Rinjani dan juga Rahadi menoleh, orang yang berhasil mendobrak pintu adalah Javas. Pria itu berlari mencengkram tengkuk leher menghajar wajah hingga menimbulkan bercak darah dari hidung. Rahadi tersungkur ke lantai memegang bekas tonjokan.
"Ka---kau! Beraninya!"
Sedang Rinjani berlari memeluk tubuh atletis milik Javas. Ia membenamkan wajah pada dada bidangnya seolah mencari perlindungan.
Javas mengeratkan rahang mengepalkan tangan bersiap untuk tinjuan kedua kali tetapi Rinjani mencegah lengan, Rinjani ingin Javas tetap berada dalam dekapannya.
Rahadi sudah berdiri, berjalan sempoyongan sambil memegang bekas lukanya.
"Javas, kau percaya pada om kan? Om tidak mungkin melakukan hal menjijikan ini."
Javas diam, dada bidangnya kembang kempis menahan sesuatu yang akan meledak.
Tidak melakukan hal menjijikan? Javas tidak bisa percaya begitu saja melihat gesper yang sudah terbuka!
Tak lama Barron datang, arah pandangnya tertuju pada ayahnya lalu beralih ke Javas dan juga Rinjani.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka berpelukan.
Barron tentu saja syok melihat pemandangan seperti ini, ayahnya dalam keadaan berantakan dengan darah segar dari hidungnya. batinnya bertanya-tanya namun lidahnya merasa sulit di gerakan melihat Rinjani begitu nyaman dalam pelukan orang lain.
"Ada apa ini?" Tanya Barron setelah sekian detik diam.
"Tanyakan pada ayahmu." Ucap Javas dengan nada remeh. Wajah datarnya sungguh tidak enak di lihat.
"Pah,"
"Pelacur ini mencoba menggoda papa, dia bahkan meminta papa menyetubuhinya di depan kalian."
Rinjani naik pitam, wajah yang semula terbenam dalam pelukan kini berbalik. Kedua netranya menajam tangannya mengepal.
"Bohong! Anda yang tiba-tiba masuk dan mencoba melecehkan saya!"
"Pelacur seperti mu sangat pintar bersandiwara."
"Cukup!" Barron bersuara, dia berada pada posisi serba bingung. Mana yang harus ia percaya sedang disana tidak ada bukti.
"Ada apa ini?" Suara Jeremy dari arah pintu.
Pria itu datang tergesa, wajahnya kebingungan menatap satu persatu orang yang ada disana.
"Jer, kau percaya pada ku kan?"
Jeremy melempar tatapan pada Rinjani seolah meminta penjelasan.
"Anak angkat mu Jer, dia mencoba menggoda ku."
"Itu tidak benar pah! Pria cabul ini yang tiba-tiba masuk ke kamar Rinjani."
Rahadi mengacungkan jari menunjuk-nunjuk seolah menjadi orang yang paling tersakiti.
"Jangan bohong Rinjani! Kau yang tadi menggoda saya dan----!"
"Dan anda kepancing? Begitu?" Sanggah Javas.
Javas tidak melepas tangannya dalam dekapan, ia tetap memegang bahu Rinjani.
"Kita bisa lihat dari cctv siapa yang bersalah." Sanggah Javas tidak mau ambil pusing.
Kedua alis Barron terangkat, tatapannya tertuju pada sang ayah. Sedang Rahadi mengepalkan tangan tanpa ada yang menyadari.
"Aku setuju!" Seru Rinjani
"Baik. Kita ke ruang kerja sekarang."
Semua orang mengikuti langkah Jeremy menuju ruang kerja yang terletak tidak jauh dari kamar Rinjani. Mereka berjalan tergesa tidak sabar melihat pertunjukan menegangkan. Berbeda dengan Rahadi yang jalang kabut, jika rekaman cctv di putar dan dirinya terbukti bersalah bukan tidak mungkin martabatnya akan hancur di depan kolega serta anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupid Lonestly
Teen FictionMATURE CONTENT warning!! area 21+ 🔞 "Ahh ssstttt jangan berisik Rinjani nanti papa dengar!" "Bodo amat! papa mu harus tahu sebejat apa anaknya." "Oh kau menguji ku? baik akan ku tunjukan se bastard apa diriku." selanjutnya tidak ada lagi rancauan...