61.... Setting

6.1K 136 6
                                    

Javas mengerjap berjalan sempoyongan menuju pintu saat ketukan itu menganggu indera pendengaran.

"Rinjani," lirih Javas. Ia tersenyum tipis melihat kearah pintu meski belum membukanya.

Tangannya menyentuh hendle pintu tetapi saat terbuka bukan sosok Rinjani melainkan papanya yang berada didepan. Jeremy berdiri mengamati putra sulungnya dari atas hingga bawah, penampilannya yang acak-acakan bertelanjang dada hanya mengenakan boxer.

Jeremy berdecak merasa kasihan melihat putranya yang frustasi ini. Ia menepuk pelan bahu sebelum akhirnya masuk.

Tatapan mendelik belum juga sirna ia sudah dihadapkan lagi dengan kondisi unit yang dipenuhi serpihan kaca. Bisa dipastikan jika semalam Javas mengalami tekanan berat hingga berdampak pada seisi rumah.

"Untuk apa papa kemari?" ucap Javas setelah sekian detik diam.

"Dimana Rinjani?"

Javas mengulurkan tangan, "Selamat papa telah berhasil menghancurkan semuanya."

"Javas!"

"Stttttt aku sudah menuruti kemauan papa sekarang papa yang harus menuruti kemauan ku."

Jeremy tidak bergeming dia masih menatap tangan Javas. "Apa?"

"Lepaskan Rinjani, jangan libatkan dia lagi dalam urusan apa pun. Rinjani berhak bahagia."

"Javas kamu mabuk, kita bicara lagi nanti." Jeremy tadinya akan menuju dapur tetapi tangannya dicegah.

"Please."

Keduanya beradu pandang dengan segala pikiran masing-masing. Beberapa tahun ini Jeremy perang dingin dengan sang putra bahkan Javas tidak pernah meminta apa pun darinya, baru kali ini dia memohon. Dengan segala pertimbangan Jeremy menarik nafas dalam-dalam dan mengangguk.

"Baik,"

"Terima kasih."

Setelahnya Javas berjalan pelan menuju kamar, Jeremy mengerutkan kening saat pintu kamar terbuka. Dimana ruangan itu sangat berantakan bahkan pakaian Javas juga bercecer dilantai, kondisi ranjang yang sama persis berantakannya. Javas telah mengambil langkah berani dengan membawa wanita lain kedalam unitnya.

Jeremy pun keluar dari apartemen Javas tetapi ia menelpon tangan kanannya setelah didepan pintu.

"Armand, carikan satu unit apartemen kelas atas, urus semua berkas atas nama Rinjani. Juga buatkan rekening pribadi untuknya. Semua harus selesai hari ini."

Armand mengangguk tanpa Jeremy tahu. Ia lalu berjalan menuju lift untuk kembali ke kantor.

***

Setelah drama peluk haru, keduanya sama-sama diam seribu bahasa. Rinjani tengah duduk mengupas buah apel sedang Sinta tiduran menatap langit-langit ruang.

"Jan, setelah keluar dari rumah sakit aku ingin menemui Barron."

Rinjani berhenti mengupas apel menatap Sinta tanpa berkedip. "Oke." hanya satu kata setelahnya ia kembali mengupas memberikannya pada Sinta.

"Aku masih belum bisa mengunyah."

Deg.. hati Rinjani mendadak ngilu mendengar ucapan Sinta. Ucapan itu sama persis yang di lontarkan ayahnya selesai operasi, air mata tiba-tiba mengalir membasahi pipi entah bagaimana ia menjadi rindu sosok ayah.

Sinta yang melihat kediaman Rinjani terpaksa menoleh, gadis itu tengah menangis dalam diam.

"Apa kata-kata ku ada yang melukai hati mu?"

Rinjani menggeleng mengelap bekas air mata. "Aku jadi ingat papa, dulu saat dia baru selesai operasi aku mengupas kan apel untuknya."

Sinta memegang tangan Rinjani, "Maaf bukan bermaksud---"

Cupid Lonestly Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang