Rinjani mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, menyalip beberapa kendaraan di depannya hingga menimbulkan kebisingan klakson dari beberapa kendaraan lain. Namun itu semua tidak di pedulikan, sekarang yang paling penting adalah sampai di suatu tempat lalu merenung menenangkan pikiran.
Srrittttttttt bunyi pijakan rem bergesekan dengan aspal jalanan membuat lengkingan di telinga, mobil menepi di pinggiran bahu jalan. Rinjani membutuhkan pelampiasan kemarahan dengan cara berteriak. Ia pun keluar dari mobil dan berteriak sesuka hati karena memang mobil menepi di jalanan sepi.
"Aaaaaaaaahhhhhhhhh!" Nafasnya ngos-ngosan setelah meluapkan semua emosi. "Brengsek kau Javas! Aku benci! Benci!"
Sekali lagi Rinjani berteriak sekencang mungkin agar suasana hatinya lebih baik. Setelahnya Rinjani duduk di depan mobil memeluk kedua kaki sambil merenungi nasib.
Mengapa semua harus seperti ini! Baru saja Rinjani akan menjatuhkan hatinya pada laki-laki tetapi ia malah dijadikan bahan validasi sekaligus pelampiasan .
"Fuck you Javas!" Erang Rinjani memukul aspal.
Tak lama dering ponsel dari dalam tas menggema, Rinjani berjalan pelan menuju mobil untuk mengambilnya.
Sinta calling....
Panggilan telah terhubung namun Rinjani enggan bersuara.
"Hallo Jan, kamu dimana? Aku sudah di dalam."
Huaaaaaaa..... Rinjani menangis, awalnya ia akan menahan untuk tidak mengeluarkan air mata namun karena suasana hatinya sedang kacau, Rinjani tidak bisa membendung air mata.
"Jani, kamu kenapa? Katakan ada apa dan sekarang kamu dimana?"
Rinjani tidak kunjung bicara hanya suara tangis sesegukan yang mengisi kesunyian. Sinta si buat bingung karena temannya ini tidak juga mau bicara.
"Oke oke oke, share lokasi kamu saat ini biar aku yang kesana."
Panggilan terputus, Rinjani mengirim lokasinya ke nomor Sinta. Ia kembali duduk memeluk kedua kaki. Mobil tetap dibiarkan menyala.
Dua puluh menit kemudian, lampu menyorot lalu diikuti suara mobil mendekat. Sinta berlari mengecek kedalam mobil.
"Jani, Jani. Kamu dimana?"
Mobil kosong tetapi mesin masih menyala, Sinta begitu khawatir hingga ia berlarian kesana kemari hingga tidak sengaja kakinya menginjak sesuatu.
"Astaga Jani!"
Sinta menginjak sneaker yang dipakai Rinjani sehingga ia bisa tahu ada orang di bawah. Sinta lalu berjongkok memeluk tubuh Rinjani yang menangis sesegukan.
"Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa berakhir disini?"
Tangisan Rinjani bertambah keras yang membuat Sinta bingung, pelukannya pun semakin erat. Baiklah Sinta tidak akan bicara karena yang pasti Rinjani belum mau menjawab. Sinta membiarkan tangis Rinjani didalam pelukannya.
Setelah lebih tenang, Rinjani melepas pelukan mengelap jejak air mata yang sudah membasahi pipi. Sinta meraih wajah Rinjani ikut mengelap air matanya.
"Kita masuk ke mobil sekarang."
Rinjani sudah lebih tenang setelah Sinta memberinya air putih. Saat ini mereka berada di mobil Rinjani dengan arah pandang Sinta tetap ke wajah yang sembab karena air mata.
Helaan nafas panjang setelah sekian lama diam, Rinjani akhirnya buka suara.
"Javas Sin,"
"Kenapa? Kamu disakiti lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupid Lonestly
Roman pour AdolescentsMATURE CONTENT warning!! area 21+ 🔞 "Ahh ssstttt jangan berisik Rinjani nanti papa dengar!" "Bodo amat! papa mu harus tahu sebejat apa anaknya." "Oh kau menguji ku? baik akan ku tunjukan se bastard apa diriku." selanjutnya tidak ada lagi rancauan...