41 : Tempat Misterius

114 18 20
                                    

Theo tersenyum sembari membalut luka gadis itu. Dia tak ada niat sama sekali untuk memberitahu yang lain atau meminta Raisa memisahkan diri. Menurutnya, pasti ada jalan keluar untuk kasus Raisa. Memang, terdengar mustahil karena ilmuwan yang meneliti soal monster itu sudah tiada. Namun, Theo masih berpikir setidaknya ada laporan di laboratorium itu yang memuat soal kasus Raisa.

Saat ini mereka memilih beristirahat di sebuah gedung yang tak jauh dari tempat mobil mereka mogok. Masalahnya, hari masih gelap dan membuang-buang peluru adalah cara cepat untuk mati konyol. Padahal misi mereka bukan sekadar mendapat penawar. Namun juga soal informasi penting yang bisa digunakan untuk mengendalikan masalah ini. Mungkin jika internet masih tersedia, mereka akan lebih mudah menemukan laboratorium tempat awal monster mengerikan itu ada.

"Seenggaknya kalo kamu berani buat nyakitin diri sendiri, kamu harus pake keberanian itu buat tetep hidup. Saya yakin pasti ada jalan keluarnya." Theo tersenyum sembari mengenggam tangan gadis itu. Dia kemudian beranjak untuk mengambil makanan yang setidaknya bisa mereka makan untuk sedikit mengganjal perut.

Theo menghela napas setelah mengedarkan pandangan. Memang benar mereka sama sekali tak terpisah. Namun, antara orang yang terinfeksi juga tidak, benar-benar terpisah. Hanya beberapa yang masih bisa bergabung.

Raisa terkejut saat seseorang meletakkan sebungkus roti juga susu kotak yang dia punya. Sebenarnya makanan kali ini hanya roti. Namun, dia ingin menghibur gadis itu karena setelah menghilang, Raisa langsung memisahkan diri dan murung.

"Setelah monsternya nyebar, kayanya kena infeksi bukan lagi jadi masalah yang besar. Lo masih manusia," ujar Jimmy yang kini duduk di samping Raisa. 

"Lo gak tau yang sebenernya. Bahkan gue lebih mengerikan dari yang lainnya." Raisa membuka bungkus roti itu. Dia mencoba menahan air matanya dan mengalihkan perasaannya. Namun, dia malah tak bisa. Sepertinya rasa berasalah itu yang membuat dirinya kesulitan mengendalikan perasaan. Ini kali pertamanya bisa memiliki banyak teman. Namun, dia malah berpotensi menyakiti semuanya.

"Karena lo bisa pake senapan? Kalo gitu,lo bisa tembak gue dulu. Gimana?"

Jimmy memang lebih sering dibuat kesal oleh Raisa. Namun, dia sangat tahu gadis itu sangat baik. Jadi, tak ada salahnya untu menghibur seperti itu 'kan? Toh, dia juga yakin Raisa takkan melakukannya. 

Raisa tersenyum. Setidaknya kata-kata Jimmy sedikitnya membuat hatinya sedikit lebih nyaman meski sesaat. "Makasih."

"Jangan misahin diri, kita udah bikin perjanjian untuk gak buang siapa pun yang masih idup." Jimmy menepuk bahu Raisa sebelum memilih untuk bergabung dengan Jihan dan yang lainnya. Dia berharap Raisa tak berpikir untuk melarikan diri lagi hanya karena terinfeksi.

Sementara itu, dari sisi lain, Danti nampak terus menghela napas setelah saling bertukar tatap dengan Mona. Keduanya tentu tahu betul soal Raisa sebab pernah ada di laboratorium. Mereka sedang memikirkan cara terbaik untuk memberitahu yang lain sebab Raisa bisa saja lebih berbahaya dari orang-orang yang terinfeksi lainnya. Namun, mereka masih belum menemukan cara yang tepat hingga memilih untuk tetap tutup mulut.

"Kalo mau ngancem, kita lagi gak punya tenaga," ujar Danti sembari menggambar dengan debu yang ada di atas ubin. 

"Seolah gue cuman bisa ngancem orang." Yona duduk di samping Danti kemudian memberikan roti pada masing-masing keduanya. Dia kemudian melirik ke arah Raisa sebab Mona juga Danti seolah terus menatapnya bergantian lalu menghela napas. "Apa dia ...."

***

Nampaknya suasana hujan pagi hari cukup membuat mereka nyaman. Mereka semua terlelap sembari saling bersandar satu sama lain. Apalagi, setelah perjalanan panjang mereka, tidur dengan nyenyak meski dengan ancaman monster yang masih mengintai, menjadi pilihan mereka. Hingga tanpa mereka sadari, mereka benar-benar berada di zona merah.

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang