Bab Bonus: Ayah

88 9 9
                                    

Pria itu masih terduduk, menatap layar ponselnya yang menampilkan apa yang telah ia lihat ulang berkali hari ini.

Poster anak hilang yang telah disebarkan sejak bulan lalu. Poster yang menampilkan foto wajah penuh luka anak itu.

Anak yang mewarisi garis wajah dirinya.

Anak yang hadir akibat perbuatannya.

Putranya.

Bahkan, apa ia pantas menyebutnya demikian? Setelah lima belas tahun ia selalu menghindar dan bersikap tidak peduli? Membiarkannya tetap ada hanya karena tumpukan perjanjian yang setiap saat mengancam nadinya?

Pria itu ingat. Dirinya tidak pernah mengharapkan anak itu. Anak itu hadir akibat sebuah kelalaian. Sedari awal, dirinya tidak pernah peduli akan anak itu.

Pria itu ingat. Tekanan yang dirinya alami saat kehadiran anak itu diketahui. Kecaman bertubi yang ia dapatkan. Dirinya lelah akan semua itu. Semua itu akibat anak itu. Sebuah kesalahan yang membawanya pada jalan yang tidak ia inginkan hingga lima belas tahun.

Pria itu ingat, dirinya tidak pernah peduli pada sang putra. Dirinya semata-mata hanya menjalankan apa yang diperintahkan perjanjian itu, demi memastikan lehernya aman. Diluar itu, ia tidak peduli.

Pria itu tahu, dirinya yang lepas tangan dari tanggung jawabnya saja sudah sangat keterlaluan. Ia sering melihat wanita itu memaki sang putra, mengasarinya dengan semua cara yang ia bisa. Namun dirinya tidak peduli.

Karena, setiap kali bersitatap dengan sang putra, yang mewarisi garis wajah dan potongan tubuh dirinya, ia akan seolah melihat representasi gagal dari dirinya.

Dirinya yang selama ini gagal.

Dirinya yang brengsek.

Dirinya yang merusak nama baik seisi keluarga.

Dirinya yang mengecewakan.

Dan, atas semua kekecewaannya pada dirinya sendiri itulah, ia hanya akan berakhir melampiaskannya pada sang putra. Mengatakan semua kekecewaannya seolah tengah berhadapan dengan cermin. Berpikir dengan cara itu, rasa sakit itu hanya akan kembali pada dirinya. Itulah kenapa ia lebih sering lembur dan tidak berada di rumah. Ia tidak butuh menyakiti diri setiap saat.

Tapi, apakah dirinya lupa? Sang putra bukanlah cermin sejati. Ia adalah individu lain, menumpahkan segala hal padanya tidaklah adil bagi sang putra. Bukan salahnya jika ia mewarisi garis wajahnya, atau bahkan bentuk tubuhnya. Anak itu tidak pernah memaksa dirinya untuk membuatnya tercipta. Bukan salahnya jika ia hadir akibat lalai dirinya.

Pria itu menatap lagi pantulan layar di genggamannya untuk kesekian kali. Seharusnya dengan berita hilang ini, perjanjian itu tidak lagi berlaku. Dirinya bisa bebas dan melupakan sang putra, seperti yang selama ini dia lakukan.

Namun, justru disinilah ia. Menatap proyeksi digital sang putra di genggamannya. Tergugu dan tidak habis memikirkannya sepanjang waktu. Mencoba mengingat wajah asli sang putra yang sudah berbulan tidak ia tatap. Putra yang ia sia-siakan selama lima belas tahun.

Setelah semua ketidakpeduliannya, apa sekarang ia pantas merasa kehilangan?

Dirinya bimbang. Ia bahkan tidak tau kenapa dirinya masih menyimpan poster ini. Apa ia semata-mata melakukan ini demi berkelit dari perjanjian itu dan memastikan kesejahteraan lehernya?

Atau, karena di sudut terdalam hatinya, di tempat terakhir setitik nuraninya yang tersisa, ia masih menyayangi putranya itu?

Pria itu menarik napas perlahan, kemudian bingkas dan menyimpan ponselnya. Ia melangkah keluar, menyusuri jalanan lengang ketika sebuah suara memanggilnya.

“Halo, permisi.”

Ia berbalik menatap pemanggilnya. Seorang pria, usianya tidak jauh berbeda dari dirinya. Ia mengenakan jas putih yang di dadanya tersemat sebuah pin nama bertuliskan Dr. Adeline.

“Anda Randy Zaferino, bukan?” ia memastikan, “ayah dari Leon Zaferino, salah satu anak yang dinyatakan hilang?”

Randy mengangguk, meski ia tidak tahu apa urusan pria ini dengan putranya yang hilang. “Ya. Apa ada sesuatu?”

Pria itu tersenyum samar. “Baguslah kalau begitu. Ada hal yang perlu kita bicarakan.”

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang