Rumah sakit
Javas berlari kecil menghampiri Rinjani yang duduk menutup wajah. Sesekali arah pandangannya tertuju pada pintu baja bertulis unit gawat darurat.
"Jani,"
Rinjani menoleh, memeluk tubuh Javas dengan erat. Dalam pelukannya, Rinjani menumpahkan tangis sesegukan.
"Hei, tenanglah semua akan baik-baik saja." Javas berucap sambil terus menenangkan dan mengelus puncak kepala.
Tak lama pintu unit gawat darurat terbuka, dokter yang tadi menangani Sinta keluar.
"Dokter bagaimana keadaan teman saya?"
Dokter wanita itu tampak menghela nafas berat sambil melepas handglove juga masker. "Dia mengalami banyak pendarahan, kami harus secepatnya melakukan tindakan."
"Lakukan yang terbaik dok, saya mohon."
"Itu sudah menjadi kewajiban kami. Di mana suami atah keluarganya kami memerlukan persetujuan mereka."
Rinjani dan Javas saling beradu pandang, "Kedua orang tuanya sudah tidak ada, disini saya satu-satunya kerabat dekatnya."
"Baiklah, mari ikut ke ruangan. Saya akan menjelaskan semuanya."
Rinjani mengangguk mengikuti langkah dokter menuju ruangan. Sedangkan Javas bertugas menjaga di depan unit gawat darurat.
Didalam ruangan, Rinjani duduk di kursi sedang dokter membaca hasil tindakan yang baru dilakukan.
"Dokter, tadi maksud dokter mencari suami pasien itu apa? Apakah ada sesuatu yang----" Rinjani tidak menyelesaikan kalimatnya melihat senyum tipis dari dokter.
"Pasien mengalami keguguran."
"Keguguran?" Rinjani mengulang ucapan dokter dengan wajah tidak percayanya. Dan dokter pun mengangguk membenarkan.
"Begini, kami menemukan pil yang di genggam pasien saat tiba di rumah sakit." dokter menunjukan hasil fotonya.
"Kami sudah meminta ahli toksikologi untuk mencari tahu jenis pil tersebut juga kandungannya. Kemungkinan pasien dalam pengaruh obat."
Rinjani terdiam, dirinya sedikit kaget mendengar pernyataan dokter. Selama berteman dengan Sinta, Rinjani tidak mengetahui jika temannya itu mengkonsumsi obat-obatan.
"Dokter, selama saya berteman dengannya dia tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan. Hanya saja----" Rinjani menjeda ucapannya sedang dokter menunggu kalimat berikutnya.
"Sinta sedang mengkonsumsi obat kehamilan. Coba dokter periksa lebih teliti lagi itu pasti pil untuk kandungan."
Dokter hanya tersenyum tipis, "Saya tidak mengatakan pil itu berbahaya, yang saya katakan kemungkinan pasien sedang dalam pengaruh obat."
"Maaf dok, saya terlalu cemas."
"Tidak apa. Kami butuh persetujuan suami pasien agar proses tindakan bisa segera diatasi."
Lagi-lagi Rinjani terdiam dengan helaan nafas kasar. "Dia belum memiliki suami." lirih Rinjani dengan wajah menunduk.
"Baiklah, lalu siapa yang akan bertanggung jawab?"
"Emmm sebelumnya saya harus berdiskusi dengan orang yang tadi bersama saya."
"Tidak apa."
"Apa tidak ada lagi hal penting yang harus dibicarakan dok?"
Dokter menggeleng, "Saya kira hanya itu. Untuk hal lainnya nanti saya kabari."
"Terima kasih." Rinjani berjalan pelan keluar ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupid Lonestly
Teen FictionMATURE CONTENT warning!! area 21+ 🔞 "Ahh ssstttt jangan berisik Rinjani nanti papa dengar!" "Bodo amat! papa mu harus tahu sebejat apa anaknya." "Oh kau menguji ku? baik akan ku tunjukan se bastard apa diriku." selanjutnya tidak ada lagi rancauan...