53. Aku Ditolong Iblis

97 7 12
                                    

Bahkan dalam wujudnya yang belum maksimal, Ishkur sudah begitu mengancam. Ia berdiri menjulang di hadapan kami, mungkin sekitar lima meter. Tidak seraksasa yang kau bayangkan? Eh, aku cukup percaya mereka bisa mencapai tinggi puluhan meter jika ingin, dan kali ini kuyakin dia semata-mata mengecilkan tingginya hanya untuk mengejek kami, menegaskan bahwa kalian bakal tetap lebih kecil dariku bahkan meski aku sudah rendah hati menyesuaikan diri, dasar makhluk lemah. Nah, menyebalkan, bukan? Apalagi, kalimat itu seolah tercetak jelas di raut sombongnya yang seperti permanen itu.

Sepersekian detik, sebelum kami genap memahami apa yang terjadi dan lepas dari kekakuan akibat kejut, Raja Malik sudah melesat. Menyabetkan kedua bilahnya sembari meraungkan teriakan perang.

Serangan amarah itu harusnya melukai si dewa cukup parah. Namun, belum genap Malik mencapai jarak satu meter terdekat Ishkur, sang raja sudah terpental jauh, menghantam tembok dengan teramat keras sampai meninggalkan bekas retakan berlubang. Bahkan Ishkur melakukan itu tanpa menggerakkan tangannya sedikitpun.

“Malik!”

“Yang Mulia!”

“Ra—raja Malik!”

Kekeh menertawakan kembali berkumandang sementara Rafel dan Marvel tergopoh menghampiri Malik. Dinilai dari erang penuh rasa sakit dari sang raja, aku menilai bahwa bantingan gaib dewa tidak pernah main-main. Atau mungkin skala main-main mereka saja yang terlalu jauh melampaui skala mematikan manusia.

“Percuma, Manusia Kerdil. Kalian pikir dengan kekuatan kalian yang lemah itu saja sudah cukup untuk mengalahkan kami? Kalian hanya akan mati sia-sia sebagai kutu. Kenapa tidak bersujud minta ampun dan bergabung dalam rencana kami?”

Aku menoleh waswas ke segala arah, berhitung cepat. Lorong ini lebar hampir lebih dari dua puluh meter, jadi kalaupun harus bertarung setidaknya kita tidak bertarung di ruangan sempit. Tinggi lorong ini sendiri lebih dari tinggi bangunan empat lantai, menjadikan jalur atap sebagai opsi menarik seandainya kami bisa terbang. Sementara panjang lorong ini, jika menjadikan belokan di depan sebagai batas akhir, kelihatannya lebih dari dua ratus meter. Aku tidak tau seberapa jauh lorong memanjang di belakang kami, tapi barangkali kami bisa mengulur waktu dan mencari celah untuk kabur di antara celah di sana—

“Nah, nah. Jangan harap kalian bisa lari secara pengecut, Manusia Kerdil.” Ishkur menyeringai tajam, seakan tahu apa yang tengah kupikirkan.

Pasak-pasak raksasa mencuat dari lantai, menutup jalur sepuluh meter di belakang. Mengurung kami dalam ruangan seluas 20 x 10 meter yang sangat cocok untuk berunding sampai mati.

“Yang kami butuhkan sangatlah sederhana,” ia memulai perundingan, “Kalian cukup serahkan anak itu, Leon Zaferino, dan aku akan menjamin tur aman bagi kalian. Mungkin … untuk sekitar sepuluh menit. Bagaimana?” seringai miringnya tersungging, jelas menegaskan maksud tersirat dari ekor kalimatnya.

Semua mata seketika terarah padaku. Di belakang aku bisa mendengar Alvin mengumpat sembari mempersiapkan pedangnya, “Seperti yang kukira, makhluk seperti mereka hanya akan langsung membunuh kita semua bahkan kalaupun kita membantu.”

Ishkur menggarisbawahi ucapan Alvin, menampilkan raut tidak percaya. Bahkan untuk ukuran manipulator tulen, dia bisa mengubah ekspresi wajahnya semengalir air terjun. “Kau menyangsikan janji kami?” ia mengulangi dengan raut seolah hatinya benar-benar terluka, “hei, setidaknya aku tidak akan membunuh kalian langsung—”

“Tentu saja, karena kalian akan menggunakan Leon untuk mempercepat penghancuran dunia, yang akan membunuh kami juga ujung-ujungnya. Jadi, bahkan kendati kami menuruti mau kalian untuk membantu, pada akhirnya semua sama saja. Kami akan mati sementara kalian mendapatkan apa yang kalian inginkan. Kalau mau bernegosiasi, berikan pilihan yang pintar, dasar Dewa Dungu.” Cecar Alvin, tanpa takut membawa-bawa masalah personal.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang