33. Retak

92 9 2
                                    

Matahari sudah menjorok di sudut barat saat untuk kesekian kalinya kami menyibak dahan-dahan pohon tanpa akhir dan akhirnya kami menemukan sebuah oase secara harfiah.

“Leon,” Marvel melangkah, mendekati telaga itu perlahan. “Apa benar itu danaunya?” ia bertanya hati-hati sementara aku memerhatikan sekitar.

Telaga itu lebar dan rimbunan lebat di sekitarnya menghalangi cahaya matahari, membuatnya berkesan misterius alih-alih ceria. Lapangan kecil seluas tak lebih dari empat meter yang dikelilingi pepohonan menghampar di hadapan kami, tidak kentara berbeda sehingga menjadikan tempat ini tidak terlalu mengesankan sambutan pada orang luar. Akar-akar pohon dan sulur-sulur melintang menghiasi, menambah kesan tersembunyi. Air telaga yang berwarna hijau bening menyaru baik dengan sekitarnya.

Marvel melangkah perlahan mendekati telaga itu, namun aku mematung. Aku memerhatikan Marvel berjongkok di sisi telaga, memasukkan tangannya ke air. Mencoba mencari keberadaan Jade.

Seketika, hanya dalam sekedipan mata, sekumpulan sulur merah-hitam melesat dari telaga. Menyambar Marvel, melilitnya dalam cengkeraman menusuk. Merenggut emerald. Menghasilkan guncangan sihir dahsyat. Membuat telaga yang tenang menjadi bergejolak.

Aku hendak bergerak, namun setusuk rasa sakit menembus punggungku secepat hembusan angin sebelum aku melakukan apa-apa. Melewati relung igaku, benar-benar nyaris menyentuh jantungku. Aku terduduk, tetesan darah mengalir dari luka yang kuasumsikan berasal dari panah. Aku terbatuk, rasa sakit menjalar seirama tetesan darah yang semakin deras. Tenagaku terkuras didera siksaan, pandanganku memburam sementara napasku sudah tinggal satu-satu.

Aku mengerjap terbelalak, napasku yang seolah baru saja tertahan kembali menghirup aroma lembab hutan. Apa yang barusan kulihat? Marvel masih berdiri di depan telaga sana, emerald masih terkalung di lehernya, tidak ada sulur sihir bodoh yang menyerangnya maupun merebut emerald. Aku masih berdiri disini, tanpa panah maupun tetesan darah menyiksa.

Sementara itu, Marvel mulai berjongkok di bibir telaga, menatap riaknya lebih dekat.

Kemudian, saat menyadarinya, Marvel sudah mengulurkan tangannya, menyentuh permukaan telaga.

Aku hanya punya waktu untuk meneriakkan “AWAS!” dan membanting kerah jubahnya hingga terjengkang.

Itu benar-benar nyaris sekali.

Persis aku menarik Marvel, jalinan besar seumpama tiang sulur sihir secara tiba-tiba melesat keluar menghasilkan gemuruh, seperti … kalian tau saat keran macet mendadak mengucurkan air paling deras? Begitulah yang terjadi. Sulur-sulur sihir itu membumbung tinggi, jejalinnya melilit satu sama lain seperti kabel tembaga berdiameter lima meter.

Setelah sekitar lima detik, gumpalan panjang itu akhirnya tercerabut seutuhnya dari air dan menghilang menembus jalur langit. Aku mengamatinya sampai yakin kalau mereka sudah pergi sepenuhnya.

Marvel menatapnya syok, tidak menyangka mukanya hampir saja dicaplok jalinan kabel sihir raksasa. Sesaat ia meraba dadanya, dan aku baru menyadari kalau kalung emerald telah lenyap.

“Mereka mengambil kalungku,” racau Marvel yang panik dan bergegas bangkit. Ia sudah hampir mengejar gumpalan kabel tadi jika aku tidak menarik mundur pundaknya, menghindarkannya dari selintas panah sihir yang sudah hampir berjarak dua inci dari dadanya. Kami menoleh bersama-sama ke arah panah tadi berasal, arah masuk kami dari rimbunan hutan.

Di sana, berdirilah dua makhluk berkemiripan tidak terduga yang sedang tidak ingin kutemui. Dua makhluk dengan rambut merah yang sama, kesetiaan yang sama pada kerajaan masing-masing, dan tentunya tatapan menghujam sama yang diarahkan pada kami seolah kami ini buronan.

Mereka adalah Alvin dan Via. Tanduk kuning dan pedang api yang tak wajar di antara Atlantian itu mustahil salah dikenali, pun iris kuning gadis itu yang berkilat layaknya kobaran api. Sementara Alvin, yang berbeda darinya hanyalah kenyataan bahwa tidak ada lagi dua pedang bengkok di pinggangnya, digantikan sebuah busur logam dengan senar berdenyar layaknya sihir di tangannya.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang