Firma hukum JS
Javas menarik nafas dalam-dalam sebelum melepas seat belt. Matanya menatap gedung pencakar langit dengan lantai tiga puluh. Disini lah Javas akan memulai karirnya sebagai pengacara. Ya empat tahun menempuh pendidikan di Amerika, kini Javas kembali untuk mendedikasikan diri sebagai lawyer hebat seperti papanya.
Didalam tas yang ia bawa sudah ada laptop juga berkas yang sudah ia pelajari beberapa hari ini. Kasus pertama Javas adalah menangani perkara ekspor impor ilegal.
Sebelum keluar, Javas membenarkan dasi yang sedikit berantakan lalu keluar dari mobil.
Ini bukan hari pertama masuk kerja tetapi rasanya seperti baru pertama menginjakkan kaki di kantor papanya. Javas nervous sekaligus gagal fokus.
"Selamat pagi pak Javas," dua pegawai wanita yang baru datang menyapa Javas dengan senyum tipis.
Javas hanya membalas anggukan lalu bergegas masuk ruangan.
Huft.... lagi-lagi Javas menghela nafas membenarkan dasi yang hampir mencekik. Saat ini Javas berada di depan lift menunggu hingga pintu terbuka.
Ting... lift akhirnya terbuka Javas langsung masuk dan menekan angka dua sembilan. Disana memang ruang kerjanya.
"Tunggu tunggu tunggu." Seorang wanita tiba-tiba menghentikan pintu ketika lift akan menutup.
Javas mengerutkan kening menatap wanita di sebelahnya. Wajahnya sangat asing di tambah penampilannya yang mencolok. Lipstik merah menyala juga celana bahan ketat yang hampir membentuk lekuk tubuh.
Seharusnya lipstik merah menyala tidak di pakai ke kantor. Begitulah Javas menyimpulkan dalam hati, tetapi ia tidak peduli dengan penampilan orang lain.
Lift akhirnya menutup, sepanjang lift naik tidak ada obrolan di antara mereka berdua. Javas layaknya pria angkuh yang sedikit pun tidak mau menyapa orang lain terkesan dia adalah pemilik firma ini. Hingga lift terbuka Javas tidak mempedulikan wanita disampingnya.
"Pak Javas, anda sudah datang?" Ucap salah satu senior pengacara di kantor.
Javas tidak menjawab, dia langsung menuju ruang kerja.
"Tuan Javas," suara Armand membuatnya menoleh. Pria itu berjalan mendekat membawa tablet yang biasa di gunakan.
"Ada beberapa hal yang harus saya sampaikan tentang kasus pertama anda." Armand berucap setelah mereka duduk.
Dia memperlihatkan tablet tentang bahan untuk investigasi kasus. "Saya akan kirim ke alamat email anda."
"Hmm. Ada lagi?"
"Tuan Jeremy ingin bicara."
Javas menghela nafas panjang, memijat pelipisnya merasakan pusing tiba-tiba menghampiri.
Tak lama pintu terbuka, Jeremy muncul di baliknya. Langkah tegap menggema di ruangan bahkan Armand bisa merasakan aura ketenangan dalam diri majikannya.
Armand lalu berdiri memberi hormat mempersilahkan Jeremy untuk duduk. Ia juga menyerahkan tablet agar Jeremy bisa langsung menjelaskan pokok masalah.
"Kemana kamu selama beberapa hari ini?" Jeremy berucap tenang tetapi terdengar mengerikan.
"Pah, kita bahas masalah ini di rumah."
Jeremy menunjukan bukti-bukti yang dikirim Ronie. Tentang penyewaan pesawat pribadi tanpa sepengetahuan pemilik, rincian biaya yang jumlahnya lumayan yang di bebankan ke Jeremy.
"Jelaskan semua, papa ingin dengar dari mulut mu."
"CK!" Javas mendesah, menggaruk tengkuk kepala.
"Aku hanya ingin pergi liburan,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupid Lonestly
Teen FictionMATURE CONTENT warning!! area 21+ 🔞 "Ahh ssstttt jangan berisik Rinjani nanti papa dengar!" "Bodo amat! papa mu harus tahu sebejat apa anaknya." "Oh kau menguji ku? baik akan ku tunjukan se bastard apa diriku." selanjutnya tidak ada lagi rancauan...