54. Jalan Improvisasi

66 11 3
                                    

Aku menelaah raut wajah rekan-rekan di sekitarku, mengira-ngira reaksi mereka seusai mendengar pilihan yang diberikan Michan.

Raja GM tampak memikirkan setiap opsi dengan seksama, dahinya terlipat dalam. Raja Ayon lebih kelihatan panik dan terus-menerus melongok ke arah ketiga jalur seperti hendak menyebrang. Raja Malik masih kepayahan dalam papahan Rafel, dua-duanya lebih sibuk dengan rasa sakit dan luka syok dari efek pertarungan sebagai yang paling tidak mendalami sihir tapi mendadak harus melawan makhluk sihir tingkat tinggi.

Genah terlihat resah bahkan dalam wujud hantu. Ia berkali-kali menoleh ke belakang, mungkin memastikan Ishkur atau siapapun itu dari pihak musuh tidak datang menyusul. Peppey menampilkan gestur menimbang-nimbang, tapi pembawaannya masih santai seolah dia tidak sedang terancam mati—atau mungkin efek dipenjara berminggu-minggu telah membuatnya jadi nekat. Samsul meraba topeng rubah di wajahnya, masih belum buka suara sedikitpun sedari tadi. Marvel masih menggenggam batu Jade, merapatkannya ke dada dengan raut yang masih terbebani. Yama dan Kaguma saling menatap dalam diam seperti sedang melangsungkan pembicaraan spiritual melalui pikiran.

Alvin mengencangkan cengkeramannya pada gagang pedang, sikap tubuhnya yang masih siaga sesuai dengan tampang kerasnya. “Tidak ada waktu untuk belajar terlalu lama,” ia menyimpulkan, “Masuk langsung ke medan pertarungan tanpa tahu apa-apa mengenai kondisinya memang gegabah, namun mencoba peruntungan dengan melobi para dewa pembangkang juga taruhannya terlalu sulit selama belum ada kepastian.”

“Jadi, apa pendapatmu, wahai Pembicara Handal dari Olvia?” tanya Kaguma bersedekap, “Kita bagi tiga tim untuk mengecek masing-masing jalan?”

Alvin menggeleng, “Terlalu membuang waktu. Lagipula, kita butuh kekuatan dari semua yang hadir sebagai satu kesatuan,” ia meracau seperti sedang mengalkulasi lintasan roket yang keluar jalur, lebih mirip berdebat dengan diri sendiri ketimbang benar-benar menanggapi Kaguma. Matanya yang nyalang jelalatan, seperti menghitung rinci setiap ruas lantai yang membentang.

“Jadi bagaimana?” bentak Raja Malik yang ternyata sudah bisa galak lagi meski masih dipapah, “Kalian hanya akan berdiam di sini sepanjang hari memikirkan rencana terlampau perfeksionis sementara para makhluk abadi sialan itu sudah menandai kita? Cukup ambil satu jalur dan berimprovisasi, dasar bodoh kalian semua!”

Tepat setelah ia mengatakan itu, dinding di belakangnya hancur seperti dibobol meriam. Bekas ledakan membuat mereka terlempar bersama dengan pecahan-pecahan raksasa dinding, menyisakan lubang besar yang di belakangnya menampilkan dua makhluk abadi raksasa yang paling tidak ingin kutemui saat ini.

Annum dan Ereshkigal, si dewi dunia bawah yang selama ini tidak menampakkan diri, namun sekalinya muncul sudah menguarkan aura mematikan yang jauh lebih mengancam daripada yang dipaparkan dalam cerita. Iris merah darahnya berkilat seolah baru saja menemukan mangsa lezat, rambut hitamnya yang tergerai serasi dengan gaun hijau-hitamnya membuat pesonanya kelihatan lebih mengerikan. Raut dinginnya yang demikian mencekam sama mematikannya dengan raut licik Annum di sebelahnya. Posisi berdiri mereka yang menghalangi jalan menuju aula utama menyisakan kami dua pilihan jalur: menuju ruang penahanan atau perpustakaan, padahal aku yakin kami tidak bisa bersembunyi dengan memadai di antara buku-buku dan kertas padat informasi.

“Hei, Manusia-Manusia Kecil,” Annum menyapa, kentara sekali pongah mengira dirinyalah yang kini berkuasa atas nasib kami. “perlu bantuan untuk mencari jalan, huh?”

Alvin memasang posisi siaga, pedangnya terhunus. “Jalan untuk mati, maksudmu? Tidak, sama-sama. Aku sudah kenyang dengan segala permainan kalian.”

Annum terbahak. Matanya yang berkilat-kilat tajam terkesan mampu membakar kami seketika. “Oh, aku suka kau!” ia berseru, “Sayangnya, kalian sudah menolak tawaran menggiurkan kami, dan kalian harus siap dengan konsekuensinya. Biar kurebut sendiri Bocah Anomali itu!”

Tidak perlu jenius untuk tau bahwa yang barusan adalah aba-aba untuk serangan. Maka, kami bergegas lompat menghindar, kemudian lari tunggang-langgang ke lorong. Aku bahkan tidak sempat memerhatikan apakah lorong yang kumasuki mengarah pada perpustakaan atau tempat para batu legendaris disimpan.

Ledakan beruntun mengejar di belakangku, memburu ganas menghancurkan tembok-tembok yang dilaluinya. Aku berkelit, menghindar, dan melompat dengan bantuan sihir merahku, namun aku tidak akan bisa kabur lebih lama dari sekadar membuang waktu.

Satu ledakan tepat di belakangku. Aku terlempar bersama puing-puing bangunan dan niscaya sudah mati tertimpa reruntuhan seandainya bukan karena segelombang ombak pasang melindungi punggungku. Aku berbalik, menatap Raja Atlantian yang tanduknya tinggal sebelah. “Raja Ayon?”

Ia menghunuskan senjatanya, trisula air yang semestinya mustahil berwujud solid namun mampu mewujud rupa padat. Gelombang ombak tadi bergerak mengikuti ayunannya, menenggelamkan potongan puing bangunan yang mengejar. “Kau larilah,” ia berujar mantap, “Biar kutangani ini, kalian carilah cara mengalahkan mereka!”

“Apa? Jangan gila!” pekikku, “Kau akan langsung mati begitu mereka melihatmu sendirian!”

“Tidak ada cara lain!” ia menegaskan, “Pastikan saja kematianku tidak sia-sia! Karena kalau iya, biar kubunuh kalian di akhirat nanti!”

Sebelum aku sempat menyanggah lagi, Ayon sudah menerjang maju, menghadapi gempuran ledakan musuh dengan ombaknya. Maka, tanpa membuang waktu, aku bergegas lari menjauh menyusuri lorong, bersumpah dalam hati untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikannya.

Aku sudah mencapai belokan bercabang ketika suara yang tidak asing menelusup telingaku. “Ke arah sini, Leon!”

Aku berbalik, mendapati rekan-rekanku baik dari dunia atas maupun kawan hantu kami di dunia bawah. Terdapat sebuah jalan kecil selebar satu meter di dinding, tempat di mana mereka tengah berdesakan sementara Genah yang tadi memanggilku berdiri paling dekat denganku.

“Apa yang kalian lakukan? Kemana kita akan pergi?” tanyaku begitu bergabung dalam barisan.

Genah memintaku mengikuti di belakangnya sementara mereka bergerak perlahan meniti lorong kecil mungil. “Michan merasakan energi para batu legendaris di ujung lorong ini. Mungkin, kalau kita cukup beruntung, kita bisa menggunakan mereka untuk kekuatan tambahan mengalahkan para dewa lain!”

Aku menyusul mereka menyusuri lorong, setengah berharap agar dewa keberuntungan berpihak kepada kami, meski perasaan tak nyaman terus menerus bergejolak di dadaku.

Rencana Enki, aku berteguh. Kami harus bertahan dengan itu, tidak ada cara lain lagi.

Dan lantai merekah tepat di bawah kaki kami.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang