47. Potret Lalu

68 11 8
                                    

Sudah berapa lama aku disini? Satu minggu? Dua bulan? Atau malah baru beberapa hari?

Sekarang hari apa? Apa musim liburan di dunia sana sudah dimulai? Atau justru masih terjebak di minggu-minggu ujian?

Siang atau malamkah ini? Bahkan, apa matahari masih utuh di luar sana? Belum ada ular raksasa yang menelannya, kan? Atau justru sudah?

Bagaimana keadaan Marvel dan yang lain? Apa mereka masih bertahan hidup, atau sudah kalah oleh musuh? Dan aku tidak sanggup melakukan apa-apa untuk mencegahnya?

Tidak. Mungkin malah mereka sudah melupakanku. Menghilangkan eksistensiku dari sejarah semudah menyingkirkan gigi yang patah. Atau malah, seringan mereka menyingkirkan debu di sepatu mereka? Bahkan apa aku seberguna itu untuk diingat?

Bahkan, apa jangan-jangan semua ini sebenarnya sudah tidak ada? Bisa jadi seisi semesta ini hanyalah ilusi, dan semesta yang asli sudah lama tiada? Berarti selama ini kita hanyalah isi dari kekosongan?

Aku bernapas. Apa napas ini palsu? Apa nyawa yang melekat padaku selama ini sejatinya palsu? Bisa saja aku sudah mati, dan hidup yang kurasakan ini adalah ilusi. Atau malah—

“Hidupmu hanyalah kepalsuan. Satu-satunya yang nyata hanyalah fakta bahwa kau tidak pernah berguna.”

Dasar ilusi tidak tahu diri yang muncul sesuka hati. Seenaknya saja mereka memotong sesi monolog-putus-asa-sebagai-pembuka kali ini! Ah sial, ini jadi tidak epik lagi, kan.

Tapi, ya sudah. Ilusi hari ini sudah menyerang, jadi ini waktunya bergelung-pasrah-dan-pundung seperti sebelumnya. Mendengarkan komentar pedas mereka yang terus diputar ulang seperti kaset rusak belakangan ini.

Lagipula, apa yang harus kulakukan? Melawan mereka? Itu tidak pernah diizinkan sejak di dunia lamaku. Aku ada untuk dicemooh, menjadi tempat pelampiasan semua orang. Bukan hakku untuk membela diri apalagi melawan. Itu hanya akan membuat mereka semakin murka dan menantang mereka untuk membungkamku dengan pukulan atau kalimat yang lebih menyakitkan. Sampai aku tidak sanggup lagi berucap di hadapan mereka. Untuk kembali mereka cemooh sepuasnya.

Tapi, di antara ilusi suara yang bahkan tak berwujud ini, kesabaran warasku tergerus lebih cepat. Seperti, tidakkah kau kesal juga lama-lama mendengarkan suara-suara yang bahkan pembicaranya saja tidak ada? Dan karena suara-suara ini mengelilingiku hampir 24 jam setiap waktu, jangan salahkan aku kalau akhirnya aku merobek batasan.

Bergelung entah berapa lama di bawah ocehan-ocehan itu, emosiku bangkit dan menumpuk. Dengan kepala yang semakin tidak waras, kucakar tanah kuat-kuat sebelum kemudian mendongak, menatap suara-suara yang tak berwujud seraya berteriak.

“YA, MEMANG BENAR! Aku hanya beban gak guna, yang cuma hidup buat jadi samsak! Aku memang lemah, gak bisa apa-apa, cuma bikin repot semua orang! Yang salah bahkan sebelum lahir! SEMUANYA SALAHKU! PUAS KALIAN?!

“Bahkan kenapa aku masih hidup? Harusnya aku mati aja dari dulu, kan?! Daripada bikin sesak bumi, mending aku disingkirin dari awal. KENAPA AKU BELUM MATI JUGA?! Apa aku semenyedihkan itu sampai kematian pun enggan melirikku?!”

Aku menarik napas dan terengah dengan mata yang tertutup. Seharusnya aku tidak menantang mereka seperti itu. Harusnya aku cukup diam dan mendengarkan sampai mereka puas. Harusnya aku tidak menyulut amarah mereka. Atau mereka akan membungkamku lebih kuat, dan mengingatkanku bahwa tujuanku hadir disini bukan untuk melayangkan protes. Cukup terima dan akui semua yang mereka katakan. Ambil semua kalimat itu sebagai jati diri. Walaupun tidak akan menyenangkan mereka juga, setidaknya tidak membuat mereka semakin geram. Pengalaman diinjak-injak berkali-kali semestinya cukup mengajarkan semua itu.

Namun aku justru melawan. Aku berteriak. Aku menjawab makian mereka. Padahal aku tau persis, bukan itu reaksi yang mereka inginkan. Mereka ingin aku terpuruk tak berdaya, agar mereka bisa terus menindasku. Itulah yang seharusnya kulakukan.

Dua menit menutup mata, aku tidak merasakan apapun. Semuanya hening seolah ada yang menekan tombol mute. Perlahan aku membuka mata, dan ilusi paling hebat dari yang telah kualami menampakkan diri.

Sejauh ini, sehebat apapun ilusi yang kuhadapi, setidaknya mereka masih ada di dalam hutan. Masih mengingatkanku bahwa aku terjebak di tengah hutan ilusi tanpa akhir. Namun kali ini, pemandangan hutan itu sama sekali lenyap, kecuali kalau definisi hutan adalah jembatan layang yang menjulang di atas jalanan raya.

Serius. Aku berdiri di sebuah jembatan layang, dengan rangkaian konstruksi berwarna merah cerah yang memantulkan cahaya matahari. Di bawahku, puluhan meter di sebalik tempat kakiku berpijak, terdapat dua ruas jalan raya. Lebar dan panjang layaknya jalan tol. Penuh dengan lalu lalang kendaraan berkecepatan tinggi. Sejalur dengan jalan itu, terdapat pula selintas jalur lain yang dijejeri rel kokoh. Pasti itu dirancang untuk menahan beban kereta berpotensi laju maksimal.

Di sisi jalanan agung itu, berdiam sebuah perairan dalam. Aku tidak tau apakah itu danau yang sangat luas atau malah laut asli. Apapun itu, warna gelapnya yang memantulkan sinar matahari cukup memberi peringatan bahwa tempat itu begitu dalam dan tidak diperuntukkan untuk dilintasi.

Tapi, bukan itu yang paling mengejutkan. Tidak begitu aku melihat sosok di hadapanku, terpisah lima meter dari posisiku.

Itu aku, yang sedang memangku lengan di sisi jembatan. Bukan bocah tersasar lintas dimensi, melainkan aku yang asli, Leon Zaferino yang asli. Bocah lima belas tahun yang tidak bisa apa-apa dan diharapkan untuk mati saja.

Ngomong-ngomong soal mati, sepertinya itulah yang akan segera kusaksikan. Di hadapan Leon, terdapat berbagai perkakas yang sangat mendukung beragam metode menyakiti diri.

Ingin mati jatuh dari ketinggian? Posisi menjulang jembatan ini telah menjamin hasil akhirnya. Ditabrak mobil atau kereta, atau bahkan tenggelam di perairan dalam? Cukup tentukan posisi paling nyaman untuk melompat dan praktis tidak akan ada yang mampu mencegah.

Atau lebih pilih mati tercekik? Seutas tali tambang yang satu ujungnya terikat di pembatas jembatan telah melingkari lehernya, hanya perlu memantapkan ikatannya dan meloncat maju untuk mendapatkan jaminan tercegatnya aliran udara di leher. Yang lebih berdarah-darah? Sebilah pisau dengan ketajaman yang tak diragukan bersemayam dalam genggamannya, siap merobek pembuluh nadi ataupun mengoyak organ dalam lebih dulu, sesuai selera penggunanya.

Atau mungkin, ingin mencoba kematian yang mengoyak dari dalam? Sebotol racun yang kuketahui mematikan berkilau manis di pagar pembatas di hadapannya, siap menawarkan isinya yang memiliki kenikmatan tiada tara untuk mengacak-acak seluruh jaringan di dalam tubuh hanya dalam waktu singkat.

Atau malah, ingin kematian yang membara? Segelas minyak dan pemantik api tergeletak dalam jangkauan tangannya, siap menghabisi seluruh raga sekalian hingga tak bersisa. Tinggal pilih metode kematian apa, dan silakan menikmatinya.

Aku mungkin memang melewatkan metode kematian lain seperti ledakan bom atau benturan benda tumpul atau pistol, tapi itu tidak praktis untuk bunuh diri. Seorang Leon bukan tipe yang ingin mati membawa satu gedung sampai berpikir menggunakan bom, pun siapa yang mau menggetok kepala sendiri dengan bata solid berkali-kali? Dan, apa kalian kira aku tinggal di Amerika sehingga bisa punya akses bebas terhadap senjata api? Jauh lebih mudah pakai benda tajam, sekali tusukan dan semua selesai. Setidaknya begitulah perkiraanku.

Dan sekarang, aku melihat diriku alias Leon. Dengan raut muram yang persis diriku dan kedua tangan yang menimang-nimang peralatan di hadapannya, seperti bimbang hendak menggunakan yang mana.

Ayolah, batinku tidak sabaran. Gunakan satu atau semuanya sekalian dan akhiri ini segera!

Leon mendongak, menatap cakrawala di bentangan langit biru. “Bunuh diri, ya,” gumamnya dengan nada menggantung. Aku menanti dengan tidak sabaran menunggunya—alias diriku sendiri segera mengambil keputusan. Apa aku sebodoh itu sampai mati saja tidak tau caranya?

Tanpa kuduga, Leon mengulas segaris senyum. Senyum tulus yang mustahil tergurat di wajah seorang yang hidupnya diisi derita.

“Sayangnya, aku belum mau mati.”

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang