14. Serangan Pembuka

129 14 6
                                    

Tidak salah lagi, itu Herobrine. Entah bagaimana dia bisa menemukan tempat ini.

Ledakan demi ledakan ia luncurkan, berdentum-dentum menghancurkan seisi pulau. Aku berusaha setangkas mungkin menghindari serangannya, namun itu sulit dilakukan jika jarak hindarku terbatas sementara radius ledakan itu tidak main-main.

Aku melompat mundur, tepat satu detik sebelum sebuah dentuman meledakkan tempatku berpijak sebelumnya. Sialaan! Apa Marvel dan yang lainnya masih belum pulang juga?

Terlalu fokus merutuk dan mengatur napas membuatku luput akan serangan lainnya, dan punggungku mungkin sudah akan ikut meledak jika bukan karena sebuah tangan yang menarik kerah tengkukku dan membantingnya ke samping, menghindarkanku dari satu lagi ledakan maut.

Aku berguling bangkit demi bergegas kembali ke posisi siap, lantas menyadari tangan mulus siapa yang menyelamatkanku barusan. “Ren?” panggilku tidak percaya.

“Menghindar, Leon. Aku tidak mau kamu terluka. Kau bukan targetku.” Desisnya cepat, menarik atensiku pada kalimat terakhirnya. “Eh? Apa maksud—”

“Mundur!” tidak memberikan waktu, Ren sudah mendorongku menjauh menghindari ledakan lainnya, intensitas pertarungan ini tidak memberikanku kesempatan bertanya.

Melompat mundur ke area pepohonan, aku menemukan celah. Dengan cepat aku memukulkan telapak tanganku ke tanah, mengalirkan sihir yang masih begitu awam untukku.

Dinding tanah itu mencuat tinggi dengan cepat, menjadi pelindung sementara dari dentuman-dentuman itu. Aku tau sihirku masih lemah, bahkan dinding tanah ini saja retak dengan cepat. Namun aku akan tetap mempertahankannya, memaksakan diri untuk lompat ke level berikutnya.

Bongkahan demi bongkahan tanah kukeluarkan demi meredam efek ledakan, namun aku sendiri tidak bisa berbuat lebih banyak. Tenagaku terkuras dengan cepat, sementara serangan-serangan itu tidak memberikan tanda-tanda akan berhenti.

Bahkan, setelah di-isekai ke dunia ini pun, aku tetaplah beban. Sepertinya sebentar lagi akan kulegalkan beban sebagai nama tengahku.

“Kalian semua, mundur!”

Seirama dengan suara itu, sepotong tangan kekar menarik pundakku, melemparku mundur tepat ketika sebuah dentuman meledakkan tempatku berdiri barusan. Aku terengah, mendongak melihat siapa yang muncul dan mengeja namanya di antara napas yang terpotong.

“Genah?”

“Leon! Kamu gapapa, kan?”

Aku menoleh ke belakang demi mendengar pekikan satu itu. Marvel dan yang lainnya dengan cepat mendekatiku dan membantuku berdiri, sekaligus membawaku menjauh. Sungguh sebuah solidaritas, seandainya aku boleh terharu sebentar.

Suara kekehan membahana, membuat semua orang mendongak. “Herobrine?

“Bagaimana dia bisa ada disini?” gumam Marvel lirih, menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang ada di pikiranku sejak tadi. Aku menggeleng pelan, “Tidak tau. Mendadak dia muncul begitu saja dan meledakkan tempat ini.” Jawabku, tidak memiliki penjelasan yang lebih baik.

Di belakang, Gizan yang juga ada dalam rombongan merangsek maju. Tatapan membunuhnya dipenuhi amarah, siap dilampiaskan pada makhluk melayang di hadapannya. “HEROBRINE! KAU AKAN MATI DALAM DOSAMU! Akan kubunuh kau sekarang juga!”

Genah, yang barusan menanggung semua efek ledakan, masih bisa terengah bangkit dan menahan Gizan, yang kontan saja tidak terima karena Herobrine telah menghancurkan kerajaannya. Genah menanganinya dengan lebih baik dan meminta Gizan agar menjaga kami berlima, dan akhirnya Gizan setuju dengan ganti Genah membunuh Herobrine demi dia dan kerajaannya.

Sesuai dengan yang dikatakan, Gizan membimbing kami untuk kabur menjauh sementara ia ada di barisan belakang untuk melindungi kami. Sayangnya, Herobrine tidak tinggal diam melihat targetnya kabur, ia mengirim sepasukan enderman yang segera berlari mengejar kami.

Oke, sampai kapan aku akan berurusan dengan enderman yang berjalan?

“Woi, itu di belakang ada banyak yang ngejar kita!” pekik Peppey. Aku terengah, susah payah mengambil napas untuk bicara di tengah lari. “Kita semua tau itu, jenius!” sementara itu, Samsul hanya merutuk pelan dan Marvel terlalu fokus memilih jalan.

Di belakang, para enderman itu sudah semakin mendekat. Marvel mengeluarkan panah, mengacungkannya sementara Samsul dan Peppey menyalurkan sihir mereka ke anak panahnya. Tidak mau ketinggalan, aku juga menambahkan elemen tanahku pada panah itu, membuatnya menjadi lebih kokoh.

Marvel menembakkan panah yang seketika meledak di hadapan para enderman, memberikan kami kesempatan lebih baik untuk kabur.

Atau … tidak juga.

Kami terhenti begitu menyadari apa yang ada di hadapan kami. Tebing kosong yang begitu terjal dan akan membuat kami jatuh dari ketinggian begitu terperosok sedikit. Aku menatap Marvel, menyalahkannya secara tidak tersirat karena memilih jalan yang buruk.

Seekor enderman hampir meraih kami, namun dari belakang Gizan melompat dan menyabetkan api birunya. “Kalian semua aman-aman saja?”

Marvel mengangguk buru-buru, “I-iya, kita baik-baik saja.” Aku mengerling ke belakang, “Kurasa tidak juga, sih. Kita terdesak disini.” Sahutku menunjuk udara kosong di balik punggung kami.

Gizan tidak menjawab, ia hanya mendesis pelan. “Sial, jumlah mereka terlalu banyak.”

Aku hendak membalas ketika kibasan angin yang tidak wajar menerpa wajahku, membuatku refleks menoleh. Meski dalam sepersekian detik, aku bisa menyimpulkan dengan cepat dan akurat.

Herobrine. Ia berteleportasi begitu saja ke hadapan kami, atau lebih tepatnya ke hadapan Marvel. Tangannya teracung hendak merebut kalung emerald, namun sebelum aku tau apa yang terjadi, aku sudah merangsek mendekat, menyambar jubah Marvel dan menariknya terdorong bersamaku, menghindarkannya dari cengkraman Herobrine.

Belum cukup, saat aku berbalik, aku bisa melihat kilatan cahaya kuning yang berdecit-decit di tanah, seolah ada yang merekahkannya. Di balik kilatan-kilatan itu, aku bisa melihat seseorang yang familiar.

Gelang topaz. Pedang yang sering kusebut pedang RGB. Topeng dengan logo kartu, satu-satunya yang masih tersisa sekarang.

Ah, ya. Ingatanku mengenai adegan ini kembali.

Akhirnya, Genah mengumumkan identitasnya sebagai Clover.

A Changed Plot - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang