11. Keputusan Gila

160 14 14
                                    

Pemikiran yang sekarang terasa mengerikan itu pertama kali hinggap di benakku tiga tahun lalu.

Usiaku dua belas tahun, dan hari itu aku—lagi-lagi—mengecewakan orang tuaku. Nilai-nilai sekolahku turun seperti biasa, dan itu pasti akan jadi bahan gunjingan tetangga. Sejak awal, kami memang selalu jadi bahan empuk obrolan tetangga, dan aku hanya memperburuknya. Bukannya aku tidak mau berusaha agar mendapatkan nilai yang lebih baik, salahkan kepalaku yang sepertinya terbuat dari onderdil rongsokan sehingga selalu berasap parah ketika pelajaran, makanya tak ada satu materi pun yang bisa kupahami.

Dan hari itu, tepat ketika ibuku muncul dan menutup kasar pintu depan, aku sadar dan tau pasti, amukan yang lebih mengerikan telah mendekat seiring langkahnya menghampiriku yang hanya bisa menatap nanar di sudut ruangan.

Pertama, dia mencengkram erat kerah bajuku. Membuatku hampir tercekik, kemudian membantingku keras ke dinding. Tidak akan cukup hanya sampai disana, wanita 29 tahun itu lanjut memukuliku sambil meneriakkan berbagai hinaan padaku. Ini sudah biasa, mau mengelak pun percuma. Itu hanya akan membuatnya memukuliku lebih keras dan brutal sebelum melemparku ke basement, mengunciku entah berapa lama sampai mereka ingat untuk melepaskanku.

Ini harusnya sudah biasa, setidaknya seminggu sekali aku dikunci disini. Tapi hari ini, satu kalimatnya membuatku tercekat. Satu kalimat yang belum pernah ia katakan sebelumnya.

“Dasar anak haram, harusnya kau mati saja! Bocah beban, percuma aku berjuang melahirkanmu!”

Hari itu, aku akhirnya mendengar kenyataannya. Aku tercipta sebelum orang tuaku menikah, atau sepertinya orang tuaku menikah karena aku tercipta.

Dan apa tadi yang dia bilang? Harusnya aku mati saja?

Udara pengap ruang basement ini pastilah telah memengaruhiku, karena ucapan-ucapan itu berputar lebih kencang di benakku. Memenuhi tiap sudut kepalaku, perlahan meresap memasuki pikiranku. Mengubah seluruh perspektifku yang biasanya mati-matian kupertahankan optimis.

Dari awal, ini adalah kesalahanmu.

Kalau kau tidak ada, ibumu tidak akan menderita.

Kalau bukan karena kau, masa depan ibumu tidak akan terputus di usianya yang ketujuh belas hanya karena melahirkanmu.

Kau yang bertanggung jawab atas semua ini.

Segalanya bermula darimu, kaulah biang kesalahan.

Aku meremas rambutku, kalimat-kalimat itu meluncur deras begitu saja tanpa bisa kukendalikan. Semuanya berputar begitu kencang di kepalaku layaknya tornado sampai sebuah pemikiran mendadak muncul begitu saja dan menghentikan topan di pikiranku. Membuat kepalaku kosong begitu saja.

Benar, dia bilang seharusnya kau mati saja, kan?

Kalau begitu, lakukanlah.

Kau harus menuruti kata ibumu.

Dengan sekujur tubuh yang gemetaran, aku mendongak. Ada setumpuk tali lusuh teronggok tidak jauh dari posisiku, dan langit-langit yang dipenuhi sambungan kayu yang saling bersilang akan sangat mendukung.

Aku menggenggam tali itu, merasakan serat-seratnya yang cukup lapuk. Berdiri perlahan, membiarkan pemikiran itu menguasai tubuhku. Menggerakkan tanganku untuk mengikatkan tali itu di salah satu sambungan kayu. Tidak kusangka aku yang selalu gagal ujian praktek tali-temali pramuka ternyata bisa membuat lingkaran yang sempurna untuk leherku.

Perlahan, aku memasukkan leherku dan melompat turun. Jalinan tali itu mengerut dengan cepat, mencekik leherku. Insting bertahan hidup yang tidak kukehendaki menggerakkan tubuhku bergelinjan di udara demi menahan rasa sakit, tanganku bergerak sendiri hendak melepaskan tali itu dari leher meski itu takkan bisa.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang