Javas mengepalkan tangan, pikirannya benar-benar blank tidak bisa memutuskan apa pun saat ini. Seandainya ia memilih tetap bersama Rinjani, gadis itu tentu akan mendapat teror terus menerus tapi jika ia memilih meninggalkannya semua berakhir disini. Padahal baru beberapa hari mereka resmi berpacaran, tapi hanya karena masalah besar seperti ini hubungannya harus kandas.
Javas memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam. "Beri saya satu hari."
"Ck! Sudah tidak ada waktu lagi tuan Smitt. Cepat putuskan atau----" suara disebrang sana tampak tidak setuju bahkan mereka menjeda ucapan dalam sekian detik.
Javas melirik papanya dari sorot mata itu mengartikan sebuah permintaan. Dengan penuh pertimbangan, Jeremy mengangguk mengambil ponsel dari dalam saku. Ia menghubungi Bram untuk bernegosisasi.
"Hallo Jer,"
"Aku minta satu hari untuk berfikir."
"Cih, kenapa? Apa Javas yang meminta?" Jeremy mengangguk meski Bram tidak akan tahu.
Panggilan terputus lebih tepatnya Bram lah yang memutus panggilan telefon. Jeremy menghela nafas panjang, "Pergi lah, temui Rinjani. Habiskan waktu yang tersisa."
Javas tidak menjawab, dia berlari kecil keluar ruangan Jeremy. Saat ini tidak ada hal yang bisa Javas lalukan selain bertemu kekasihnya. Mungkin dengan ia memeluk tubuh Rinjani semua akan menemukan jawaban.
Tersisa Jeremy yang masih berdiri menatap punggung sang putra hilang dari pandangan. "Maafkan papa," ada jejak air mata yang hampir mengenai pipi. Jeremy buru-buru menghapusnya.
***
Universitas...
Menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, Javas sampai di kampus tempat dimana Rinjani menimba ilmu. Ia berlari menuju kantin mencari sosok Rinjani ditengah ramainya mahasiswa. Netra birunya menemukan Rinjani tengah serius mengerjakan tugas.
"Jani," ucap Javas lirih seraya berlari kearahnya lalu memeluk tubuh Rinjani dari belakang.
Sebenarnya orang yang Javas peluk itu adalah teman Rinjani yang sedang menempati tempat duduknya. Baru beberapa detik sebelum Javas datang, Rinjani menuju bangku lain untuk mengambil kertas.
Orang yang sedang dipeluk Javas menoleh, tatapan keduanya beradu pandang dengan kerutan pada dahi masing-masing.
"Javas," Rinjani berada di belakang Javas saat pria itu masih menatap cengo teman Rinjani ini.
"Oh maaf," Javas menggaruk kepala tersenyum malu karena telah salah memeluk orang.
Rinjani mendekat, "Kamu ngapain disini?"
Javas menggeleng memeluk tubuh Rinjani yang asli tanpa mau melepasnya. Hal itu membuat Rinjani bertanya-tanya ada apa dengan kekasihnya ini? Javas datang dengan tiba-tiba tanpa memberitahu lebih dulu lalu setelah dia datang dia memeluk teman Rinjani mengira jika itu dirinya. Setelah itu Javas kembali memeluk Rinjani tanpa mengatakan sesuatu.
"Sayang, malu diliatin orang." bisik Rinjani
Pelukan pun terlepas, Javas celingukan kesetiap arah mencari keberadaan orang-orangnya Bram. Mereka sudah tidak terlihat disana, Javas bisa tersenyum lega. Ia pun mengelus puncak kepala lalu turun ke pipi.
"Kita makan siang bareng ya."
Rinjani tampak keberatan mengingat tugasnya yang memang belum selesai. "Eumm gimana ya, tugas ku belum selesai semuanya."
Javas menautkan kedua tangan membentuk permohonan, "Jani, please."
Rinjani mengangguk, entah bagaimana setiap kali Javas meminta ia tidak pernah menolak. "Okay."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupid Lonestly
Подростковая литератураMATURE CONTENT warning!! area 21+ 🔞 "Ahh ssstttt jangan berisik Rinjani nanti papa dengar!" "Bodo amat! papa mu harus tahu sebejat apa anaknya." "Oh kau menguji ku? baik akan ku tunjukan se bastard apa diriku." selanjutnya tidak ada lagi rancauan...