3 : Kemunculan Makhluk Aneh Lagi

167 21 26
                                    

"Kalian mau pergi?"

Jihan segera meletakkan telunjuknya di bibir agar Raisa tak bicara terlalu keras atau yang lain akan mendengarnya. Saat ini suasananya sedang sangat sunyi. Semua orang yang ada di sana tidur lelap meski di luar sana ancaman bahaya benar-benar nyata. Meski sesekali terbangun, mereka akan berakhir kembali tidur. Itu sebabnya, Jihan dan Surya berencana untuk kabur. Selain karena merasa banyak keanehan, mereka ingin segera pulang.

"Gue ikut," bisik Raisa yang tentu saja segera mendapat persetujuan dari Jihan. Namun, lain halnya dengan Surya. Pria itu justru menghela napas. Masalahnya, dia yang harus menjaga mereka nanti.

"Please ...." bujuk Jihan saat dia merasakan dengan betul rasa kesal Surya. Dia sudah mengenal pria itu sejak kecil. Jadi, sangat mudah memahami suasana hatinya meski lampu dipadamkan.

"Semakin banyak jumlahnya, semakin besar resikonya. Gue gak akan tanggung jawab kalo sesuatu terjadi."

"Ayo," ajak Jihan kemudian mengekori Surya. Mereka mengendap-endap menuju pintu, meminimalisir sekecil apa pun suara.

"Kalian mau ke mana?"

Ketiga mahasiswa yang masih berbalut almamater mereka itu segera menghalangi cahaya yang dihasilkan senter dengan lengan mereka. Seorang pria dengan pakaian tentaranya, mengerutkan dahi kemudian menyorot pintu. "Kalian mau keluar dari sini?"

"Lagi." Jihan memutar malas matanya. Dia sungguh malas berurusan dengan pria-pria so loyal itu. Mereka malah terlihat seperti menyekap, bukan melindungi. Bahkan, ponsel mereka juga sampai dikumpulkan. Jihan yakin itu dilakukan agar mereka tak bisa menghubungi keluarga mereka.















"Sampe kapan kita di sini?"

Juna menaikkan kedua bahunya. Mereka duduk sembari bersandar pada pintu ruang karaoke yang ukurannya cukup kecil itu. Tak ada jaminan mereka bisa keluar dari ruangan tersebut dengan selamat. Namun, melihat bagaimana lantai 2 bersih dari noda darah, Juna yakin ada survivor lain di sana.

Juwi terkekeh. Dia masih belum mau menerima situasi lucu ini. Seperti sebuah Russian roulette, hanya menunggu giliran dia juga akan bernasib sama seperti mayat-mayat yang dia lihat sepanjang perjalanannya menuju supermarket itu. Jika tahu akan berakhir seperti ini, mungkin dia takkan bolos sekolah. Meski dia yakin sang ibu tak peduli soal keberadaannya, setidaknya dia tak perlu menghadapi situasi seperti ini.

"Coba cubit." Juna menyodorkan tangan, membuat Juwi menatapnya aneh. "Gue ngerasa ini mimpi."

Juwi mendorong tangan pria itu, memilih untuk tidur di tumpukan tangan yang dia tumpu menggunakan lutut. Dia ingin memejamkan mata dan terbangun tanpa kekacauan ini.

Juna menyandarkan kepalanya di pintu sembari mendongak. Yang dia lihat hanya langit-langit berwarna hitam, bukan hamparan langit malam bertabur bintang seperti yang biasa dia lihat setiap malam. Jika tak sedang seperti ini, mungkin dia sedang berkumpul dengan teman-temannya, bernyanyi bersama dengan iringan gitar yang dia mainkan. Situasi sekarang malah jauh lebih menyeramkan dibanding situasi yang dia lihat di film.

Juna mengacak rambutnya yang halus. Mereka juga takkan mungkin tetap di sana tanpa kepastian dan mati kelaparan. Mungkin firasat sang bunda sangat kuat hingga melarangnya pergi meski dirinya terus mengatakan hanya pergi ke sekolah. Padahal dia hanya ingin mencari keberadaan sang kakak. Juga, berlagak keren dengan ikut bersama para mahasiswa dalam aksi unjuk rasa. Sekarang apa yang harus dia lakukan?

"Kita gak bisa terus di sini."

"Terus nyerahin diri ke makhluk aneh itu?" tanya Juwi yang kemudian membuat Juna terdiam. Bahkan senjata yang tadi dia bawa pun jatuh karena dia terlalu panik.

"Tapi diem di sini sama aja kita diem di kandang buaya. Lo liat sendiri tadi ada makhluk yang ukurannya lebih kecil." Juna mengintip lewat kaca yang ada. Di sekitar sana sepi. Dia sama sekali tak mendapati makhluk aneh itu. Dia juga tak mendengar suara langkahnya di atas atau sekitar kotak karaoke yang mereka jadikan tempat berlindung.

Juna membuka sedikit pintu itu, mengeluarkan kepalanya untuk memantau keadaan di sana. Benar-benar sepi, seolah makhluk aneh itu tak pernah ada di sana.

"Lo mau ikut atau tetep di sini?"

***

Jihan menghela napas sembari mengaduk sarapan yang bahkan terlihat tak menggugah selera. Dia hanya makan satu buah pisang dibanding sajian lain yang ada di nampan itu.

Jihan menoleh saat Surya mengganti nampan yang dia punya dengan miliknya.

"Gue bantuin." Meski dengan wajah datar serta nada dingin, pria itu tetap bersikap manis. Dia hanya malas menyerap suasana hati Jihan yang buruk. Itu malah membuatnya ikut-ikutan kesal.

"Lo udah nemu cara lain?" bisik Jihan yang segera membuat Surya menggeleng. Nampaknya keluar dari sana adalah hal yang cukup mustahil. Apalagi pintu itu terus dijaga bergantian oleh TNI yang kebetulan ditugaskan di sana.

Suara teriakan membuat Jihan dan Surya menoleh. Dengan cepat Surya menarik tangan gadis yang ada di sebelahnya itu untuk lari. Entah bagaimana makluk aneh dengan ukuran yang lebih kecil itu ada di sana. Namun, kemampuannya tetap sama dengan yang ukurannya besar.

Berada di ruangan tanpa pintu lain selain pintu utama, tentu membuat mereka sulit menyelamatkan diri. Bahkan, satu persatu orang yang mengungsi di sana bergeletakan dengan darah yang mengalir dari sumber luka yang disebabkan oleh makhluk kecil seukuran anak kucing itu.

"Semuanya tenang!" Pria dengan seragam TNI itu mengatur agar mereka bisa keluar dengan selamat meski agak memakan waktu karena pintunya hanya muat dilewati 2 orang.

"Jihan!" Surya benar-benar kesal saat gadis itu malah menolong orang lain. Bahkan kali ini, gadis itu malah sibuk memilah ponsel yang kebetulan diletakkan dekat pintu.

Surya hampir saja mengumpat. Namun, dia memilih menelannya sebab itu takkan menyelamatkan Jihan. Dia lantas merebut senapan dan menembakkannya hingga makhluk aneh itu menghilang menjadi serpihan debu. Beruntung ilmu yang dia dapat saat mata kuliah bela negara yang diberlakukan awal tahun, cukup berguna.

"Lo gila?" kesal Surya saat gadis itu masih mencari ponselnya hingga akhirnya ketemu.

"Oh ya ampun, hampir aja," gumam Raisa sembari memegang dadanya. Dia pikir Jihan akan mati di sana. Apalagi sata makhluk aneh itu terlihat mendekati Jihan. Beruntung sebab Surya menyelamatkannya.

"Lo ...." Surya sungguh kehabisan kata-kata. Apalagi saat Jihan tersenyum tanpa dosa sembari menunjukkan ponselnya yang dia letakkan di saku. "Lo tau kan prioritas lo sekarang apa?"

"Pulang. Cuma itu prioritas gue. Makanya gue butuh ini," ujar Jihan sembari menunjuk saku almamaternya.

"Lo gak boleh mati depan gue."

Jihan berdecak kemudian melepaskan tangan Surya dari lengannya. "Bahkan kalo bukan di depan lo pun, gue gak akan mati. Gue harus pulang dengan selamat ke rumah."

***

Yok ramein yok, siapa tau up lagi👀

3 Sep 2023

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang