Rinjani meringis kesakitan memegang lengan yang dipenuhi darah. Konsentrasi Javas terpecah antara laju jalanan atau wanita yang ada disamping.
"Tahan, sebentar lagi kita sampai."
Mobil melaju dengan kecepatan maksimal membelah jalanan yang mulai padat merayap.
Sampainya di depan rumah Sinta, Javas berlari keluar membopong tubuh Rinjani masuk kedalam rumah.
"Sinta! Sinta!" teriak Javas.
Lama tak kunjung di buka, Javas berniat mendobrak pintu tiba-tiba knop terbuka dari dalam. Bi Ida muncul dengan wajah terkejut melihat Rinjani berlumuran darah.
"Astaga, non Jani. ayo cepat bawa non Jani masuk."
Sinta yang baru keluar dari kamar mandi berdiri cengo melihat sahabatnya disana dengan noda darah di sebagian pakaiannya.
"Javas apa yang terjadi? Kenapa Rinjani bisa seperti ini?"
"Jangan banyak bicara, dimana kotak medisnya?"
"Kotak medis?" ulang Sinta dengan wajah datar. "Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja."
Javas jengah dengan pertanyaan itu dia mengalihkan tubuh Sinta setelah melihat kota p3k ada di dekat meja.
"Hei! Luka Rinjani itu parah, kita tidak bisa---" Sinta tidak menyelesaikan ucapannya karena Javas telah membungkap mulut.
"Ish! Javas kau keterlaluan!"
Sinta malas berdebat, memilih menuju kursi menemani Rinjani. "Jani, sebenarnya apa yang terjadi?"
Rinjani tidak bergeming, tangannya masih memegang luka agar tidak banyak mengeluarkan darah.
Javas kembali membawa kotak medis, mengoles pinggiran luka menggunakan alkohol. "Aaaaaaaaaaaaaa." jeritan kesakitan kala alkohol itu mengenai luka.
"Tahan." Rinjani hanya bisa memejamkan mata, menggigit bibir bawah untuk mengurangi rasa sakit.
Setelah luka dibersihkan, Javas bisa melihat jelas bagaimana bentuk luka itu. Javas tidak yakin bisa mengobati bekas sayatan yang terlalu dalam.
"Jani, kita ke klinik terdekat. Luka mu perlu di jahit."
"Lakukan sendiri. Ku mohon."
"Jani jangan gila, kamu mau bagian tubuh dijahit tanpa anatesi?" sela Sinta
Rinjani hanya bisa diam, ucapan Sinta ada benarnya karena saat alkohol mengenai luka saja sakitnya luar biasa apalagi proses menjahit bekas lukanya.
"Oke terserah." ucap Rinajni pasrah. Dia sudah tidak tahan dengan rasa sakitnya.
"Lima ratus meter dari sini ada puskesmas, kita bawa Rinjani kesana."
Javas mengangguk membopong tubuh Rinjani menuju mobil, diikuti Sinta dibelakangnya.
Mobil berjalan dengan cepat tak terasa mereka sudah sampai di puskesmas. Rinjani dibawa ke ruang instalasi gawat darurat untuk mendapat pertolongan pertama. Sedang Javas dan Sinta menunggu diluar.
Pluk.... Sinta menepuk bahu Javas dengan pelan. "Kamu apakan dia lagi hah!"
Hanya lirikan pedas pada bahu yang baru saja di pukul itu. Javas membiarkan umpatan keluar begitu saja.
Sinta yang geram langsung meraih wajah Javas lalu membekap mulut hingga wajahnya membentuk faceduck. "Aku bicara dengan mu! Kamu apakan Rinjani hingga terluka parah? Kenapa kamu tidak pernah sekali saja membuatnya bahagia?"
"Jauhkan tangan mu dari sana!"
"Engga sebelum kamu jawab jujur!"
Javas geram, dia melepaskan sendiri tangan Sinta dari wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupid Lonestly
Novela JuvenilMATURE CONTENT warning!! area 21+ 🔞 "Ahh ssstttt jangan berisik Rinjani nanti papa dengar!" "Bodo amat! papa mu harus tahu sebejat apa anaknya." "Oh kau menguji ku? baik akan ku tunjukan se bastard apa diriku." selanjutnya tidak ada lagi rancauan...