"Hati-hati." Dengan tangan kanan membantu Jihan, Theo masih dengan sangat waspada memegang senapan di tangan kirinya. Laboratorium itu belum sepenuhnya rusak. Namun, untuk menuju pintu masuknya benar-benar sulit untuk mereka lewati. Nampaknya laboratorium itu takkan diratakan. Hanya ditutupi agar pintunya sulit terbuka. Bahkan, butuh usaha ekstra hanya untuk tiba di pintu belakangnya karena pintu depan sudah tertutup oleh puing-puing dan sulit untuk dilewati.
"Gak dikunci," ujar Theo saat pintunya bisa dengan sangat mudah dibuka tidak seperti pintu depan. Pria itu segera menyalakan senter diikuti yang lainnya karena memang kondisinya yang cukup gelap. "Jadi kita harus ke sebelah mana?"
Surya berdesis untuk meminta yang lainnya diam. Dia mencoba mendengarkan suara yang dia dengar secara samar. Dia sempat berpikir suara tersebut adalah suara langkah monster yang selama ini mereka temui. Ternyata setelah mendengarkannya baik-baik, dia malah mendengar perbincangan sepasang manusia.
"Kalian denger gak?" bisik Surya yang kemudian mendapat anggukan dari yang lain.
"Tapi bisa jadi dari luar 'kan?" tanya Naya dengan suara pelan. Mereka tentu harus mengecilkan volume suara mereka agar tak mengundang monster atau bahkan mengundag orang yang sedang berbincang itu untuk menghampiri mereka. Terlalu berisiko 'kan?
"Kayaknya di dalem sini deh," ujar Jihan sembari mengedarkan pandangan. Dia kemudian membulatkan mata saat merasa suara langkah kaki mulai terdengar mendekat dari arah kiri. "Kayaknya emang ada orang. Kita sembunyi dulu."
Mereka segera mencari tempat persembunyian secara terpisah. Jihan, Juwi, Surya, Juna, dan Naya berjalan menuju sebuah ruangan yang nampaknya merupakan sebuah tempat beristirahat. Kemudian Mona, Danti, serta Nathan pergi ke bawah tangga kemudian bersembunyi di sana. lalu, Theo, Raisa, Jimmy serta Yona masuk ke ruangan yang terbuka tanpa tahu ruangan apa yang mereka masuki. Yang jelas, mereka ingin segera menyembunyikan diri sebelum tertangkap.
"Sampe kapan kita harus di sini? Masalahnya nih, diem di dalem sini malah lebih bahaya," ujar seorang pria yang nampaknya bertugas menjadi penjaga di sana.
"Iya juga ya. Tapi ... gue gak abis pikir nih, perangkat pemerintahan pada sembunyi di sini."
"Mereka lagi nyari tau soal itu loh tau gak yang ada di ruangan atas? Katanya sih itu bukan monster, tapi orang yang berubah jadi monster. Cuman gak tau ya, gue juga belum pernah ke sana."
Mereka yang bersembunyi di bawah tangga, tentu saja harus menahan napas. Suara sunyi tentu akan sangat memudahkan suara mereka terdengar. Membuat sedikit saja suara, akan membuat mereka langsung tertangkap.
Sementara itu, Theo benar-benar terkejut saat menyalakan senter di dalam ruangan yang mereka gunakan untuk bersembunyi. Alasannya cukup sederhana. Bau menyengat yang terus menerus mereka cium. Namun, betapa terkejutnya mereka kala mendapati setumpuk jenazah ada di sana.
"Bang, lo mau ngapain?" tanya Yona dengan suara pelan kala pria itu malah akan menghampiri tumpukan jenazah tersebut. Bagaimana jika tiba-tiba pria itu malah dijadikan sebagai tersangka nantinya?
"Gak akan saya pegang. Saya udah biasa liat yang kayak gini." Theo menghampiri tumpukan jenazah itu. Dari kelihatannya, sepertinya jenazah-jenazah tersebut belum lama ada di sana. Bau menyengat yang mereka cium pun bukan bau busuk. Hingga kemudian sesuatu lebih menarik perhatiannya. Dia menggigit senternya kemudian mengambil sapu tangannya untuk memastikan yang dia lihat tidak salah. Ada bekas sayatan yang panjangnya sama dan di tempat yang sama pada setiap jenazahnya.
"Apa mereka bagian dari objek penelitian?"
Raisa mengerutkan dahi kemudian menghampiri jenazah-jenazah tersebut dan menyorotnya. "Karena Jakarta cukup panas, harusnya mereka lebih cepet membusuk. Tapi ini enggak, artinya emang mereka jadi objek penelitian. Tapi ... kenapa?"
Raisa mencoba mengingat. Saat dia bolak balik ke laboratorium setelah terinfeksi, dia sama sekali tak menemukan orang lain selain para ilmuwan di sana. Jika memang jenazah ini merupakan objek penelitian, artinya pemerintah melakukan penelitian diam-diam pada orang-orang yang terinfeksi untuk mencari hal yang mungkin bisa dikendalikan. Jika memang seperti yang dia duga, artinya tak ada satu pun dari mereka yang tahu soal penawarnya. Lalu apakah Danti dan Mona benar-benar tahu penawarnya ada di mana? Bagaimana jika mereka juga tak mengetahuinya?
Raisa menarik tangan Theo agar lebih mendekat ke arahnya kemudian berbisik, "Gimana kalo sebenernya ini cuma jebakan? Ini bukti kalo penawarnya emang gak ada dan bisa jadi salah satu dari kita adalah mata-mata yang ngegiring kita buat ke sini?"
"Maksudnya gimana?"
"Hah?" tanya Jimmy yang tentu saja membuat Raisa segera menutup mulu pria itu.
"Lo bisa gak sih diem-diem?" kesal Raisa sembari berbisik. "Entah Nathan, Danti, atau Mona. Mereka mungkin berperan di balik ini."
"Lo punya bukti?" tanya Jimmy yang ikut membuat Theo mengangguk setuju meski sepertinya sia-sia karena Raisa tak mungkin bisa melihatnya karena kondisi ruangan yang gelap.
"Gue ngerasa mereka emang punya alesan kuat untuk ngelakuinnya."
Theo mengerutkan dahi. Dia merasa hal itu agak mustahil mengingat bagaimana mereka tak terlihat menonjol selama ini. Memang, Nathan sering menjadi penengah dalam diskusi yang ada. Namun, dia merasa ini bukan sebuah jebakan. Jika sebuah jebakan, siapa targetnya? Kemudian, bagaimana mereka berkomunikasi jika memang ada mata-mata dalam kelompok mereka? "Gak deh kayaknya. Kalo kayak gitu targetnya siapa?"
"Kalian bisik-bisik apaan sih?" tanya Yona sebab sejak tadi yang dia dengar adalah bisikan dari keduanya di tengah kegelapan.
"Ah ... ini, kita berdua lagi meriksa jenazah yang ada di sini," jawab Raisa. Sebagai seseorang yang akan sangat berisik jika tahu, Raisa memilih untuk tak membicarakannya dengan Yona atau gadis itu akan sangat berisik nantinya.
"Jadi, targetnya siapa?"
Suara ketukan pelan dari arah pintu membuat Theo segera menyalakan senter kemudian meminta Yona untuk berada di belakangnya, sama seperti Raisa. Mungkin mereka terlalu berisik hingga membuat orang yang kebetulan sedang berpatroli itu menyadari kehadiran mereka di sana.
"Bang." Suara dengan suara lebih seperti suara bisikan itu membuat Theo mengembuskan napas lega. Dia kemudian membuka pintu, mendapati Juna berdiri di sana. "Mereka udah pergi. Kayaknya penawarnya gak ada di lantai ini. Tadi bang Surya nyari jalan dan kebetulan ada tangga darurat yang bisa dipake."
"Oke oke, yang lainnya ke mana?"
Juna menoleh ke belakang kemudian menggeleng sebab mereka juga tak tahu mereka bersembunyi di mana tadi.
Theo menyorot satu persatu orang yang ada di sana dan menghitung. Dia perlu memastikan siapa saja yang tak ada di sana dan memastikan siapa saja yang belum ada di sana. Hingga kemudian dia menoleh dan menatap Raisa. Sepertinya asumsi Raisa tak bisa diabaikan begitu saja. Memang, bisa saja secara kebetulan mereka bersembunyi. Namun, dia tak bisa mengabaikan asumsi Raisa itu.
"Kita cari dulu mereka. Kayaknya gak bakalan jauh dari lantai ini," ujar Theo dengan suara pelan.
"Minimalisir suara demi keselamatan kita," ujar Raisa yang kemudian membuat mereka mulai berpencar. Raisa benar-benar memikirkan bagaimana jika asumsinya benar? Bagaimana jika ini memang hanya jebakan sebab jika dipikir-pikir lagi, dia juga termasuk pada objek penelitian itu. Bisa jadi, mereka mencoba untuk mendapatkan sesuatu darinya karena dibanding yang lain, kasus infeksinya sangat berbeda. Bahkan monster sama sekali tak mendekat padanya.
"Jangan ngelamun," tegur Jimmy saat gadis itu tak kunjung melangkah. "Lo sama gue ya. Bahaya kalo lo ngelamun lagi."
"Apa penawarnya sebenernya ada di gue?" gumam Raisa dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang [End]
Science Fiction[Proses Penerbitan] "Kita emang bakalan pulang, tapi entah pulang ke rumah atau benar-benar pulang ke tempat yang seharusnya." Harapan agar Indonesia lebih maju dalam segala aspek, justru malah membawa petaka setelah sampel makhluk yang diyakini seb...