Mobil melaju dengan kencang, sepanjang jalan hanya diisi dengan kesunyian sama seperti saat mereka datang. Javas lebih banyak diam dan fokus mengemudi sedang Rinjani sesekali melirik melalui ujung mata.
"Kamu sudah makan?"
Kalimat pertama yang keluar setelah lama diam, Rinjani hanya menggeleng pelan. Ia sedang memahami sikap Javas yang gampang berubah. Jika moodnya dalam keadaan baik, dia akan menjelma seperti malaikat begitu pun sebaliknya.
"Boleh aku bertanya?"
Tidak ada jawaban tetapi lirikan kecil dianggap sebagai persetujuan.
"Apa kamu masih mencintai Rain?"
Srrittttttttt... bunyi pijakan rem bergesekan dengan aspal jalanan membuat lengkingan di telinga. Siapa saja yang mendengarnya akan mengira itu adalah kecelakaan, beruntung tidak ada korban jiwa karena pengendara di belakangnya sigap membanting stir.
Rinjani terhuyung kepalanya hampir mengenai dasboard jika tidak di sangga sabuk pengaman.
Ini gila! Javas hampir membunuhnya. Rinjani terdiam cengo merasakan jantungnya berdebar kencang.
"Kau gila! Kau bisa saja membunuh ku!" Teriak Rinjani yang kesal dengan sikap Javas.
"Kenapa kau berfikiran seperti itu?"
Berfikiran? Seperti apa? Ucapnya dalam hati.
"Kau seperti belum bisa menerima kenyataan."
"Apa yang akan kau lakukan jika ada di posisi ku?"
Hah! Rinjani mendelik kedua alisnya terangkat. Mengapa Javas tiba-tiba menanyakan hal seperti ini? Perang batin antara hati dan otak membuat Rinjani melamun hingga Javas memutus lamunan dengan lambaian tangan.
"Ehhh aku akan berusaha memaafkan semuanya dan melupakan masa lalu. Hidup itu terus berjalan kita tidak bisa tetap jalan di satu tempat."
Hening... Rinjani menghela nafas pelan arah mata sayu itu masih menatap Javas begitu pun sebaliknya.
"Hidup dalam bayangan masa lalu hanya akan menyakiti diri sendiri."
Penjelasan singkat tapi mampu membuka pikiran seorang Javas. Mungkinkah Javas harus melupakan semua kejadian menyakitkan di masa lalu dan mulai memaafkan semuanya?
Melihat keterdiaman Javas, Rinjani menggenggam tangannya. "Mungkin akan sulit tapi berusaha lah berdamai dengan diri sendiri. Aku akan bantu semampu ku."
Apa ini? Kenapa Javas tiba-tiba merasakan hatinya berdetak tidak karuan. Padahal Rinjani hanya memegang tangan, apa Javas mulai merasakan benih asmara?
Tidak! Tidak! Javas menolak jatuh cinta. Bayangan masa lalu masih menghantui pikirannya.
"Kamu pasti bisa, percaya lah." Lanjut Rinjani lagi disertai senyum tipis.
Javas sampai harus mengedipkan mata melihat aura positif dalam diri adik angkatnya ini. Rinjani mampu menggoyahkan keteguhan yang selama ini di junjung tinggi.
"Terima kasih."
Tin....tin...tin.... suara klakson beberapa kali di bunyikan dari para pengendara lain. Kejadian ini sedikit membuat kemacetan karena Javas menghentikan mobilnya di tengah jalan.
"Oh shit!" Pria itu kembali melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Hening kembali menghampiri baik Javas dan Rinjani sama-sama diam tidak ada yang mau memulai obrolan.
Hingga lampu merah pertama, pikiran Javas kembali normal ia melupakan sesuatu yang sudah di susun sejak awal. Sebenarnya jika mereka tidak mengunjungi makam Rain mungkin mereka sudah sampai sejak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupid Lonestly
Teen FictionMATURE CONTENT warning!! area 21+ 🔞 "Ahh ssstttt jangan berisik Rinjani nanti papa dengar!" "Bodo amat! papa mu harus tahu sebejat apa anaknya." "Oh kau menguji ku? baik akan ku tunjukan se bastard apa diriku." selanjutnya tidak ada lagi rancauan...