6. Intimidasi

178 17 10
                                    

Kami mematung, menatap makhluk terkutuk yang kini terkekeh melihat kami. Atau lebih tepatnya, melihat kalung emerald yang tergantung di leher Marvel. Aura mengerikannya terpancar luas.

“B-bukannya itu makhluk yang sering diceritakan Papa?” gumam Peppey.

“Herobrine… bukannya dia sudah tersegel?” lanjut Marvel, ketakutan sampai tak sanggup untuk bergerak meskipun ini adalah saat yang tepat untuk secepatnya kabur.

Makhluk itu bergerak mendekat sampai akhirnya benar-benar berdiri di hadapan kami yang terpojok tembok batu. “A-apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Peppey panik, posisi kami begitu terjepit.

Marvel menatapnya dengan tatapan sama paniknya. “Pey! Buruan pake sihir lu! Tembak ke dia, cepat!” serunya panik.

“H-hah? Tapi kita kan lagi di Vermillion?” Peppey bimbang, “Kalau ketahuan, kita bakal langsung dihukum mati, kan?” ah, rupanya dia ingat pengumuman tadi pagi.

“Gak ada yang peduli, bodoh!” sergah Samsul, “Mending mati nanti daripada mati sekarang!”

Tak ada pilihan lain, Peppey pun mengeluarkan ranting sihirnya. “Heaah!”

Ya, dia memang berhasil menembakkan apinya, tapi itu sama sekali meleset. Herobrine hanya menatap sekilas sebelum melangkah semakin dekat.

“Itu api apaan bodoh!” seru Samsul dengan nada ingin menggeplak Peppey. Yang hampir digeplak juga tidak bisa apa-apa lagi. “Gausah banyak bacot ah! Ini gimana dulu woi!”

Marvel tampaknya memiliki rencana, “Semuanya… LARI!” Dengan segera dia memacu langkahnya sesuai komandonya sendiri, kami segera mengikutinya. Meninggalkan Herobrine yang termangu di tempat.

“Sini, ke kiri!”

Kami mengikuti arahnya, namun sekumpulan penuh zombie dan skeleton menghalangi jalan. “Eh, awas awas!” jerit Peppey. Marvel segera berputar balik dan mengambil arah lain, “Udah, lewat sini aja, CEPET!”

Aku sempat melihat selembar kertas jatuh dari saku pakaian Marvel ketika sedang berlari, namun otak yang dipenuhi kepanikan tidak sempat memikirkannya lebih jauh. Kami saling meneriaki satu sama lain, berseru agar tidak ada yang tertinggal.

Kami meniti tangga batu menuju jembatan penghubung, namun Herobrine muncul dan menghadang tepat di hadapan. Ia membawa pasukannya, zombie dan skeleton untuk menghadang kami.

“Sialan!” geram Samsul, sementara Marvel tampaknya sudah mulai kehabisan napas. “Kenapa … makhluk itu mengejar kita terus?” aku melihat Samsul dan Peppey sudah siap dengan ranting masing-masing, maka aku juga mempersiapkan sihir di tanganku.

“Vel!” Samsul memanggil, tatapannya tegas. “Lu kabur aja duluan! Aku sama Peppey dan Leon bakal tahan mereka!” Marvel ingin menyanggah, namun kami serempak ‘mengusirnya’.

Akhirnya, Marvel pun pergi sementara kami sibuk dengan sekumpulan monster yang mendekat. Jumlah mereka tidak banyak, namun kemampuanku masih buruk dalam menggunakan sihir. Sebagian besar dari mereka dihabisi Samsul dan Peppey menggunakan kombinasi petir dan api mereka.

Kurang dari 10 menit, area ini sudah bersih dari monster. “Sekarang, gimana keadaan Marvel?” tanyaku, Peppey dan Samsul saling pandang sebelum kemudian Peppey mengibaskan tangannya, “Ayo kita cari dia! Kalau ada monster lagi, dia bisa bahaya!”

Tidak sulit menemukan jejak Marvel, aku sudah bisa melihatnya terpojok oleh sekumpulan monster. Peppey di paling depan segera menembakkan apinya, membunuh semua monster seketika sementara Marvel masih mematung. Aku tahu, di bagian ini Marvel mengira sihirnya-lah yang berhasil menghabisi para monster.

Peppey segera berseru, menyadarkan Marvel. “Ayo buruan! Kau ngapain bengong doang? Kalo gak kubunuhin monster-monsternya, kamu udah mati duluan kali!”

Samsul di urutan paling belakang akhirnya sampai. “Woi, kalian aman-aman aja kan?” Peppey menyahut dengan nada yang tidak pelan sama sekali. “Ini si Marvel, hampir mati ditampol sama monster-monsternya!”

Marvel buru-buru mendiamkan mereka. “Ssht, udah. Buruan! Kita cabut dari sini.” Lantas ia memimpin kami untuk melanjutkan mengambil langkah seribu.

Namun, lagi-lagi langkah kami ditahan oleh sekumpulan monster yang menghadang. “Aah, ini kenapa banyak banget dah monsternya!” Marvel berseru gemas. Peppey segera bersiaga, “Hati-hati Vel, mundur!”

Kami mengambil jalur lain, namun sama saja. Monster-monster itu seakan tidak ada habisnya. Samsul bahkan mendesis kesal, “Argh, sialan!” sementara Marvel tampak lelah dan pasrah. “I-ini udah terlalu banyak!”

“Arggh, sihir gw juga ga bakal bisa nahan mereka!” geram Samsul. Marvel bahkan tampak sudah hopeless. “Sepertinya, hidup kita cukup sampai disini …”

“HEAAAH!”

Tanpa dikomando sebelumnya, Peppey melemparkan bola apinya. Bukan bola api yang biasa, melainkan serangkaian api dengan kekuatan berbeda yang segera menyambar rata para monster. Melihat itu, aku dan Samsul terinspirasi dan ikut menyerang. Samsul menyambarkan petir yang lebih besar sementara aku memaksakan diri untuk mengeluarkan lebih banyak energi sihir dan mengeluarkan tanjakan-tanjakan tanah yang menusuk dari bawah.

Setelah beberapa menit, akhirnya kami berhasil menghabisi mereka semua tanpa bersisa. Terengah kehabisan napas, aku berusaha memulihkan energiku yang sebelumnya tidak pernah kukeluarkan sebanyak ini.

“Pey,” panggil Marvel yang sedari tadi hanya bisa diam menonton. Peppey menoleh, “Itu tadi keren banget!” puji Marvel yang riangnya seolah terlonjak.

Peppey yang awalnya terengah kelelahan, terbahak mendengarnya. “Ahahahahaa! Liat kan sihirku tadi? Mampus kau Sul gak bisa lebih keren!” sombongnya sambil menyindir Samsul, sesuai kebiasaan mereka yang selalu bertengkar.

Samsul segera mengelak, “Ah berisik ah. Udah buruan yuk kabur, udah cape aku disini.” Maka, kami segera melangkah meninggalkan tempat ini.

Belum sempat keluar dari area festival, kami sudah dihadang kembali. Marvel gemetar menyadarinya, “Guys, dia masih disini …”

Herobrine berdiri tepat di hadapan kami, masih berusaha mencegah kami kabur. Marvel segera menoleh, “Pey! Keluarin sihirmu yang tadi lagi kek!” Peppey yang juga panik berusaha mengeluarkan sihirnya, namun itu tidak berarti apa-apa bagi Herobrine yang terus mendekat. Sama halnya dengan Samsul dan aku yang juga berusaha menghalanginya. Kali ini, sepertinya kami sudah benar-benar tidak punya sisa harapan. “Sampai disini kah hidup kita?” gumam Marvel bernada putus asa.

Herobrine sudah semakin dekat, namun keajaiban plot armor tokoh utama tetap ada.

Seseorang muncul, melompat dari atas dengan gagah berani. “Hei! Ngapain kau ada di kastilku bajingan!” di kedua tangannya tergenggam bilah pedang yang dengan cepat ia sabetkan pada makhluk itu, menyelamatkan kami tanpa sengaja. Lantas berduel melawan Herobrine yang sepertinya mengincar sesuatu di kastil Vermillion.

Tidak perlu diberi tahu lebih lanjut, aku tahu siapa dia. Cape bertulisan huruf W yang berkibar, tatapan tajam menusuk, serta mulut tegasnya yang titahnya tak pernah dibantah.

Dialah raja Vermillion yang tadi pagi berdiri di podium, salah satu pemeran inti Viva Fantasy. Menyandang nama channel youtube Watchout , memerankan peran sebagai dewa di series BPK SMP S3 terdahulu.

Raja Malik, atau yang nama aslinya adalah Irfan Malik. Putra dari Diamond, ayah dari pangeran Liko. Akhirnya dia kembali hadir.

<><><><><>
Writer's note:

Sabar, oke? Sejauh ini masih ngikutin canon aslinya. Kalo masih ada yang belum nonton Viva Fantasy asli, ayo segera tonton agar bisa memahami dasar ceritanya.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang