56. Pembangkitan

77 10 10
                                    

Sementara aku berusaha keras menahan perasaan tercabik-cabik dari dalam, indra sihirku menajam, membuatku bisa mengamati apa yang terjadi di sekitarku di luar lingkaran rantai.

Tawa Annum membahana. Aku bisa melihat bayangannya yang memenuhi satu bagian ruangan, dimana Enki terpisah sepuluh meter di depanku. Marvel memekik, aku bisa merasakan kelebat sihir hitamnya menghantam rantai yang mengurungku, mencoba menghancurkannya, namun sihirnya semata-mata melebur dan bergabung dalam dengung kekuatan rantai emas.

“Awas!” suara Rafel terdengar tepat sebelum sebuah ledakan berkumandang, kelontang pedang yang kuasumsikan milik Rafel juga menyambut. Di antara gumaman serak Rafel yang terbatuk, aku bisa mendengar cairan kental terpercik.

“Rafel! Kau tidak—"

“Marvel, jangan!” mengatur napas saja sulit, namun aku mengerahkan segala daya untuk berteriak. “Bebaskan saja Enki, kita tidak akan punya kesempatan melawan balik kecuali dengan bantuannya!”

“Leon benar,” suara Rafel terdengar tenang di antara sisa napas, seakan dia tahu cara untuk menguasai situasi sekarang ini. “Dengan membebaskan Enki, kita bisa saja mendapatkan dukungan dari para dewa pemberontak lainnya, tapi aku butuh waktu. Marvel, Samsul, lindungi aku!”

“Tunggu, apa yang kau mau—”

“Rafel benar.” Aku tidak tahu siapa yang lebih kaget mendengar suara lugas Samsul, tapi yang jelas anak itu tidak terdengar gemetar. “Lakukan apapun itu mantramu, Panglima Pedang Besi. Ingat, bebaskan Kak Azre!”

Decitan petir menggelegar seiring nada berkobar amarah itu terdengar. Marvel pun tak mau kalah, bumbungan sihir hitamnya membayangiku dan memelesat kesana-kemari, menghalau sihir Annum yang mengepung dari segala sisi.

Kelebatan sihir memenuhi sekitarku, lengkap dengan efek suaranya masing-masing, namun aku bisa mendengar suara Rafel seolah menggema.

STOLAS.”

Suara gemeretak merebak seakan ada yang merobek lantai dari bawah, dan aku bersumpah bisa mendengar sepintas lolongan tersiksa, seakan ada yang membuka pintu menuju alam penyiksaan atau semacamnya. Suara itu hilang secepat munculnya, namun aku merasakan perubahan atmosfer pada ruangan ini.

Kemudian, di balik sinar keemasan rantai yang mengukungku, aku bisa melihat sesosok humanoid berjubah kebiruan setinggi hampir tiga meter melintasi jarak pandangku, dengan Rafel di tengah kungkungan energi solid sosok itu, mendekati belenggu Enki yang kemudian meledak berkeping-keping, begitu juga dengan rantai yang mengikatku meski rasa sakit yang menderu membuatku nyaris tidak punya tenaga kecuali untuk ambruk.

Kepalaku yang dipenuhi pening parah menjadikanku hampir tidak bisa mendengar gumaman cemas Marvel yang mendekatiku, ataupun tangannya yang cekatan menopang lenganku agar tetap tegak. Tapi, penglihatanku yang menjernih segera menangkap sebentuk sosok setinggi tiga meter berwajah burung hantu di hadapanku. Aku segera menyadari, inilah makhluk yang tadi dipanggil oleh Rafel.

“Stolas?” tebakku. Sosok itu mengangguk, “Salam kenal, Leon. Senang kau mengenaliku.” Suaranya menggema di dalam, mulus dan mendayu lembut yang menjadikannya bisa dengan mudah melenakan siapapun yang mendengarnya.

Geraman marah Annum di ujung ruangan memenuhi langit-langit. “Apa yang kau lakukan di tanahku, Pangeran Neraka? Ini bukan perangmu!”

Stolas berbalik, menatap langsung ke arah Annum tanpa gentar. “Aku memenuhi panggilan. Dan, sesuai perjanjian, perang pemanggilku juga termasuk dalam perangku!”

Stolas melesat, menghantam Annum yang cekatan menghindar. Pertarungan satu lawan satu antara dua entitas sihir pun tidak terelakkan. Sihir memenuhi udara, bahkan saking kuatnya, aku bisa mencium aroma destruktif dari pertarungan mereka.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang