Satu jam perjalanan, mobil sampai didepan gerbang rumah Sinta. Rinjani berlari kecil masuk kedalam namun langkahnya harus terhenti melihat mobil sport berwarna hitam parkir didepan rumah Sinta. Alisnya berkerut melirik ke kaca mobil karena ia pernah melihat mobil ini di suatu tempat.
"Non non Jani," teriak bi Ida dari dalam, Rinjani langsung mengusir pikiran buruknya.
"Dimana Sinta?"
"A--ada didalam. Sama----" Rinjani berlari kecil melihat raut wajah panik dari asisten rumah tangga Sinta.
Sungguh Rinjani terkejut melihat ada Barron disana sedang memeluk Sinta berusaha menenangkan hatinya. Pantas saja mobil yang ada di depan seperti tidak asing ternyata itu milik Barron.
"Jan," ucap Barron, Sinta pun ikut mendongkak.
Rinjani lalu berjongkok meraih tubuh Sinta masuk dalam pelukan. Tidak ada pertanyaan apa pun, Rinjani hanya mengelus punggung sambil menatap bekas tali yang sudah di kaitkan di pintu.
"Sin, kita ke rumah sakit ya. Suhu badan mu panas sekali."
Sinta menggeleng melepas pelukannya. "Aku takut Jan,"
"Ada aku disini, dokter akan memantau kondisi kamu. Please mau ya."
Sinta tetap kekeuh dengan pendirian yang membuat Rinjani akhirnya mengalah. Sinta juga tidur dalam pelukan Rinjani dengan posisi mereka sama-sama duduk. Barron tetap setia di sampingnya tanpa bertanya kenapa dan bagaimana semuanya bisa terjadi.
Disela-sela tidurnya, Sinta terbangun lalu berteriak. "Argh! Tidak!"
"Jan, Jani aku----"
"Sinta, yang dikatakan Rinjani benar. Sebaiknya kita ke rumah sakit. Disana kamu akan lebih tenang."
Sinta akhirnya menurut, setelah di pikir mungkin benar ia membutuhkan obat penenang. Rinjani menuntun Sinta keluar menuju mobil diikuti Barron di belakangnya.
Saat di pintu Javas masuk berpapasan dengan Rinjani yang sedang menuntun Sinta. Arah pandang Javas dan Barron kembali beradu saling melirik tajam tanpa mengeluarkan satu patah kata.
"Javas, antar kita ke rumah sakit." Rinjani melempar kunci mobil kepada Javas.
"Jan, aku bisa melakukannya tanpa kamu minta bantuan orang lain." Sanggah Barron,
Javas mengambil kunci tersebut lalu membukakan pintu untuk dua orang ini.
Rinjani dan Sinta duduk di belakang, Javas di jok sopir sedang Barron memilih menggunakan mobilnya sendiri.
Perjalanan kembali diisi dengan kesunyian hingga sampai di sebuah rumah sakit.
Huft... Sinta sudah di bawa perawat ke ruang pemeriksaan ditemani Rinjani. Mereka berkonsultasi banyak hal hingga Sinta mendapat kamar rawat inap.
Satu jam bukan waktu yang lama untuk berkonsultasi juga pemeriksaan kejiwaan, Sinta akhirnya bisa tidur setelah di pasang selang infus yang diberi obat penenang.
Diluar ruangan Javas duduk menunggu sambil terus menatap kearah pintu, disana Rinjani tiba-tiba keluar hingga arah pandang keduanya kembali bertemu.
"Terima kasih untuk bantuan mu hari ini."
Javas tidak menjawab masih menatap wajah lelah Rinjani.
"Sampaikan pada papa aku akan menginap menemani Sinta."
Lagi dan lagi, Javas seperti patung yang terus diam hingga akhirnya berbalik badan dan pergi.
Tak lama Barron datang, berlari kecil menghampiri Rinjani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupid Lonestly
Teen FictionMATURE CONTENT warning!! area 21+ 🔞 "Ahh ssstttt jangan berisik Rinjani nanti papa dengar!" "Bodo amat! papa mu harus tahu sebejat apa anaknya." "Oh kau menguji ku? baik akan ku tunjukan se bastard apa diriku." selanjutnya tidak ada lagi rancauan...