1 : Sebuah Pengungsian

395 29 39
                                    

Seorang pria dengan pakaian putih abu-abu serta jaket bomber yang melapisinya, terus mengedarkan pandangan sembari mengikatkan bandana yang tadi dia gunakan, ke lutut seorang gadis. Dia tak tahu situasinya akan sangat kacau seperti ini. Bahkan, tangannya masih terasa gemetar karena melihat bagaimana darah terlihat dari orang-orang yang tertusuk makhluk aneh itu.

Sebuah warung menjadi persembunyian keduanya. Saat situasi kacau, entah mengapa pria dengan pengenal Juna Wibisono di dada kanannya itu malah refleks menarik tangan seorang gadis yang kebetulan berdiri di sebelahnya. Dari pakaian yang sama, dia yakin mereka memang satu angkatan. Tadinya, Juna pikir ikut demonstrasi itu keren. Apalagi, dia sampai menghapal lagu yang biasanya dinyanyikan para mahasiswa saat ikut demo. Namun, demo pertamanya malah tak berjalan baik. Dia malah mendapatkan trauma di sana.

"Kita di sini dulu, sampe kondisinya membaik."

Gadis dengan mata monolid yang dibingkai wajah mungil itu mengangguk. Lututnya juga masih sakit jadi dia tak mungkin berlari sekarang. Alasannya ikut demonstrasi itu serupa dengan Juna. Dia merasa para mahasiswa yang meneriakan aspirasi terlihat keren. Apalagi saat orasi. Jadi, dia bersama teman-teman kelasnya nekad ikut dalam demonstrasi itu.

Juwita Puspita Sari.

Seorang siswi Teknik Mesin yang kini tengah menapaki tangga kelas 12. Seharusnya, minggu depan mereka mengadakan simulasi ujian. Namun, karena perintah lockdown itu diberlakukan, mereka menundanya. Bahkan hari ini harusnya dia ikut bela negara yang merupakan kurikulum baru. Kegiatan itu mengharuskan mereka untuk berlatih berbagai hal untuk persiapan kalau-kalau ada perang dan Juwi memilih untuk bolos lagi untuk ke sekian kalinya.

Juwi menyentuh setiap saku di seragamnya. Dia panik saat tak merasakan benda pipih yang selalu dia bawa ke mana pun dan kapan pun. Padahal benda itu sangat penting. Apalagi dalam kondisi seperti ini. Dia perlu mencari tahu kabar sang kakak yang juga ikut dalam aksi demonstrasi itu.

"Boleh pinjem hp gak?" tanya Juwi dengan ragu. Meski dari angkatan yang sama, mereka berasal dari jurusan yang berbeda. Makanya Juwi tak terlalu mengenal dekat pria itu. Namun, dari jaketnya, membuktikan jika pria itu berasal dari sekolah yang sama.

"Ah ..." Pria yang masih memantau lewat lubang yang terbuat saat monster itu membunuh orang yang berniat ikut bersembunyi dengan mereka. Wajar, warung pinggir jalan itu terbuat dari anyaman. Jadi, bisa dengan mudah berlubang.

"Hp gue juga ilang nih kayaknya." Pria itu panik sembari menyentuh setiap saku yang ada. Namun, dia kemudian tersenyum tanpa dosa saat ingat sesuatu soal ponselnya. Dia baru ingat, dia mendapat hukuman dari sang bunda yang berujung penyitaan benda pipih itu. "Maaf, gak bawa hp deh kayaknya."

Juwi mengedarkan pandangannya. Berharap bisa menemukan ponsel. Namun, dilihat bagaimana rapinya warung tersebut, dapat dipastikan takkan ada ponsel di sana. Apalagi, berita pembatasan khusus daerah Jakarta sudah diberlakukan sejak minggu lalu.

Pria dengan mata bulat itu membuka pintu kemudian menengok ke kanan serta kiri. Hanya ada mayat-mayat yang bergeletakan tak karuan. Namun, dia tak lagi menemukan monster itu. Dapat dipastikan area tersebut aman untuk saat ini.

"Mau keluar atau di sini aja?" tanya Juna. Meski mereka bersama karena ketidak sengajaan, dia merasa punya tanggung jawab untuk menjaga gadis itu. "Kayaknya di sini dulu deh."

Keduanya terdiam dan larut dalam pikiran mereka soal apa yang terjadi di depan mata. Mereka merasa semuanya terlalu cepat terjadi dan malah terasa seperti sebuah mimpi buruk. Apalagi saat satu persatu manusia bergeletakan bersimbah darah. Termasuk teman dekat Juwi yang juga menjadi korban. Andai Juna tak menarik tangannya, mungkin dia akan berada dalam bahaya.

"Juna. Gue dari Teknik Listrik. Dari jaket yang lo pake, lo dari STM Cipta Karya juga."

Juwi bersumpah Juna adalah orang paling tidak jelas yang pernah dia temui. Bahkan dia tak peduli soal pria itu andai bukan karena Juna merupakan orang yang terkenal. Juna terkenal dengan suara emas serta keaktifannya dalam ekstrakurikuler basket. Setidaknya, 9 dari 10 siswi STM Cipta Karya jatuh cinta pada pria itu dengan menjuluki Juna sebagai tokoh utama pria yang keluar dari novel.

Memang iya. Pria itu terkadang ikut tawuran serta hobi tidur di kelas. Namun, siapa yang akan mengira? Dia siswa terbaik dari jurusan Teknik Listrik sejak kelas 10. Benar-benar seperti tokoh novel 'kan?

"Gue udah tau," jawab Juwi dengan nada dingin.

"Ju ... Wi ... Ta." Pria itu mengeja nama dari tanda pengenal Juwi, membuat gadis itu segera menyilangkan tangan karena pria itu bisa saja melihat uang yang lain. Namun, bukannya tersinggung, Juna malah tersenyum. "Good job, Juwi! Respon lo emang harus kayak gitu."

"Kaki lo udah mendingan belum?" tanya Juna untuk tetap mengajak gadis itu bicara. Rasanya suntuk jika mereka berdua hanya diam meski seharusnya tidak boleh karena nanti yang ketiga adalah setan. Tidak, Juna tidak memikirkan hal yang macam-macam.

"Kalo lo mau pergi, pergi aja."

"Tunggu, gue liat dulu situasi. Kalo gak salah deket sini ada minimarket. Lo harusnya gak pake rok. Itu bikin lo susah lari."

Sementara itu, Jihan dan Surya berada di sebuah tempat yang nampaknya merupakan tempat berlindung. Ada beberapa orang di sana termasuk warga sekitar.

Jihan terkejut saat dirinya disemprot disinfektan sebelum masuk, persis seperti saat pandemi Covid melanda. Dia sempat berpikir jika lockdown Jakarta hanya sebuah siasat pemerintah agar mereka tak melanjutkan aksi demonstrasi. Apalagi, demonstrasi yang mereka lakukan bukanlah kali pertama. Melainkan merupakan gelombang kedua. Mereka pikir lockdown-nya hanya untuk menutupi penculikan 3 rekan mereka. Ternyata situasinya lebih darurat.

"Jihan!" Seorang gadis dengan almamater kuning, melambaikan tangan kanannya sementara tangan kirinya memegang sebuah nampan. Tentu ini membuat Jihan segera mengembuskan napas lega sebab sang sahabat, Raisa, juga selamat.

"Jumlah mereka bertambah 8 kali lipat." Seorang tentara memberikan laporan pada sang pemimpin. Tentu saja ini terdengar oleh Surya yang kebetulan berdiri tak jauh dari mereka. Dia merasa heran sebab tak ada berita apa pun yang membahas mengenai ini.

Surya merogoh benda pipih yang ternyata sangat betah di sakunya meski dia berlari. Dahinya berkerut saat pesan SOS berisi kondisi darurat serta penurunan akses internet yang dilakukan pemerintah. Padahal, akan lebih baik jika mereka saling bertukar informasi dengan orang lain 'kan? Apalagi, nampaknya makhluk misterius itu datang mendadak dan memakan banyak korban jiwa.

"Apa ada yang disembunyiin ya?" gumam Surya dalam hati. Dia memilih meletakkan kembali ponselnya ke saku kemudian mengekori Jihan yang kini malah mulai membicarakan banyak hal dengan Raisa.

"Wih ... Nempel mulu minimal jadian lah."

"Gue sumpel tuh mulut pake nampannya coba," kesal Surya. Dia paling benci dengan topik itu, sungguh. Apalagi, karena mereka memang merupakan teman kecil yang kemudian dipertemukan kembali saat menimba ilmu.

*****

Cek cek cek, kalo rame lnjut part 2👀

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang