58. Akhir Klimaks

95 12 7
                                    

Ren sama sekali berbeda dari yang kukenal sebelumnya. Rambut putih pucatnya yang sebelum ini panjang mencapai punggung sekarang telah dipotong sebahu memayungi dahi, membuatnya semakin mirip Reina. Iris yang awalnya berwarna ungu layaknya ametis kini berwarna merah darah; mata pemangsa seekor ular Kekacauan yang telah merasuknya dalam-dalam. Dan, pakaiannya sudah berganti menjadi pakaian tradisional Mesir, gaun sutra putih dengan perhiasan emas yang sama sekali tidak menghambat pergerakannya.

Tapi, yang lebih menggentarkan adalah riak sosok Apophis yang bertumpuk pada wujudnya, seperti dua sosok sekaligus dalam satu wujud. Seiring langkah, sosok Apophis membesar, seakan melingkupi seluruh langit sementara Ren sebagai tambatannya juga sama mengerikan.

“Apophis,” desis Alvin tepat di belakangku. “Ular sialan itu sudah seutuhnya menguasai tubuh Reina. Satu-satunya yang harus kita lakukan adalah membunuhnya sekarang juga sebelum kekuatannya semakin menyebar!”

“Kuakui kau punya keberanian, Malreux.” Suara Apophis menggema, menghantarkan gelombang rasa takut. “Sayangnya, kau tidak cukup kuat untuk dapat menghentikanku.”

“Hati-hati,” bisik Enki yang sudah bersiaga di sampingku. “Jangan remehkan kekuatan mereka. Tempat ini dipenuhi kekuatan Kekacauan, membuat mereka semakin kuat. Jangan terbawa tipu daya mereka dan tetaplah berpegang pada rencana, kau ingat?”

Aku mengangguk samar, melemaskan jemari. Tapi ternyata, serangan mereka masih lebih cepat dari antisipasiku. Aku hanya sempat melihat kerlipan cahaya ketika Enki sudah maju dan menciptakan tameng, membelokkan arah serangan Annum barusan.

“Awas!” pekiknya sementara serangan-serangan lain mulai membanjiri padang.

Pertarungan pun pecah. Antara para dewa Babilonia yang diperkuat kekuatan Kekacauan, dan kami, para manusia yang ditopang oleh dewa-dewi pemberontak.

Marvel bersama Nergal melawan Ereshkigal, sulur-sulur dan ledakan sihir hitam berputar-putar di antara mereka. Raja Malik dan Shamash melawan Ishkur, pedang melawan kapak, mengamuk ganas di antara kepungan badai petir. Herobrine ditangani oleh Ayon yang dalam topangan Enlil. Sisanya membasmi monster-monster lain yang dikeluarkan Annum dan Herobrine sebelumnya.

Namun, pertarungan Enki melawan Annum adalah yang paling menarik perhatianku. Aku sempat mendengar Enki mendesiskan suatu makian yang terdengar seperti dasar bapak kampret, sementara Annum masih bisa tertawa licik di antara dentuman dan serangan yang semakin intens.

“Enki, Enki, Enki,” gumamnya dengan nada mengasihani, salah satu serangannya berhasil menyambar Enki dan membuat pertarungan tertahan sejenak. “Aku sungguh tidak paham, kenapa kau masih memihak manusia-manusia ini? Kenapa kau tidak bergabung bersama kami saja? Kita bisa kembali ke Dunia Atas dan menguasai segalanya!”

Enki terhuyung, namun dengan cepat ia berdiri tegak. “Annum!” ia meraung ganas. “Apa kau tidak sadar? Apophis sudah memperdaya kalian semua! Rencana aslinya adalah menghabisi kita semua, membunuh seluruh makhluk dan menghancurkan dunia! Tidak akan ada apapun yang tersisa untuk kalian kuasai nantinya!”

Aku menangkap Marvel yang terlempar oleh salah satu serangan Ereshkigal. Ia terbatuk, darah menetes dari sudut mulutnya. “Makasih, Leon,” ia berucap pelan. Aku mengangguk gamang, menurunkannya dengan pelan dan berjalan mendekati Enki.

Kupancangkan tatapanku pada Annum. “Yang dikatakan Enki benar,” aku berseru setegas yang kubisa. “Apophis menginginkan kehancuran semesta. Jika dia bangkit, dia akan menelan matahari, menenggelamkan dunia ke kehampaan primordial dan melibas segalanya dalam Samudera Kekacauan. Kiamat mutlak akan terjadi, dan kalian semua juga akan tewas! Apapun wacana yang ia tawarkan, semuanya adalah tipuan!”

Selintas suara berdesis di telingaku. “Kau cukup cerdas, Leon Zaferino. Tapi, urusanmu adalah aku.”

Sebelum reaksiku sempat bertindak, sebuah kekuatan aneh menyibak pertarungan dan mengepungku dalam kabut putih. Ketika kabut itu mereda, aku berhadapan dengan Apophis yang masih tertambat pada Ren, satu lawan satu sementara pertarungan di sekitar kami seakan mengabur seolah berada di level dimensi yang berbeda.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang