga baru sadar kalau dari tadi aku tidak bernapas. Bagaimana napas itu kembali padaku, aku tidak tahu. Tapi setidaknya, orang mati semestinya tidak bernapas … kan?

Kemudian, seperti tirai tebal yang tersibak, hidungku mendapatkan kembali indra sensoriknya. Aku bisa mengendus bau rumput becek, bau pinus kering, udara hangat yang menerpa, juga bau daun mint yang terasa agak ganjil.

Kemudian, telingaku menyesuaikan diri. Aku mendengar suara gesekan daun, koak gagak samar, lalu suara gemericik aliran air.

Hmm, orang mati tidak mungkin bisa mendengar atau mencium bau, kan?

Kemudian, sebelum aku merangkai semua informasi yang kuterima menjadi satu kesimpulan,  seolah disiram seember air, seluruh indraku teraktifkan serentak. Pertama aku kembali merasakan kepalaku, seluruh pori-pori di wajahku kembali berdesir. Kemudian aku merasakan kehadiran leherku, pundakku, badanku—sampai akhirnya aku bisa merasakan tubuhku secara utuh. Aku bisa merasakan kalau aku tengah berbaring telentang di antara rerumputan sementara belakang kepalaku disangga sesuatu yang lembut.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang