46. Tembok Lampau

68 10 0
                                    

Apa kalian kira dipertontonkan paksa awal mula dari segala takdir buruk yang dialami sudah cukup buruk?

Sayangnya, semua ini masih jauh dari berakhir. Sangat, sangat jauh. Namanya saja baru dipertunjukkan awal mula, jadi tentu saja semua ini masih baru awal dari hal-hal yang lebih buruk.

Haha, lucu sekali. Bahkan kungkungan ilusi Lush Paradisa ini tidak sanggup membendung humor pasaranku yang murahan.

Sebenarnya tidak begitu sih, aku saja yang sedang tidak waras sehabis ditimpuki para ilusi tidak tahu diri yang menyerangku di setiap waktu. Bahkan aku mulai khawatir, ini adalah gejala baru dari gila kronis. Sekarang aku benar-benar paham apa yang dialami orang-orang lain yang terjebak juga di tempat ini. Sangat paham sampai aku sudah muak.

Muak kepada diri sendiri. Kecewa akan apa saja yang melekat pada diri ini. Geram karena tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengubahnya.

Untuk pada akhirnya, aku hanya bisa menelan semua itu sendiri. Karena semua itu adalah kenyataan yang tak bisa kuelakkan.

Seperti hari-hari ini. Ilusi-ilusi itu seolah mempertontonkan ulang kehidupanku yang mengenaskan. Aku melihat kembali masa kecilku, yang jauh dari kata membahagiakan. Kecuali kalau definisi bahagia itu adalah dimaki habis-habisan dan dikasari hingga terluka parah hanya karena tidak sengaja melakukan kesalahan kecil.

Aku melihat kembali masa sekolahku. Mata pelajaran yang tak pernah bisa benar-benar kupahami, nilai-nilai yang selalu jauh dari kata sempurna, ocehan murid-murid lain, hingga makian para guru yang menurut mereka aku tidak pantas bersekolah di sana.

Amarah ibuku. Percobaan bunuh diri pertamaku. Seluruh rasa sakit dan terinjak-injak itu. Aku merasakan semuanya kembali seirama dengan ingatan-ingatan yang diperlihatkan ulang. Perasaan-perasaan lama yang sudah mulai kulupakan, kini diingatkan paksa semenyiksa membuka ulang luka lama. Secara harfiah, pun secara istilah.

Tapi momen-momen itu terasa tidak ada apa-apanya dibandingkan momen masa SMP. Ketika Alvin dan kawanannya mengambil porsi dalam hidupku. Saat itulah siksaan dunia yang sebenarnya dimulai.

Aku melihat bagaimana mereka merundungku, menendangiku layaknya seonggok sampah. Aku merasakan kembali bagaimana mereka menjejakiku, dan bagaimana mereka serius saat melakukannya. Aku ingat bagaimana sakitnya sekujur tubuhku saat itu, tapi tidak akan ada yang peduli.

Aku melihat bagaimana Alvin begitu lihai menggunakan kemampuan lidahnya untuk mencemoohku. Tidak, bahkan kata itu tidak cukup menggambarkan bagaimana kejamnya ucapan-ucapan Alvin setiap hari. Kalimat-kalimat yang bahkan lebih parah dari yang dikeluarkan ibuku. Kalimat yang benar-benar menginjak-injak mentalku sampai tinggal serpihan, yang bahkan lebih parah dari perundungan fisik dari kawanannya. Yang memaksaku percaya pasrah bahwa tujuanku hidup adalah untuk menjadi samsak pelampiasan orang lain.

Yang tidak pantas untuk dilihat sebagai manusia.

Yang tidak pantas dianggap makhluk bernyawa.

Yang tidak pantas membela diri.

Yang hanya diperbolehkan untuk menerima, mengiyakan semua yang dikatakan orang lain tanpa hak untuk membantah.

Aku mengalami kembali percobaan bunuh diriku yang kedua, juga ketiga. Tidak ada yang mencegahku. Tidak ada yang mendadak muncul dan mengatakan padaku untuk jangan mati. Tidak ada yang bahkan peduli apa besok aku masih akan muncul atau tidak. Satu-satunya yang menghentikanku dari benar-benar melukai diri sendiri adalah pecahnya lapisan ilusi tempatku berada, menyadarkanku kalau aku masih ada di tengah hutan antah berantah. Untuk kemudian dikejar-kejar oleh ilusi lainnya.

Ilusi masa laluku akhirnya mencapai momen kelas sembilan. Awal mula hadirnya seorang Reina Adeline dalam hidupku. Yang seharusnya menjadi awal mula berpihaknya nasib baik padaku.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang