15 : Strategi Monster

94 19 61
                                    

Theo menghela napas lega kala kakinya kembali menginjak lantai kamar mandi itu. Dia sempat berpikir nyawanya akan langsung lenyap begitu keluar dan memeriksa apakah ada kendaraan yang bisa mereka gunakan. Kebetulan memang ada.

"Ada 2 mobil yang gak jauh dari sini, tapi kita harus ngalihin perhatian monsternya dulu. Sia-sia kalo kita lari gitu aja," ujar Theo kemudian berjongkok untuk menyusun strategi. "Mobilnya ada di sini ... Ada 2 jalan yang bisa kita pake buat ke sana. Kalo kita berhasil ngalihin monsternya secara bergantian, kita bisa sampe ke mobilnya dengan selamat."

Gadis itu hanya memberikan tatapan tak percaya. Entah apa yang akan terjadi kali ini. Firasatnya benar-benar tak enak. Dia tak bisa mempercayai pria yang berkali-kali membuat nyawa mereka terancam. Dia sungguh tak bisa mengambil risiko sebesar itu.

Juwi kembali mengintip lewat sela pintu, mencoba menghitung jumlah monster yang kini mengerumuni Juna. Namun, nampaknya jumlah itu benar-benar tak memungkinkan untuk digiring ke suatu tempat. Mereka juga tak punya sesuatu untuk dilemparkan.

"Pake ini." Seolah membaca pikiran Juwi, pria itu memberikan alat pel. "Mau ngalihin perhatiannya 'kan?"

"Tumben agak cerdas." Juwi mengambil alih alat pel itu, mematahkannya begitu saja dengan kedua tangan serta pahanya. Tentu ini sukses membuat Theo bertepuk tangan.

Juwi membuka pintu kamar mandi itu, menutup sebelah matanya agar bisa melempar tongkat yang dia buat dari alat pel yang dia patahkan jadi 2. Dia harap tongkatnya bisa tepat mengenai tong sampah yang berada kurang lebih 6 meter dari tempatnya berdiri sekarang. Tangannya cukup gemetar karena di otaknya sudah tergambar jelas skenario terburuk yang akan terjadi jika rencananya tak berjalan baik.

"Lo pasti bisa." Juwi mengatur napasnya untuk mengurangi rasa takutnya dalam hati. Yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan Juna. Pria itu benar-benar dalam bahaya. Bahkan, ruang yang dimiliki pria itu sangat sempit. Hanya masalah waktu, monster-monster itu sudah pasti akan melukai Juna.

Tak!

Suara keras itu terdengar sesaat setelah tongkatnya tepat mengenai tong sampah berwarna biru yang ada di depan kafe itu. Beruntung, lemparan Juwi tepat mengenai sasaran. Jadi, kini monster-monster kecil itu mengalihkan sasarannya, menganggap jika ada mangsa lain dari arah yang berbeda.

Juwi segera berlari menuju lemari tempat Juna bersembunyi sebelumnya, terkejut kala seragam putih pria itu kini diwarnai noda darah. Bahkan, wajahnya juga nampak pucat karena menahan rasa sakit.

"Kita sembunyi di gudang dulu. Gak memungkinkan kalo ke mobil itu sekarang. Monsternya ada di deket pintu masuk. Kita bakalan tetep diserang." Theo memberikan tas itu setelah menutup resletingnya. Dia kemudian menggendong Juna yang nampaknya sudah tak berdaya karena bahunya yang terluka. Beruntung monsternya tak melukai Juna di titik yang membahayakan nyawanya.

"Ish, monsternya bakalan nyadar." Juwi memukul pria itu kala menyantap sesendok mie sebelum melangkah menuju gudang seperti yang dia rencanakan.

Mereka perlu mengobati Juna terlebih dulu. Berlari menuju mobil malah akan membuat mereka kesulitan. Apalagi, Theo harus menggendong Juna. Kecepatan berlarinya akan sedikit berkurang.

Beruntung gudang penyimpanan itu cukup luas dan terang. Yang terpenting adalah dekat kamar mandi. Monster-monster itu pasti akan pergi saat tahu tak ada siapa-siapa di sana.

Theo meringis kala melihat luka itu. Terlihat cukup dalam. Jika dibiarkan, Juna akan semakin lemas karena kekurangan darah.

Theo bergerak cepat. Dia membersihkan luka Juna dan tak memedulikan ringisan demi ringisan yang keluar dari pria itu. Dia harus bergerak secepat mungkin sebelum lukanya memburuk. Bahkan, keringat semakin membanjiri wajah Juna karena lagi-lagi harus menahan sakit.

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang