51. Kunjungan ke Istana Hantu

67 9 4
                                    

Gravitasi mendadak menarikku jatuh dan membuatku bertubrukan dengan punggung dua orang. Aku bergegas menepikan diri dan mengerjap, menelaah di tempat macam apa lagi portal memuntahkanku.

Yama dan Kaguma di sisiku tengah berusaha bangkit dan merapikan diri. Aku hanya bisa berharap tubrukan keras antar punggung tidak membuat tulang belakang mereka bergeser. Lorong tempat kami mendarat ini begitu temaram, hanya selintas cahaya keunguan suram yang membuatku masih bisa melihat. Meskipun lebar, lorong ini lengang dan begitu sunyi sehingga aku takut suara sekecil apapun yang kukeluarkan bakal langsung membuatku ketahuan dan dibunuh di tempat.

Setelah beberapa saat, aku baru sadar kalau kami hanya bertiga di tempat ini.

“Di mana Gizan dan lainnya?” tanyaku, memerhatikan sekeliling dengan lebih seksama untuk memastikan aku tidak salah lihat. Yama memutar kepalanya, ikut menelaah sekitar. “Batu Ametis, ya …” demikian ia bergumam rendah.

“Hah?” aku memandangnya, meminta penjelasan. Yama balas menunduk menatapku, “Babilonia adalah tempat asal batu-batu legendaris. Kurasa, batu Ametis yang mereka pegang telah mengarahkan mereka ke tempat lain, lebih dekat dengan keberadaan konsentrasi sihir tinggi di batu-batu lainnya.”

Aku menajamkan indra sihirku. Benar, aku bisa merasakan sihir mahadahsyat berkumpul di satu titik, dengan auranya yang seperti magnet untuk sihir serupa. Dan dari bentukan auranya, aku cukup yakin kalau itu adalah sihir para dewa—termasuk yang masih tersimpan di dalam batu.

“Itu tujuan kita, bukan?” aku angkat bicara. “Menurut kalian kita harus menyusul mereka ke sana?”

Kaguma ikut mengedarkan pandangan, lantas menggeleng. “Terlalu berisiko kalau kita langsung mengonfrontasi. Lebih baik kita berkumpul dengan yang lainnya dulu dan mengondolisasi kekuatan sebelum memberikan perlawanan terakhir.”

Aku menelengkan kepala. Meskipun sebagian besar sihir kekuatan tinggi terkumpul di satu titik, seisi tempat ini—istana dewata, menurut pengamatanku—dipenuhi sihir yang asing di seluruh tempat. “Kalau begitu, apa kalian bisa menemukan Marvel dan lainnya? Mungkin lebih baik kita menyusul mereka?”

Yama mengedarkan fokusnya sekali lagi sebelum kemudian menghembus pasrah. “Maaf, tapi aura sihir yang bercampur di sekitar sini … membuat mereka sukar dilacak. Tapi mereka tidak akan jauh dari sini, seharusnya. Ayo kita lanjut jalan dan berharap bisa berpapasan dengan mereka?”

Kami melintasi berbagai lorong yang berkelindan satu sama lain dan membuatku berpikir bakal jadi seberapa memusingkannya denah tempat ini. Aku mulai kasihan dengan arsitek yang membangun istana-dewata-model-lorong-labirin ini. Satu-satunya yang membuatku tetap awas adalah keganjilan bahwa tidak ada seorang pun prajurit atau apapun di tempat ini. Yang benar saja keamanan tingkat dewa selonggar ini? Dan aku tidak sudi kepalaku disula dari celah tembok atau apa hanya karena lengah dan kurang memperhatikan.

Setelah menuruni entah berapa banyak anak tangga, barulah kami menaikkan ketegangan yang sebenarnya. Lorong yang membentang di depan kami tidak selebar lorong-lorong sebelumnya, dan di kanan-kiri berbaris jeruji yang mengukung ruangan-ruangan kecil. Penjara, aku sadar.

“Apa kalian pikir ada seseorang di sini?” tanya Kaguma sangsi sembari menelaah sekitar.

Dia benar, tempat ini sama lengangnya dengan lorong-lorong yang sudah kami lalui sedari tadi. Namun aku terus maju, memeriksa tiap sel seolah seseorang—barangkali Marvel atau sihir hitamnya—mungkin saja terjebak di dalamnya.

“Leon?”

Aku berjengit. Suara itu berasal dari sel di belakang punggungku. Terakhir kali mendengar suara itu, suaranya berubah jauh sehingga aku berakhir menusuk jantungnya dan membuat Marvel memusuhiku habis-habisan. Tapi kali ini …

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang