Usai bermain speedboat keduanya duduk di pinggiran pantai menikmati deburan ombak serta semilir angin yang mulai menyapu kulit. Di temani sebotol anggur juga makanan ringan lainnya keduanya hanyut dalam suasana malam.
"Javas," Rinjani berucap setelah sekian menit saling diam. Javas pun menoleh memegang gelas berisi wine yang baru membasahi tenggorokan.
"Aku sudah berfikir dan akan menepati janji."
"Janji?" kedua alis Javas terangkat, manik matanya menatap intens gadis yang baru menelan salivanya itu.
"Ya janji, saat itu kamu meminta ku jadi kekasih mu kan? Sekarang aku jawab pertanyaan mu..." Rinjani tampak menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. "Aku mau jadi kekasih mu."
Ucapan singkat jelas dan memiliki arti keseriusan, Rinjani menerima cinta Javas yang artinya dia mau menghabiskan waktu berdua dengan kakak angkatnya. Diluar dugaan Javas malah terdiam pandangan yang semula menatap kesamping berubah ke depan. Ada pula senyum tipis disana yang mana tidak Rinjani tahu apa artinya.
"Jani, aku tidak meminta mu terburu-buru. Kalau memang kamu belum bisa menerima cinta ku jangan dipaksa."
"Tapi ini janji ku,"
"Jika aku kalah memenangkan kasus Sinta itu artinya kamu tidak akan menerima cinta ku kan? Jani aku ngga mau----"
"Ssstttttt." Rinjani menautkan telunjuknya di bibir Javas, "Aku serius."
"Tapi aku berubah pikiran." Javas berucap dengan wajah serius.
"Kok bisa, jadi sekarang kamu balas dendam?"
"Maybe."
"Javas!" Rinjani memukul pergelangan tangan Javas yang mampu membuat pria itu tersenyum.
"Oke, mari kita jalani hubungan seperti orang-orang pada umumnya." ucap Javas pasrah.
sebenarnya Javas ingin Rinjani menerima cintanya bukan karena alasan lain tapi karena memang mereka saling mencintai. Jadi apa boleh buat, Javas tetap akan menghargai keputusan Rinjani. Toh rasa sayangnya tidak akan berubah meski awal hubungannya karena sebuah janji.
"Tapi aku mohon, tetap rahasiakan ini dari semua orang. Aku tidak mau bahagia sendirian sedangkan sahabat ku masih terbaring koma."
"Hmm, aku mengerti." Javas berdiri meminta Rinjani masuk dalam pelukan.
Malam semakin larut, angin spoi semakin kencang menerpa pesisir bahkan kulit mereka menjadi sasaran. Javas melirik arlojinya, "Ayo pulang. Angin malam tidak baik untuk kesehatan."
Keduanya bergandeng tangan menuju mobil, dengan raut wajah bersemi layaknya pasangan muda-mudi pada umumnya.
--
Apartemen
"Jadi kapan mau menjenguk Sinta?" Javas bertanya setelah mereka sampai di apartemen.
Rinjani melirik arloji saat ini jarum jam telah menunjuk diangka sembilan tidak memungkinkan untuk berkunjung. "Mungkin besok."
"Okay, aku akan mandi lebih dulu."
"Hmm."
Javas berlalu ke kamar mandi, tinggallah Rinjani seorang diri duduk termenung di ruang utama. Rinjani membuka ponsel lalu membuka galeri foto kebersamaan dengan Sinta. Ditatapnya lekat-lekat foto mereka saat liburan beberapa bulan lalu. Rinjani juga merekam suaranya dan mengirimnya pada Sinta agar saat Sinta bangun nanti dia bisa mendengarkan semua yang Rinjani katakan.
"Sin, orang yang membuat mu jadi seperti ini sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi sayang hukumannya hanya lima tahun." Rinjani menghela nafas berat mengingat kejadian tadi siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupid Lonestly
Teen FictionMATURE CONTENT warning!! area 21+ 🔞 "Ahh ssstttt jangan berisik Rinjani nanti papa dengar!" "Bodo amat! papa mu harus tahu sebejat apa anaknya." "Oh kau menguji ku? baik akan ku tunjukan se bastard apa diriku." selanjutnya tidak ada lagi rancauan...