44 : Jalan Masing-Masing

70 15 2
                                    

Tangis mengiringi penghormatan terakhir untuk Harsa, Tasya, serta Miranti. Setelah pertimbangan panjang, mereka memutuskan untuk menganggap mereka tiada. Terlalu banyak risiko jika mereka tetap mencari ketiganya. Meski ucapan-ucapan Yona terasa sangat menyebalkan, jika dipikir-pikir memang ada benarnya juga. Ditambah, pemusnahan bertahap yang dilakukan pemerintah membuat mereka mau tak mau harus bergerak lebih cepat.

"Ayo," ajak Nathan sembari mengusap bahu Jihan. Dia tahu, Jihan pasti sedang sangat menyalahkan dirinya sendiri. Dia juga mencoba menebak dalam kepala Jihan kini dipenuhi dengan kata 'andai'

Mereka melakukan penghormatan dengan menuliskan nama ketiganya pada pintu tempat ruangan itu. Tadinya Juna sempat bersikeras untuk masuk dan mencoba melawan monster itu dengan harapan mereka bertiga di dalam sana bisa selamat. Namun, Naya serta Theo memberikan pengertian agar pria itu tak gegabah.

Juna melepas tas yang biasanya selalu ada di pundaknya kemudian memakaikannya pada Juwi. Tentu, hal ini cukup membuat Juwi bertanya-tanya. "Pastiin lo bisa selamat sampe ke rumah ya."

Mendengar ucapan Juna tentu saja membuat yang lain berhenti mempersiapkan diri dan menatap pria itu. Mereka sudah berjanji untuk sama-sama pulang dengan selamat. Namun, bagaimana bisa Juna mengatakan hal seperti itu?

"Jun ... Kita pasti nemuin jalannya. Lab kayaknya gak jauh dari sini," ujar Danti meskipun sebenarnya ucapan itu hanya sebuah kebohongan. Dia hanya tak mau meninggalkan mereka hanya karena terinfeksi. Sebagai seseorang yang ikut dalam penelitian rahasia itu, tentu membuat Danti tahu soal penawar yang bisa digunakan untuk mereka yang terinfeksi.

"Kalian langsung cari jalan keluar dari kota ini. Waktu yang kalian punya udah gak banyak. Pemerintah bakalan hancurin kota secara bertahap untuk ngebasmi monsternya," ujar Raisa sembari memastikan senapan yang ada di tangannya sudah terisi penuh oleh peluru. Dia kemudian tersenyum sembari memberikannya pada Jimmy. "Gue bisa jamin lo bisa pulang dengan selamat kalo pake senjata punya gue."

Tanpa diketahui yang lain, mereka yang terinfeksi berdiskusi bersama. Mereka sama sekali tidak keberatan untuk membiarkan yang lain meninggalkan kota tanpa mereka. Melihat bagaimana Harsa, Tasya, serta Miranti tiada dalam waktu yang hampir bersamaan, mereka merasa akan lebih baik jika yang belum terinfeksi mencari jalan untuk secepatnya keluar dari kota. Setidaknya harapan hidup mereka lebih besar jika tak melanjutkan perjalanan ke laboratorium yang bahkan jaraknya masih belum diketahui pasti oleh mereka karena tidak adanya akses internet membuat mereka cukup kesulitan.

Juna tersenyum kemudian melepas jaketnya dan menyampirkannya pada bahu sang kakak. "Juna bakalan nyusul kok, janji."

Naya tahu kalimat itu hanya sebuah penenang. Pada kenyataannya sang adik kemungkinan besarnya takkan menyusul. Apalagi dengan kondisinya yang sudah terinfeksi, Juna pasti tidak akan berani untuk pulang meskipun selamat. 

Gadis itu memeluk Juna. Dia tak menyangka sang adik sudah sedewasa ini. Satu sisi dia merasa bangga. Namun, sisi lain dia tak mau berpisah dengan cara seperti ini. Sama saja seperti dia membiarkan sang adik untuk tiada tanpa mengusahakan apapun. Kalaupun dia bisa sampai ke rumah dengan selamat, rasanya dia malah akan dihantui penyesalan seumur hidup.

Booom!

Suara ledakan kembali terjadi. Kali ini sepertinya memang agak jauh dari gedung tempat mereka berada. Namun, itu seolah menjadi pertanda agar mereka secepatnya bisa meninggalkan kota mengerikan itu.

"Saya bakalan tetep di sini," ujar Theo kemudian duduk dengan santainya. Tentu saja Raisa segera memutar malas matanya dan menarik tangan pria itu untuk kembali bangun. Sebentar lagi matahari terbit. Itu waktu yang cukup tepat untuk mereka pergi karena sebagian besar monsternya akan bersembunyi di siang hari. Meskipun tetap pasti ada monster yang keluar. Namun, dia yakin dengan kemampuan menembak mereka yang meningkat sedikit karena keadaan yang memaksa, itu sudah lebih dari cukup.

"Gak usah pikirin kita. Kita beneran bakalan nyusul kok setelah nemu penawarnya," ujar Surya.

"Kalian trust issue banget sih," ujar Juna sembari memberikan senjata yang selama ini menemaninya. "Bang Theo bener, sekarang mereka jadi bestie gue. Jadi gue gak mungkin diserang."

Kenangan mengenai bagaimana pria itu selalu menghiburnya, membuat air mata mulai menggenangi matanya. Tentu saja Juna segera terkekeh dan memeluknya. Sungguh, dia tak mau kehilangan lagi setelah kehilangan sahabatnya secara mendadak. Apalagi, Juna adalah orang setelah Tasya juga sang kakak yang mau berteman dengannya. 

"Gak usah nangis. Gue janji bakalan ketemu lagi sama lo." Juna tersenyum, merogoh sakunya kemudian memberikan sebuah buku catatan pada Juwi. "Gue udah gambar semua orang yang ada di sini sama ciri khas mereka."

Sungguh, di dunia ini tak ada yang menginginkan sebuah perpisahan. Mau semanis apapun, perpisahan tetaplah sebuah perpisahan. Apalagi, perpisahan ini benar-benar memilukan di mana orang-orang yang terinfeksi memilih mengalah demi mereka yang tidak terinfeksi. Ditambah persahabatan singkat mereka yang justru terasa sama hangatnya seakan sudah terjalin dalam waktu yang lama.

Memang, terasa sangat berat. Apalagi saat ketiganya mempersilakan mereka pergi dengan senyum mereka. Sungguh, rasanya lebih menyakitkan. Namun, mereka harus melakukannya setidaknya untuk tetap bisa selamat karena Surya, Raisa, juga Juna belum tentu bisa melewati perbatasan. Kalaupun bisa, rasanya akan sangat sulit karena dalam waktu 24 jam, tubuh mereka akan menghasilkan monster muda yang pertumbuhannya cukup cepat.

Setelah perpisahan memilukan itu, ketiganya duduk termenung. Terutama Juna. Diam-diam dia mencoba menahan tangisnya. Dia sudah sangat tahu janji yang dia ucapkan akan dia ingkari dan dia mengatakannya pada seseorang yang berusaha keras untuk hidup seperti Juwi. Dia tak bisa bayangkan bagaimana terpukulnya gadis itu jika tahu dirinya takkan pernah menyusul. Begitu pula dengan sang kakak juga sang bunda. Dia benar-benar menyesal telah menjanjikan sesuatu hanya karena tak mau membuat mereka semakin ragu untuk pergi.

Raisa mengembuskan napas saat menyadari Juna mencoba menahan tangisnya dengan sekuat tenaga. "Lo kalo mau nangis, nangis aja. Agak serem kalo misalkan lo berubah jadi monster kayak yang di film."

"Jadi setelah ini kita ke mana? Diem di sini malah bikin kita bakalan mati gitu aja," ujar Surya. Memang, mau di sana atau ke laboratorium, risikonya sama. Namun, setidaknya jika mereka pergi ke laboratorium, risikonya hanya 1 yaitu tertembak jika bertemu pasukan khusus. Selebihnya tak ada karena monster tidak akan menyerang mereka.

"Gue gak tau sejauh apa laboratorium itu dari sini. Tapi ... gak ada salahnya nyoba sih." Raisa melirik Juna kemudian mengusap bahunya. "Tenangin diri lo dulu baru kita pergi."

"Kita bisa pergi sekarang," ujar Juna sembari buru-buru menyeka air matanya.

"Gak usah buru-buru. Gue tau rasanya sakit banget janjiin sesuatu yang udah pasti kita ingkarin. Tapi, gue rasa itu malah bagus. Seenggaknya mereka bakalan berusaha keras untuk tetep hidup biar ketemu kita lagi," ujar Raisa. Sebenarnya dia juga merasa cukup sakit. Dia sangat ingin membalas kebaikan Theo dengan terus melindunginya. Namun, dia lebih merasa keputusan seperti ini justru lebih melindungi nyawa pria itu. Setidaknya, monster yang merea hadapi mungkin tak akan sebanyak sebelumnya karena pemerintah nampaknya sudah mulai 'bersih-bersih' sebagai solusi dari kesalahan mereka.

"Makanya kita harus bantu kalian biar terus ketemu kalian," ujar Jimmy diakhiri senyum. Memang, terlalu berisiko. Namun, bukankah segalanya akan terasa lebih mudah jika dihadapi bersama?

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang